Penyakit Zoonosis dan Ancaman Pandemi Berikutnya
Dunia sangat rentan terhadap zoonosis. Munculnya penyakit zoonosis tidak terjadi secara tiba-tiba. Patogen penyebab penyakit mampu menyebar dan menginfeksi manusia apabila batasan alaminya terganggu atau rusak.
Dunia sangat rentan terhadap zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia. Zoonosis dapat mewabah dan menjadi kejadian luar biasa kapan saja serta di mana saja. Dibutuhkan standar jelas penanganan wabah penyakit zoonosis.
Hubungan wabah yang berasal dari hewan tak lepas dari kekayaan biodiversitas secara global. Ada lima kelompok besar biodiversitas di bumi, yaitu bakteri, alga, hewan, jamur, dan tanaman, dengan total biodiversitas sedikitnya 14 juta spesies.
Secara geografis, kekayaan biodiversitas tersebut tidak menyebar rata di seluruh permukaan bumi, tetapi terkonsentrasi di sepanjang wilayah beriklim tropis. Kondisi yang lembab, sinar matahari sepanjang tahun, dan air yang mencukupi membuat ekosistem berkembang dengan maksimal.
Sebaran paling banyak berada di wilayah Amerika Latin, khususnya Brasil, serta Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Bagian lain yang cukup banyak berada di wilayah Australia, Selandia Baru, China, dan sebagian Afrika.
Wabah penyakit bukan hal baru dalam sejarah kehidupan manusia, mulai dari pandemi virus H1N1 tahun 1918 hingga SARS-CoV-2 tahun 2019. Pola wabah zoonosis memiliki kemungkinan besar untuk menjadi pandemi karena patogen mampu menyebar luas, bermutasi cepat, dan punya banyak inang.
Sebagai contoh, wabah virus flu Spanyol (H1N1) yang terjadi tahun 1918 mampu menginfeksi sedikitnya sepertiga populasi dunia saat itu dengan total kematian sekitar 50 juta jiwa. Penyakit zoonosis lain adalah SARS, MERS, flu burung, dan Covid-19. Keempat penyakit tersebut juga melanda Indonesia.
Dua wabah sebelum Covid-19, yaitu SARS (2002) dan MERS (2012), memiliki agen satwa liar yang kemudian menginfeksi manusia karena mengonsumsi satwa tersebut. Khusus SARS-CoV-2, satwa pembawa virus masih diteliti, tetapi diperkirakan awalnya berinang di kelelawar.
Saat ini, di tengah pandemi Covid-19, dunia dikejutkan dengan munculnya flu babi H1N1 tipe baru strain G4. Para ahli berpendapat bahwa virus ini memiliki potensi pandemi karena ditemukan bukti infeksi ke manusia berdasarkan serologi pekerja di peternakan babi.
Namun, untuk membuktikannya, masih diperlukan banyak penelitian lanjutan untuk flu babi H1N1. Temuan awal tersebut menjadi modal diagnosis bagi para ahli virologi dan epidemiologi untuk memastikan seberapa besar ancaman pandemi baru.
Sementara perkembangan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19 makin menunjukkan pola yang lebih jelas setelah 73.364 genom virus dari sejumlah negara dikumpulkan untuk diteliti lebih lanjut. Selama lebih dari enam bulan terakhir, semua negara mengumpulkan data genom virus korona ke Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID).
Pengumpulan data genom virus ini diperlukan bagi pengenalan karakteristik virus korona. Urutan genom ini mampu menjelaskan karakteristik umum hingga spesifik di tiap tempat, termasuk melihat seberapa cepat virus ini bermutasi. Manfaat lain adalah mengetahui medium penularan dan inang virus, termasuk apakah ada kaitannya dengan hewan tertentu.
Penyebab zoonosis
Munculnya penyakit zoonosis tidak terjadi secara tiba-tiba. Patogen penyebab penyakit mampu menyebar dan menginfeksi manusia apabila batasan alaminya terganggu atau rusak. Batas alami yang dimaksud adalah perlindungan ekosistem.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) mencatat dua poin utama penyebab munculnya penyakit zoonosis, yaitu kerusakan ekosistem hutan dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Situasi tersebut bermula saat populasi manusia bertambah pesat dan menuntut ruang hidup yang luas.
Hutan sebagai pusat biodiversitas mampu menyeimbangkan banyak ekosistem, termasuk hewan dan tumbuhan di dalamnya. Eksplorasi yang diteruskan menjadi eksploitasi mengganggu keseimbangan, termasuk batas alami hewan liar dengan manusia.
Pola wabah zoonosis memiliki kemungkinan besar untuk menjadi pandemi karena patogen mampu menyebar luas, bermutasi cepat, dan punya banyak inang.
Banyak patogen yang berpotensi menjadi wabah penyakit berada di dalam tubuh hewan. Pembukaan lahan menyebabkan interaksi antara hewan liar dan manusia. Bahkan, pada beberapa kasus, manusia mampu mengonsumsi daging hewan tersebut.
Beberapa hewan tertentu memiliki kemungkinan lebih besar dalam menyebarkan patogen zoonosis, seperti hewan pengerat, kelelawar, dan primata. Sejumlah wabah penyakit yang telah terjadi muncul dari kelelawar, unta, trenggiling, hingga babi.
Kerusakan ekosistem hutan telah tampak jelas di publik. Berdasarkan data dari World Resources Institute, pada tahun 2019, hutan di wilayah tropis telah hilang 11,9 juta hektar. Lima negara dengan kehilangan hutan paling banyak adalah Brasil (1,36 juta hektar), Republik Demokratik Kongo (475.000 hektar), Indonesia (324.000 hektar), Bolivia (290.000 hektar), dan Peru (162.000 hektar).
Penyusutan lingkungan alam secara masif menjadi bagian penting dari rangkaian kompleks yang memicu peningkatan kemunculan dan penyebaran penyakit zoonosis baru di dunia.
Kegagalan mitigasi
Puluhan wabah penyakit yang terjadi menunjukkan pengelolaan lingkungan yang kurang maksimal. Setidaknya ada empat hal yang menjelaskan mengapa upaya-upaya sebelumnya gagal menghentikan wabah penyakit zoonosis. Pertama, sampai saat ini, sebagian besar upaya untuk mengendalikan penyakit menular bersifat reaktif, bukan proaktif.
Kedua, mempertimbangkan pola penyakit zoonosis yang kompleks, terdiri dari sektor lingkungan, pertanian, dan kesehatan, kerja sama yang dijalin sering kali kurang memadai. Ketiga, bantuan pendanaan untuk negara berkembang masih kurang dan sering terlambat.
Terakhir, strategi efektif pengendalian zoonosis memang sudah banyak yang dibuat. Namun, kendala utama terletak pada kurangnya investasi atau implementasi di lapangan. Situasi tersebut menunjukkan minimnya upaya mitigasi wabah penyakit.
Persoalan penyakit zoonosis tidak sederhana. Rangkaian infeksi hingga penyebaran penyakit bisa sangat masif sehingga tidak mudah dikendalikan. Setiap negara harus bersiap membentuk berbagai upaya mitigasi wabah penyakit.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah menggunakan One Health, yaitu pendekatan antardisiplin yang menyatukan keahlian bidang kesehatan masyarakat, kedokteran hewan, dan lingkungan. Rangkaian tersebut tentu dimulai dengan mengatasi akar penyebab munculnya penyakit.
Akar penyakit terletak pada transformasi hubungan manusia dengan alam. Artinya, manusia harus mengakhiri eksploitasi kawasan hutan. Upaya tersebut mampu menjamin keberlanjutan ekosistem alami dan menjaga batas alam antara patogen di dalam tubuh hewan liar dan manusia.
Ini juga menjadi perhatian Komite Darurat WHO untuk menghentikan transmisi wabah Covid-19 dengan mengidentifikasi sumber zoonosis virus dan mencermati kemungkinan peran inang perantara wabah korona yang berasal dari hewan.
Komite Darurat juga merekomendasikan kepada dunia untuk mulai menerapkan praktik-praktik yang sehat dalam menjalankan perdagangan hewan hidup untuk konsumsi manusia. Selain itu, negara-negara di dunia juga mulai diingatkan untuk mengatur perdagangan satwa liar yang eksotis.
Upaya tersebut perlu didukung dengan memperkuat hak penguasaan dan pengelolaan makanan lokal diiringi konservasi. Langkah berikutnya adalah menggunakan teknologi baru, khususnya bioteknologi dan teknologi informasi serta komunikasi, sebagai upaya pengawasan penyakit.
Baca juga : Akan Selalu Terjadi Pandemi
Hal ini perlu dilakukan mengingat tingginya risiko penularan wabah dari bahaya patogen. Berjuta-juta patogen yang kebanyakan berjenis virus ada di setiap meter persegi bumi ini. Virus-virus ini mampu berkembang dengan sangat cepat, termasuk mudah menjadikan hewan sebagai inang, yang dapat menularkannya kepada manusia.
Karena itu, standar jelas penanganan wabah zoonosis perlu menjadi panduan bagi dunia, termasuk merumuskan ulang pengelolaan lingkungan dengan memasukkan variabel mitigasi wabah untuk mencegah munculnya pandemi dari penyakit zoonosis. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Hidup Sehat Pascapandemi