Asep Supriyatna, Napas Baru Industri Gerabah Purwakarta
Kreasi gerabah yang dibuat Asep Supriyatna sempat dicela sejumlah perajin gerabah Plered, Purwakarta. Kini, di musim pandemi Covid-19, kreasinya justru jadi tren dan membuat industri gerabah di sana terus berputar.
Kreativitas Asep Supriyatna (42) menciptakan kriya gerabah pernah diragukan oleh orang-orang di sekitarnya. Kini, kreasi Asep justru membantu roda industri gerabah Plered, Purwakarta, Jawa Barat, terus berputar kencang meski Nusantara sedang dibekap pandemi Covid-19.
“Ngapain bikin (ornamen) gerabah susah-susah. Nanti tidak ada yang beli. Mendingan bikin yang gampang dan pasti pasarnya,” Asep masih ingat benar pernyataan yang disampaikan sejumlah perajin kepadanya. Mereka meragukan kreasi yang dibuat Asep bakal berguna.
Akan tetapi, Asep tidak ada dendam. Dia menelan semua keraguan itu menjadi bensin yang membakar semangat kreatifnya. Saat pandemi Covid-19, kemauannya berinovasi sukses membuat gerabah Purwakarta tetap jadi primadona.
Bengkel usahanya, “Krapel Craft” di Kecamatan Plered, Purwakarta, tak pernah sepi. Selalu ada pesanan yang datang. Tumpukan pot gerabah beragam bentuk dan ukuran memenuhi bengkel kerja. Tanda bahwa bengkel itu terus berproduksi.
Bengkel kerja seluas 400 meter persegi, bagi Asep adalah laboratorium penting untuk tetap berkreasi. “Ini desain pot terbaru, kura-kura dan burung hantu,” kata Asep menunjukkan karyanya, Selasa (9/2/2021) sore.
Baca juga: Ujian Daya Lenting Tahan Banting Gerabah Plered
Pot rupa binatang adalah satu inovasi unggulannya. Selain itu, ada juga bentuk rusa, badak, domba, hingga kuda nil. Desain ini tengah jadi tren, terutama saat pandemi. Banyak permintaan pot serupa berbagai ukuran datang padanya.
“Kalau hanya dijual untuk celengan sederhana, harganya murah. Saya melihat itu bisa dimodifikasi menjadi pot yang kokoh dan harga jualnya lebih tinggi,” ucap Asep yang sore itu ditemani seorang juru putar dan dua pekerja harian.
Asep tak keberatan berbagai ilmu. Dia berkata, idenya berawal dari alat cetakan celengan yang lama tidak digunakan. Prosesnya sama dengan pembuatan celengan. Hanya saja, adonan tanah liat yang telah dibentuk dilubangi bagian atasnya dan diperkuat bagian dinding dalam. Lubang tersebut akan menjadi tempat tanaman.
Ciri khas kreasi Asep lainnya tampak dari ornamen yang detail. Ia selalu ingin menduplikasi bentuk riil pada benda yang ditemuinya, antara lain potongan bambu, tambang, rumah lebah, dan wajah binatang. Harga satu set, terdiri dari tiga ukuran berbeda, berkisar Rp 50.000-Rp 70.000. Dalam seminggu, dia bisa membuat 10 set. Kini, tak kurang 50 bentuk inovasi gerabah ia hasilkan.
Semuanya terlihat berbeda dibandingkan banyak gerabah polos konvensional yang masih dibuat di Plered hingga kini. Harga jualnya Rp 5.000-Rp 10.000 per biji.
Kini, ketika karya yang dicipta Asep jadi tren, sebagian perajin lain mulai meniru. Setidaknya ada 20 perajin mulai meniru inovasinya. Di antara mereka, ada yang dulu pernah meragukan karya Asep. Di Plered, biasanya, sejumlah perajin akan memproduksi bentuk gerabah sesuai tren yang disukai pembeli.
Asep tidak keberatan karya ditiru. Ia justru senang jika karyanya menjadi inspirasi. Selama bisa tetap tetap menghidupi para perajin, terutama di zaman sulit ini, Asep menerima fenomena itu dengan tangan dan hati terbuka.
“Gerabah merupakan budaya dan tradisi turun-temurun masyarakat Plered. Saya berupaya mempertahankannya dengan terus berinovasi,” kata Asep.
Meneruskan tradisi
Kesenangan bereksperimen sudah tumbuh dalam diri Asep sejak kecil. Sepulang sekolah, dia sering membantu orangtuanya yang juga perajin gerabah membuat celengan.
Selesai mengerjakan target produksi, dia berkreasi membuat mainan mobil-mobilan dan minatur truk. Daerah tempat tinggal di Purwakarta yang kerap dilewati truk dan bus jadi ide. Sedikit demi sedikit karya itu dikumpulkan. Sebagian laku dibeli teman-teman sekolahnya.
Selepas lulus SMA, dia fokus bekerja pada pamannya, Eman Sulaeman. Bukan tanpa alasan. Eman adalah salah satu eksportir gerabah di Plered. Berbeda dengan produksi gerabah orangtuanya, sang paman fokus memproduksi gerabah hias berupa guci dan vas bunga.
Dia pun berlatih membuat gerabah dengan alat putar di tempat Eman. Asep sadar tidak mudah beralih dari kebiasaan membuat gerabah menggunakan cetakan ke alat putar. Namun, tekad dan semangatnya kian bergelora saat menyentuh tanah liat dan membentuknya.
Awalnya, beragam kreasi lantas disimpan sendiri. Beberapa kali, ia iseng menitipkan produk itu ke etalase toko gerabah orangtuanya guna menguji pasar. Rupanya, produk itu diminati sejumlah pembeli.
Melihat peluang tersebut, Asep mantap mendirikan usaha gerabah sendiri. Berbekal dengan uang tabungan yang dimiliki, Krapel Craft resmi berdiri dengan dua pekerja pada 2007. Pelanggannya datang setelah melihat desain produk yang ditampilkan di gerai toko. Namun, awalnya belum banyak pesanan dari berbagai daerah.
Beruntung, pamannya masih setia mendampingi Asep. Asep kerap diajak mengikuti pameran di luar kota. Di sanalah, dia bertemu beberapa pembeli yang tertarik pada produknya. Dari pamannya juga, Asep belajar proses pembuatan, pemasaran, hingga menjaga pelanggan loyal. Dia selalu memprioritaskan pelanggan tetap saat ada inovasi teranyar.
Baca juga: Pelestari Gerabah Plered
Kini, saat usahanya semakin besar, Asep tidak berhenti berbagi. Apalagi, semakin banyak konsumen meminati karyanya. Jumlah pekerjanya bisa lebih dari enam orang jika banyak pesanan.
Dia mencontohkan, sejak pandemi Covid-19, permintaan pot bahkan meningkat hingga dua kali lipat dari kapasitas normal 1.500 buah. Omzet yang dikumpulkannya mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
Asep tidak gagap menghadapi lonjakan permintaan itu. Jauh hari, ia sudah menjalin kerja sama dengan perajin kecil yang hanya memiliki kapasitas produksi sekitar 250 buah per bulan. Jauh dari serakah, ia ingin banyak perajin kecil tetap bergairah menjaga nafas pembuatan gerabah.
Akan tetapi, ia tidak asal mencari mitra. Kerap kali, dia blusukan dan melihat langsung ke tempat produksi untuk memastikan proses pembuatannya. Sekarang, ada empat mitra yang membantunya. Masing-masing mitra memiliki satu hingga tiga pekerja. Saat banyak orang kehilangan pekerjaan karena pandemi, Asep justru membuka lapangan pekerjaan baru.
“Saya ajari betul sampai mereka bisa. Saya selalu berpesan ke mereka untuk selalu menjaga kerapian dan kualitas,” kata Asep.
Ato Supriyanto (46), perajin yang pernah menjadi mitra Asep merasakan inisiatif itu. Sepuluh tahun yang lalu, Asep getol mendorong dia menjadi perajin yang lebih inovatif. Manfaatnya, ia rasakan sangat besar saat ini.
Dulu, Ato hanya memproduksi gerabah celengan berbentuk ayam, ikan, atau tokoh kartun yang harga jualnya begitu murah. Asep pun mendorong dia untuk memproduksi pot dengan berbagai karakter yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Kini, Ato memiliki tiga orang pekerja di rumah.
“Asep membuka wawasan kreasi gerabah saya semakin luas dan mendorong untuk berani berinovasi,” ucap Ato.
Asep membuka wawasan kreasi gerabah saya semakin luas dan mendorong untuk berani berinovasi
Sekarang, tangan Asep masih terbuka lebar bagi siapapun yang ingin belajar dan mengenal lebih jauh inovasi gerabah Plered. Banyak pelajar atau mahasiswa yang menjadikan bengkel milik Asep sebagai tempat penelitian dan kerja praktik lapangan.
“Kalau sudah rezeki tidak akan kemana-mana. Dari luar mungkin bentuknya tampak sama, tapi pembeli bisa menilai setiap pelaku usaha memiliki kelebihan masing-masing. Ini yang saya ingin bangun dari gerabah di Plered,” ucapnya.
Kepala UPTD Pengembangan Sentra Keramik Plered Purwakarta Mumun Maemunah menilai, Asep sebagai salah satu perajin muda yang kreatif dan inovatif. Kekhasan Asep terletak pada ornamen detail dan bentuk karakter binatang.
Oleh karena itu, Asep kerap didapuk sebagai perajin muda yang mau berbagi pengetahuan kepada mahasiswa/pelajar/peneliti oleh UPTD Pengembangan Sentra Keramik Plered. Apalagi, tidak semua perajin mau diganggu dan terbuka setiap ada orang yang ingin belajar. Beberapa perajin bahkan takut ditiru.
“Asep berbeda, dia justru senang berbagi pengalaman dan ilmunya. Dia tidak hanya fokus bisnis, tapi juga ikut mempertahankan budaya dan tradisi gerabah Plered,” ucap Mumun.
Mendapat pengakuan dari banyak orang, Asep mengatakan masih banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Sejuta ide masih menumpuk di kepalanya. Semuanya, kata dia, demi membuat gerabah Plered terus bernafas agar bisa melintasi zaman.
Baca juga: Ahmad Nizar, Mengubah Limbah Gerabah Jadi Ornamen Nan Indah
Asep Supriatna
Lahir: Purwakarta, 16 Agustus 1980
Istri: Ine Nuraeni
Anak:
- Nazriel Radhitya Fahrezi
- Rezkiya Nazwa Chairunissa
Pendidikan: SMA 1 Sukatani Purwakarta (2003)