Setiap anak mempunyai cara tersendiri untuk berinteraksi dengan temannya. Spontanitas mereka dalam bertutur, bermain, dan bergurau memberikan energi bagi sekitar.
Oleh
melati mewangi
·4 menit baca
Setiap anak mempunyai cara tersendiri untuk berinteraksi dengan temannya. Spontanitas mereka dalam bertutur, bermain, dan bergurau memberikan energi bagi sekitar. Dengan menyadari perbedaan yang ada, membuat mereka belajar untuk saling menghargai.
Telunjuk dan ibu jari Reza (14) bergerak seperti menghitung angka. Dia duduk di kursi yang dilengkapi meja di depannya. Tangan kanannya mencengkeram roti dengan erat dan mulutnya lahap mengunyah kudapan itu.
Raut wajahnya gembira setiap kali menggigit roti. ”Hmm, enak banget. Reza suka roti isi kacang,” ucapnya.
Reza adalah difabel netra di kelas terapi Amanda Learning Center (ALC), Karawang, Jawa Barat. Kamis (10/9/2020) siang, dia bersama kelima temannya mengikuti pembelajaran dan terapi di kelas.
Ruangan terapi memang tak seramai biasanya dengan total 13 anak. Mereka yang diperbolehkan datang adalah anak yang dianggap paham perintah penggunaan masker.
Kegiatan terapi anak berkebutuhan khusus (ABK) sempat terhenti Maret 2020 karena pandemi. Namun, sejumlah orangtua mendorong agar kegiatan dibuka. Mereka mengeluh kewalahan. Di satu sisi, ABK sangat senang jika bertemu dan berinteraksi dengan teman di kelas. Akhirnya, ALC diputuskan buka kembali pada Juli.
Mereka belajar sejak pukul 08.00 hingga 12.00. Kegiatan dimulai dengan senam otak dan latihan fisik motorik menggunakan musik. Jam istirahat atau snack time adalah waktu yang dinanti-nanti. Mereka diperbolehkan melepas masker saat jam istirahat atau makan saja. Setiap anak membawa bekal nasi atau roti lengkap dengan minum.
ABK dengan gangguan spektrum autisme (ASD), Kenneth (11) dan Aji (6), selesai makan lebih dulu dibandingkan anak lain. Energi mereka cukup banyak. Oleh sebab itu, guru dan terapis selalu siaga memberikan berbagai permainan edukatif untuk menyalurkan kelebihan energi mereka.
Setelah diberi alat main, mereka akan sibuk sendiri mengutak-atiknya. Sesekali mereka tertawa dan berteriak. Kelas pun menjadi ramai. Dari semua anak, Reza memiliki pendengaran yang sangat tajam. Dia hafal betul suara teman-temannya.
Ketika Aji tertawa, Reza pun ikut tertawa sambil berkata, ”Suaranya Aji itu.”
Salah satu tujuan terapi adalah melatih ABK agar mandiri dalam aktivitas sehari-hari. Mereka wajib mencuci alat makan setelah digunakan. Jaisu (8) dan Bian (11), ABK dengan down syndrome, terampil mencuci alat makan di tempat cuci. Kurang dari lima menit, kotak makan dan sendok pun bersih. Selanjutnya, alat tersebut dimasukkan ke tas pribadi yang terletak di sudut kelas.
Rafi (11), ABK dengan diagnosis difabel grahita terlambat bicara, akan sigap membantu teman-temannya yang kesulitan mengambil tas. Rafi memang tak banyak bicara, dia menunjukkan kepeduliannya dengan tindakan.
Maklum, posisi duduknya sangat strategis, yakni bersebelahan dengan tumpukan tas. Semua anak sudah selesai makan, kecuali Reza. ”Ayo Reza, dikunyah,” kata Fifa (24), guru dan terapis.
Rafi pun spontan mengangkat pergelangan tangan kirinya sambil menunjukkan layar jam tangan kepada Reza. Tak sepatah kata pun diucapkan Rafi.
”Rafi, Aa Reza tidak bisa melihat. Jadi dikasih tahunya lewat suara, begini, ayo Aa Reza makan, ini sudah jam 11,” ucap Fifa mengingatkannya.
”Iya Fi, kamu colek saja pundakku,” sambung Reza sambil tersenyum.
Rafi memperhatikan keduanya dan diam tak bersuara. Begitu kelas dimulai, dia sibuk membetulkan masker yang dikenakan teman lain yang belum terpasang benar. Dia melakukannya sambil berkata, ”Maskernya dipakai, ya.”
Pembatasan sosial dan fisik membuat aktivitas tidak dilakukan seperti saat normal. Agenda jalan-jalan pagi sebelum kelas pun ditiadakan. Padahal, kegiatan itu bertujuan untuk melatih motorik dan sensorik mereka. Durasi pembelajaran juga dibatasi tidak sampai sore.
Co-Founder Amanda Learning Center Kholid Nurcholish mengatakan, ABK membutuhkan stimulasi langsung untuk menunjang perkembangan psikomotorik. Kesempatan untuk bertemu dengan teman melatih kepekaan dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
”Mereka itu sangat senang kalau berinteraksi secara langsung dengan guru dan teman di kelas,” ujarnya.
Pembelajaran daring tidak dilakukan. ALC menerapkan sistem home visit, yakni terapis atau pendamping mendatangi rumah dan memberikan modul setiap seminggu sekali. ”Pandemi membuat kami kesulitan dalam mengawasi perkembangan mereka secara lansgung,” ujar Kholid.
Beberapa orangtua ABK, kata Kholid, belum memahami betul bagaimana menangani anaknya. Ada yang mengeluh anaknya semakin sulit dikontrol karena lama tidak menjalani terapi. Tak sedikit yang kesulitan mendampingi anaknya dengan modul yang diberikan.
Cara berinteraksi dan berkomunikasi yang unik menciptakan ruang belajar bagi setiap individu untuk memahami satu sama lain. Dalam prosesnya, mereka akan bertumbuh menjadi pribadi yang bisa merangkul perbedaan.