Muhammad Jafar Khoerudin Mengubah Sampah Organik Bernilai Ekonomi
Muhammad Jafar Khoerudin terinspirasi untuk menyelesaikan masalah klasik soal sampah di kampung halamannya di Boyolali, Jawa Tengah.
Pulang dari program magang di Jepang pada 2017, Muhammad Jafar Khoerudin (27) terinspirasi untuk menyelesaikan masalah klasik soal sampah di kampung halamannya di Boyolali, Jawa Tengah. Kini, tak hanya masalah sampah teratasi, dia juga membawa dampak ekonomi yang besar bagi sekitarnya.
Jafar yang berlatar belakang S-1 Ilmu dan Teknologi Pangan dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, ini pun mencoba menggali informasi terkait penanggulangan masalah sampah organik. Dari jurnal ilmiah yang ditelusurinya, dia menemukan teknologi konversi sampah organik dengan memanfaatkan lalat tentara hitam (black soldier fly/BSF).
Jafar pun menyadari, dengan membudidayakan larva BSF, atau lebih dikenal sebagai maggot, dia tak hanya akan mengatasi masalah sampah organik. Masalah pupuk pertanian dan pakan ternak, yang selama ini membebani petani dan peternak, dapat teratasi dengan budidaya makhluk yang berbentuk mirip belatung ini. Secara otodidak, Jafar mempelajari budidaya magot dan mulai usaha dengan modal Rp 100 juta yang ia dapat dari hasil magang di Jepang.
”Di Jepang sebenarnya aku belajar tentang mikroba, lebih ke arah jamur. Aku kepikiran tentang Jepang yang tidak ada sampah. Pas mau mencari ide usaha, aku terpikir apa usaha yang bisa menyelesaikan banyak masalah di desaku. Aku ketemu soal sampah organik yang tidak bisa tertangani secara baik,” ujar Jafar yang dihubungi di Semarang, Jumat (5/3/2021).
Saat musim hujan, Jafar mengamati sampah sayur di Pasar Boyolali dan Pasar Sunggingan dekat rumahnya yang menimbulkan bau tidak sedap. Bau busuk dari sampah sisa sayur panen itu dikeluhkan oleh para pedagang, termasuk orangtua Jafar yang berjualan di pasar. Namun, penanganan sampah organik oleh dinas lingkungan hidup setempat tidak optimal. Ada pembuatan kompos, tetapi makan waktu sekitar sebulan sehingga sampah selalu menggunung.
Jafar menemukan pengolahan sampah jadi kompos dengan maggot lebih cepat. Di sisi lain, sampah organik ini dapat menghasilkan maggot yang jadi sumber protein untuk peternakan unggas dan ikan. Dengan maggot, pengeluaran pakan untuk unggas dan ikan, khususnya lele, bisa dihemat sampai 40 persen.
”Karena banyak persoalan yang bisa selesai dari budidaya maggot, aku semangat sekali. Saat itu belum banyak yang membudidayakan maggot. Aku belajar sendiri. Aku beli BSF dari hasil riset laboratorium di Jawa Timur,” kata Jafar.
Ia memulai dengan kandang pembudidayaan maggot di lahan 100 meter persegi. Budidaya maggot memanfaatkan sampah sayur dari pasar di sekitar rumahnya untuk makanan maggot. Di tahap budidaya pertama, produksi maggot tak semudah dugaan Jafar. ”Pas produksi pertama tidak lancar, masih bau, dan diprotes warga,” ujarnya sambil tertawa.
Selama proses percobaan, Jafar menelan saja omongan pedas sejumlah warga yang mempertanyakan tindakannya karena dari kandang timbul bau tidak sedap. Namun, dia tetap yakin budidaya maggot yang dijalaninya bisa jadi solusi masalah sampah organik dan masalah pertanian/peternakan yang dihadapi banyak warga Boyolali.
Untuk menjalankan usahanya, Jafar menggandeng 10 sarjana yang mau merintis sebagai wirausaha muda. Tak sampai lima bulan, sembilan orang keluar karena usaha belum menghasilkan. Budidaya maggot baru mulai menghasilkan di tahun 2018.
Pada 2018, Jafar mendapat undangan dari Universitas Hokaido, Jepang, untuk memberi presentasi soal mengatasi bencana dunia. Dia melihat kesempatan ini untuk mempresentasikan program maggot-nya. Untuk itulah, dia mulai mendekati pihak birokrasi di kecamatan dan dinas terkait di pemerintah setempat untuk mendapat dukungan agar berangkat ke Jepang. Waktu itu, dia membutuhkan dukungan dana sekitar Rp 7 juta.
Namun, usahanya sia-sia. ”Waktu itu upaya saya memanfaatkan maggot untuk mengatasi berbagai masalah di Boyolali tidak dianggap. Mungkin, dipikir mereka, kok, gitu aja bisa diundang ke Jepang. Akhirnya, aku membobol tabungan untuk bisa berangkat,” kata Jafar.
Jafar mendapat kesempatan presentasi bersama perwakilan dari 24 negara lain di Universitas Hokaido, Jepang. Tak hanya mendapat perhatian, dia bahkan keluar sebagai salah satu pemenang.
Dia membawa studi kasus dari Indonesia, yakni masyarakat masih suka membuang sampah sembarangan, makanan jarang habis, dan timbunan sampah makin banyak. Jumlah penduduk Indonesia yang makin meningkat juga berbanding lurus dengan total sampah yang dihasilkan. Dia menawarkan solusi dengan budiaya maggot untuk mengatasi bencana sampah.
Mulai dilirik
Sepulang dari Jepang kedua kalinya, Jafar tak ambil pusing lagi untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat. Dia terus berjalan sendiri sampai budidaya maggot-nya berhasil.
Dari skala bisnis, usaha BSF Boyolali terus berkembang, bahkan bisa menghasilkan 100 kilogram maggot per hari dan 2-3 kilogram olahan maggot kering per hari. Testimoni dari pengguna maggot untuk budidaya lele dan pupuk organik juga bagus.
Peternak lele yang memakai maggot sebagai pakan mengaku panen lebih cepat, dari 3 bulan jadi hanya 2,5 bulan. Dari segi biaya pakan bisa hemat 30-40 persen. Peternak ayam merasakan manfaat pakan maggot yang membuat daya tahan tubuh ayam meningkat, jarang sakit, serta lebih aktif.
Bagi penggemar burung berkicau semisai murai, hasil telur bertambah dari 2 bisa jadi 3 butir. Ada juga ikan koi dan arwana yang diakui lebih cepat tumbuh besar dibandingkan saat diberi pakan pelet, dan warna ikan koi lebih cepat keluar.
Akhirnya, ada investor di Boyolali yang mengajak kerja sama untuk mewujudkan pertanian holistik atau integrated farming, pupuk organik dan pakan maggot. ”Akhirnya, banyak permintaan dari petani dan peternak sehingga kami kewalahan. Ini mulai dilihat investor. Jadi banyak yang datang untuk belajar,” kata Jafar.
Waktu itu upaya saya memanfaatkan maggot untuk mengatasi berbagai masalah di Boyolali tidak dianggap. Mungkin, dipikir mereka, kok, gitu aja bisa diundang ke Jepang. Akhirnya, aku membobol tabungan untuk bisa berangkat.
Para investor dari Semarang, Solo, Klaten, dan daerah lain berdatangan. Baru kemudian pemerintah setempat dan pemerintah daerah lain pun melirik. Jafar yang mendirikan perusahaan BSFly untuk pelatihan dan konsultasi budidaya maggot skala bisnis pun mulai sibuk. Kunjungan ke BSF Boyolali meningkat.
Para investor tertarik dengan potensi turunan maggot, yakni maggot kering, tepung, dan minyak. Pasar ekspor terbuka, seperti ke Korea Selatan, Inggris, Argentina, dan Malaysia. Jafar pun mulai mendampingi orang-orang yang hendak membudidayakan maggot untuk skala bisnis di daerah.
Dia juga melatih pengurus badan usaha milik desa untuk mengembangkan bank sampah organik untuk budidaya maggot. Selai itu, Jafar juga mendekati berbagai instansi pemerintah untuk menyampaikan gagasan pengembangan budidaya maggot dalam pengelolaan sampah organik di tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
Jafar pun tak pelit berbagi ilmu. Dia terbuka untuk diajak berdiskusi. Kandang maggot di Boyolali terbuka untuk publik dari pukul 13.00-15.00. Konsultasi dari luar daerah bisa dilakukan lewat telepon.
”Kalau untuk (konsultasi) yang dasar, ya bisa diakses gratis, biasanya untuk kebutuhan sendiri. Kalau sudah butuh untuk skala bisnis, ada pelatihan berbayar sampai jasa set up kandang. Kami sudah punya tenaga di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat,” kata Jafar.
Baca juga : Rambu Adriana, Menenun Ketenaran Kain Sumba
Di tahun 2021 ini, Jafar akan meluncurkan aplikasi untuk membuat pelatihan dan potensi maggot semakin dikenal. Indonesia potensial karena sumber daya pakan maggot, yakni sampah organik, melimpah dan iklim cocok.
Pemanfaatan maggot juga terus berkembang hingga penerapan pada industri sebagai alternatif senyawa tambahan untuk industri obat-obatan dan bahan pakan ternak. Namun, untuk ke tahap itu, Indonesia masih mempunyai banyak pekerjaan rumah. Pembudidaya maggot belum solid untuk bisa memenuhi kebutuhan industri yang mulai besar.
”Mimpi saya, sociopreneur dan pebisnis maggot bisa bersatu, tidak melulu soal bersaing. Saya juga bermimpi tiap desa ada instalasi maggot sehingga sampah dari warga akan dikelola sendiri,” kata Jafar.
Muhammad Jafar Khoerudin
Lahir : Boyolali, 28 Februari 1994
Pendidikan:
S-1 Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Sebelas Maret, Solo
Prestasi
- Finalis Hetero for Startup Tingkat Jawa Tengah (2021)
- Penerima Hibah PKM (2020)
- Penerima Hibah Kementerian Pertanian program PWMP (2019)
- HISAS Hokaido, Jepang (2018)
- Internship Jepang (2017)