Farida Lucky Utami, Belajar dari Guru Kehidupan
Bagi Farida Lucky Utami (43), anak berkebutuhan khusus adalah guru kehidupan sesungguhnya. Semuanya menjadi semangat di balik berdirinya pusat terapi hingga balai latihan keterampilan yang ia dirikan.
Bagi Farida Lucky Utami (43), anak berkebutuhan khusus adalah guru kehidupan sesungguhnya. Semuanya menjadi penyemangat di balik pusat terapi hingga balai latihan keterampilan yang ia dirikan.
Sapaan hangat Farida mengawali perjumpaannya dengan lima siswa Amanda Learning Center, Karawang, Jawa Barat, Senin (25/1/2020). Hari itu, mereka bakal memulai lagi kegiatan rutin mengemas abon daging ayam. Setiap siswa sudah mengetahui tugasnya.
Mereka berpakaian seperti pekerja profesional. Ada masker untuk menutup hidung dan mulut. Juga ada sarung tangan plastik hingga celemek hitam dengan bordir nama setiap anak. Mereka mengenakannya dengan perasaan bangga.
Salah seorang siswa, Arya Taufiq NM (18), antusias dalam sesi ini. Mata anak muda dengan disabilitas intelektual ini tajam memperhatikan tangannya yang memasukkan abon ke dalam kantong plastik. Menggunakan sendok dan corong transparan, dia berusaha agar remah abon tidak jatuh dan mengotori permukaan meja. Kantong plastik yang penuh menjadi penanda abon sudah mencapai 100 gram.
Duduk di samping Taufiq, ada Seto Iskhak S (15) yang kebagian menimbang berat abon masing-masing 100 gram per kemasan. Remaja dengan gangguan pemusatan perhatian ini memastikan abon yang dimasukkan sudah sesuai takaran.
Selanjutnya, klip plastik abon ditutup anak-anak berkebutuhan khusus lain, M Naufal Suryana (14) dan Shafa Rafi Lazuardi (13). Keduanya juga bertugas membersihkan kemasan tetap terjaga dengan kain lap putih.
Siang itu, total abon yang akan dikemas sekitar 3 kilogram atau 30 buah plastik. Dalam sebulan, mereka bisa mengemas 10 kilogram abon untuk dititipkan pada sejumlah kantin dan koperasi perusahaan yang terdapat di Karawang.
Kegiatan yang berjalan sejak tahun 2018 ini diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mempunyai tingkatan ringan hingga tidak terkendala pada bagian motorik dan sensorik.
”Latihan keterampilan ini dilakukan berulang untuk melatih saraf motorik, konsentrasi, dan sekaligus menggali minat mereka terhadap berbagai bidang,” kata Farida.
Farida patut bangga dan bahagia. Membungkus abon menjadi satu dari sekian banyak terapi ABK yang ia pelajari secara otodidak. ”Awalnya untuk mendapatkan pendidikan terbaik bagi anak saya sendiri,” kata Farida.
Baca juga : Kedai Kopi Tunanetra di Tangerang Selatan
Tahun 2008 adalah masa ujian perdana bagi Farida. Putra keempatnya, Umar Aziz Nurcholish, didiagnosis sebagai anak dengan autisme. Sayangnya, saat itu, tidak mudah baginya untuk mendapatkan informasi terkait kelas terapi dan cara mendidik anak istimewa di kota kecil seperti Karawang.
Berbekal informasi dari internet dan orang terdekat, dia mendatangi sejumlah pusat terapi yang berada di Bekasi, Bandung, dan Jakarta. Akhirnya, pilihan jatuh kepada suatu pusat terapi yang terletak di Bekasi. Biaya terapi mencapai Rp 3,5 juta per bulan.
Selama lima hari dalam seminggu, dia bolak-balik dari Karawang-Bekasi menggunakan angkutan umum. Melelahkan. Namun, energinga seolah tak pernah habis demi Umar.
Akan tetapi, dua tahun berselang, Farida memutuskan untuk tidak melanjutkan kelas tersebut. Dia meras, hanya akan diburu lelah fisik sehingga membuat pendidikan bagi umar rentan tersisihkan. ”Saya lantas berpikir harus mempunyai tempat untuk melatih anak saya sendiri,” kata Farida dengan tekad bulat.
Ia mengawali langkahnya bergabung dengan suatu lembaga pusat terapi di Bekasi sebagai asisten terapi. Ia menambah ilmu lebih banyak dengan mengikuti seminar dan pelatihan sebanyak mungkin terkait ABK.
Dari situ, ia tahu, setiap ABK memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, penanganan antara satu anak dan yang lainnya berbeda. Bahkan, untuk memulai komunikasi dengan anaknya, Farida membutuhkan pendekatan intens dengan bahasa yang mudah dimengerti.
Dia mempraktikkan semua teori yang didapat dan menduplikasikan alat peraga di kelas terapi dengan barang yang tersedia di rumah. Misalnya, kartu pintar atau flash card gambar buah-buahan dibuat dari brosur supermarket yang dilaminating. Ada juga alat peraga balok kayu bisa digantikan dengan kaleng minuman bekas.
”Media peraga apa pun bisa digunakan untuk melatih konsentrasi dan kemampuan mereka dalam mengenali benda di sekitarnya, baik secara visual maupun motorik,” ucap Farida.
Dalam prosesnya, Farida kian memahami kebutuhan sang anak. Dia terus mengajari sang anak melakukan kegiatan sehari-hari, antara lain memegang sendok untuk makan, berpakaian sendiri, berlatih ke toilet, dan mencuci peralatan makan. Tujuannya melatih ABK bisa mandiri di kemudian hari.
Beberapa teman Farida tertarik untuk belajar dengannya setelah melihat perkembangan wicara Umar yang lebih baik daripada sebelumnya. Pada Maret 2013, dia merintis kelompok belajar anak berkebutuhan khusus Amanda (ABK Amanda). Amanda merupakan akronim dari anak mandiri dan berguna. Ada doa dan pengharapan baik yang terselip di dalamnya.
Farida paham betul bahwa biaya layanan terapi yang mahal menjadi kendala sejumlah orangtua untuk mengikutkan anaknya. Dia tiak ingin keterbatasan tersebut membuat anak-anak menjadi terhambat perkembangannya.
Di Amanda, iuran bulanan yang dibebankan menyesuaikan kondisi finansial setiap orangtua. Jumlahnya beragam, mulai dari Rp 200.00-Rp 1 juta per anak per bulan, atau jauh lebih murah ketimbang lembaga serupa lainnya. Amanda juga terbuka menerima donasi dari teman dekat dan komunitas yang ingin membantu.
Pada 2019, ABK Amanda berubah nama menjadi Amanda Learning Center seiring dibentuknya balai latihan keterampilan (BLK) dan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Program kejar paket atau PKBM menjadi peluang bagi ABK untuk mendapatkan sertifikat yang setara dengan tingkat sekolah. Kini, ada 29 orang yang tercatat siswa di sana.
Adapun minat dan kesenangan setiap anak akan dieksplorasi lebih jauh di BLK bersama delapan pengajar. Pelatihan ini diharapkan bisa membuka kesempatan kerja bagi ABK sehingga mereka bisa mandiri dan mampu menghidupi dirinya. Kini, lulusan Amanda tercatat sebanyak enam orang. Salah seorang di antaranya, Nuni, penyandang disabilitas intelektual, kini telah membuka bisnis binatu (laundry) di rumah.
Potensi Nuni yang gemar membersihkan rumah, mulai menyapu lantai hingga merapikan sepatu, menjadi dasar mengarahkan bidang yang akan digeluti Nuni ke depan. Sesuatu yang dikerjakan dengan gembira akan membuat seseorang berkembang.
Baca juga : Jangan Khawatir, Colek Saja Pundakku...
Ke depan, Farida berkeinginan menyediakan lapangan kerja bagi ABK. Selama ini, tidak sedikit yang memandang ABK tidak sanggup bekerja seperti orang pada umumnya. Padahal, keterbatasan bukanlah halangan untuk berkarya dan bekerja.
Diragukan
Lebih dari sewindu Farida berkecimpung di dunia pendidikan ABK. Tak sedikit akademisi dan ahli yang memandang sebelah mata upaya Farida memajukan pendidikan yang terjangkau bagi ABK. Buat mereka, Farida dianggap tidak kompeten mengurus ABK karena tidak memiliki latar belakang formal di bidang tersebut.
Farida tidak mau ambil pusing, dia tetap fokus untuk mengembangkan Amanda Learning Center agar berdampak luas. Dia juga terus mengasah diri dengan mengikuti beragam pelatihan dan kursus.
”Kalau saya, bukan sebagai ahli, saya ibu dari anak berkebutuhan khusus. Yang menjadi dasar saya adalah pendidikan pertama anak ada di ibu. Maka, yang paling mengerti kebutuhannya adalah ibu itu sendiri,” ucapnya.
Ia juga sadar ABK merupakan guru kehidupan. Dari mereka, ia belajar tentang kehidupan. ”Pendidikan untuk mereka adalah perjalanan sepanjang hidup, mulai dari lahir, mengatasi hambatan, melatih mereka bertahan hidup, hingga mereka mandiri,” tambahnya.
Baca juga : Ekosistem Digital Bantu Berdayakan Penyandang Disabilitas
Farida Lucky Utami
Lahir: Semarang, 17 Juli 1977
Pendidikan: SMA Muhammadiyah Sumowono (lulus 1994)
Aktivitas: Pendiri Amanda Learning Center