Ujian Daya Lenting Tahan Banting Gerabah Plered
Pandemi membuat meja putar di sentra gerabah Plered, Purwakarta, Jawa Barat, melaju kian kencang. Namun, lebih dari sekadar memberi pundi rupiah, pandemi memberi pelajaran pentingnya inovasi bagi masa depan gerabah.
Pandemi membuat meja putar di sentra gerabah Plered, Purwakarta, Jawa Barat, melaju kian kencang. Namun, lebih dari sekadar memberi pundi rupiah, pandemi memberi pelajaran pentingnya inovasi ketimbang mengandalkan hal yang tak pasti.
Sudah lama Mamit (41) tidak merasakan gairah sepanas kali ini. Sabtu (8/8/2020), tubuhnya belepotan coklat tanah liat. Namun, sorot matanya tetap tajam memandu tangan terampil mengolah 1,5 kuintal tanah liat bercampur air dan pasir. Dari bahan sebanyak itu, ia bisa membuat 70-80 pot berdiamater 15 sentimeter dan tinggi 19 sentimeter.
”Sekarang pesanan sedang banyak. Biasanya dari pagi sampai sore hari hanya buat paling banyak 50 pot per hari,” ujarnya sambil menyeka keringat di pelipis.
Melihat Mamit membuat gerabah, semuanya tampak sangat mudah. Hanya butuh lima menit membuat satu gerabah. Wajar, pengalamannya 20 tahun. Hingga kini, teknik pembuatannya masih saja sama.
Kedua tangannya cekatan membentuk pot. Jempol kakinya bekerja mengoperasikan alas papan putar. Mamit juga masih menggunakan sepotong bambu untuk menghaluskan permukaan pot. Untuk mengukur tinggi pot, ia gunakan sedotan plastik dan tusukan kayu.
Untuk keahliannya itu, ia dibayar Rp 1.500 per pot. Ketika permintaan melonjak seperti sekarang, Mamit bisa dapat Rp 700.000 per minggu. Bagi dia, jumlah itu sangat besar. Sebelumnya, Mamit hanya dapat Rp 500.000 per minggu. Namun, bagi perajin dengan pengalaman puluhan tahun, sepertinya ia pantas mendapatkan lebih.
Akan tetapi, Mamit tidak mau ambil pusing. Momen seperti ini tak sering terjadi. Hal seperti ini terakhir terjadi 14 tahun lalu. Saat itu, di tahun 2006, sentra gerabah Kasongan, Yogyakarta, terdampak gempa. Produksi gerabah Kasongan mendek, pesanan gerabah membeludak di Plered.
Baca juga: Bersama-sama Menjaga dan Menguatkan UMKM
Kali ini, membeludaknya permintaan juga tanpa rencana. Pandemi Covid-19 membuat aktivitas manusia seantero dunia, termasuk Indonesia, terbatas. Hal itu memunculkan kebiasaan baru, salah satunya bercocok tanam di rumah. Pot tentu dibutuhkan untuk memuaskan hal itu.
Kepala UPTD Pengembangan Sentra Keramik Plered Mumun Maemunah mengatakan, pot tanaman sangat diminati konsumen saat pandemi. Ia mencatat, dari 157 unit usaha gerabah di Plered, sekitar 90 persen melayani permintaan pot tanaman. Untuk sementara, pembuatan produk lain, seperti celengan, kendi, dan tempayan, harus mengalah.
Permintaan sungguh membeludak. Tumpukan pot kembali terlihat di teras toko-toko keramik di sekitar Jalan Raya Anjun-Plered. Yati (53), pemilik toko dan usaha gerabah, mengatakan, banjir pesanan terjadi sejak awal Juni 2020. Pesanannya melonjak dua kali lipat dari kemampuan produksinya senyak 480 pot per minggu. Bila sebelumnya jual beli cukup lewat telepon, kali ini pembeli langsung datang ke toko.
”Kebanyakan pembeli dari Jakarta dan Tangerang. Mereka sampai mau borong dan beli dengan harga tinggi,” ujar Yati yang menjual pot dari Rp 15.000-Rp 150.000 per pot.
Di Kota Tangerang Selatan, Banten, pot-pot berwarna oranye menumpuk di kios-kios penjual tanaman yang dipadati pembeli. Dua bulan terakhir, pembeli yang sebagian besar menggunakan mobil memarkirkan kendaraan di tepi jalan, memacetkan ruas jalan perumahan Graha Raya atau Graha Bintaro.
”Ini ramai sekali, apalagi kalau akhir pekan. Beli tanaman hias sampai antre panjang,” kata Susie, warga perumahan Graha Bintaro.
Yati mengatakan, potensi penambahan pesanan masih tinggi. Namun, ia tidak bisa begitu saja menambah produksi. Permintaan tinggi tak sebanding dengan jumlah perajin. Yati kini dibantu 20 pekerja. Mayoritas berusia di atas 40 tahun. Jumlah itu berkurang 50 persen ketimbang sembilan tahun lalu.
Kebanyakan pembeli dari Jakarta dan Tangerang. Mereka sampai mau borong dan beli dengan harga tinggi.
Laju ekonomi yang masih berputar kencang saat pandemi ini sudah sepatutnya disyukuri. Namun, pasang surut gerabah Plered sebenarnya sudah lama memberi pelajaran. Sejahtera tak bertahan lama bila mengekor hal tak terduga, seperti dulu gempa atau kini pandemi. Inovasi harus jadi benteng pertahanan utama.
Hal itu setidaknya sudah ditanamkan enam orang yang diyakini sebagai perintis gerabah Plered, yaitu Sarkun, Aspi, Warsya, Entas, Suhara, dan Ki Dasjan pada tahun 1904. Telah lama tiada, mereka mewariskan pengetahuan, salah satunya durasi pembakaran gerabah.
Di Plered, gerabah berbahan baku tanah liat itu dibakar pada suhu 900-1.100 derajat celsius selama 18-24 jam. Pembakaran lama dapat membuat gerabah lebih awet dan tak mudah retak.
Keunggulan itu didukung kandungan tanah liat Plered yang memiliki komposisi mineral illete dan chlorette yang dominan. Hal itu berpengaruh terhadap proses pembentukan dan pembakaran menjadi lebih lama. Namun, waktu yang lama itu dibayar dengan kelentingan dan daya tahan gerabah diklaim lebih baik.
Buktinya nyata. Konsumen dalam dan luar negeri kepincut. Tahun 1985, gerabah mulai diekspor dengan corak tembaga buatan perajin Suratani. Keramik hias ini kian berjaya saat menembus ekspor 24 negara di tahun 2010.
Akan tetapi, ketangguhannya sempat teruji akibat seret inovasi dalam beberapa tahun terakhir. Bila tahun 2014 masih ada 75 kontainer yang diekspor, pada Oktober 2019 hanya 55 kontainer yang terkirim. Satu kontainer berisi 2.500-4.000 gerabah beragam jenis dan ukuran.
Baca juga: Mariyah, Penjaga Cita Rasa Kupat Tahu Gempol yang Legendaris
Kepala Bidang Usaha Kecil dan Menengah di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Purwakarta Ahmad Nizar mengatakan, regenerasi dan inovasi masih jadi kendala pengembangan gerabah. Tanpa ide segar generasi baru, rupa gerabah sulit beranjak kreatif. Akibatnya, permintaan kian sepi. Gerabah rentan kehilangan pembeli.
Berdasarkan data UPTD Pengembangan Sentra Keramik Dinas Perindustrian dan Perdagangan Purwakarta, jumlah tenaga kerja di gerabah terus berkurang. Pada 2014-2016, masih ada 3.000 pekerja. Di tahun 2018, jumlah tinggal 2.406 orang. Tahun ini, pekerjanya diyakini kian sedikit. Kondisi ini diikuti penurunan jumlah pelaku usaha. Dari 268 unit di tahun 2014, kini hanya ada 157 unit. Total produksinya 1,2 juta-1,3 juta pot.
”Idealnya, produksi mencapai 5,68 juta pot. Agar tercapai, kami akan bekerja sama dengan perguruan tinggi terkait analisis usaha keramik. Integrasi kuat dari hulu hingga ke hilir agar produksi di sini tetap tinggi kapan saja,” kata Nizar yang kini sudah berinovasi mengolah limbah gerabah menjadi roster atau ventilasi, ubin terakota, dan bata tempel.
Mencari kestabilan
Saat ini titik bisnis stabil masih terus dicari. Asep Supriatna (39), pemilik usaha gerabah di Plered lainnya, berusaha agar tidak begitu saja terbuai dengan tingginya permintaan saat ini. Perhatian utama tetap diberikan pada pelanggan tetap dan konsumen pribadi yang sangat membutuhkan pot.
”Pembeli musiman senang memainkan harga. Setelah pot diborong, harganya melambung. Saat tren turun, harga bisa turun drastis,” ujarnya.
Idealnya, produksi mencapai 5,68 juta pot. Agar tercapai, kami akan bekerja sama dengan perguruan tinggi terkait analisis usaha keramik. Integrasi kuat dari hulu hingga ke hilir agar produksi di sini tetap tinggi kapan saja.
Ketimbang sekadar ikut arus, ia memanfaatkan tren ini dengan terus berinovasi. Sejak tiga tahun terakhir, Asep membuat pot beralas datar hingga mirip potongan bambu. Harganya bisa tiga kali lipat ketimbang gerabah konvensional. Dalam sebulan, ia bisa membuat 1.500 pot per bulan.
”Idealnya yang membuat ramai pesanan itu inovasi perajin, bukan pandemi seperti ini. Pesanan rutin lebih berharga ketimbang tiba-tiba tinggi dan kemudian anjlok lagi,” katanya.
Tetap berlari kencang saat pandemi memperlihatkan ketangguhan gerabah Plered. Namun, tanpa perencanaan matang, momentum tak biasa ini dikhawatirkan terasa hambar bagi masa depan industri rakyat ini.
Baca juga: Usaha Pembuatan Miniatur Pesawat dari Limbah Kayu