Miyazaki Taiki, Orang Jepang yang Berbakti pada Tempe
Gara-gara tinggal di Yogyakarta, Miyazaki Taiki jatuh cinta pada tempe. Ia kini memproduksi tempe di negaranya dan mengajari orang-orang di sana makan tempe.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·5 menit baca
Ketika berkunjung di Indonesia, pemuda asal Jepang, Miyazaki Taiki, jatuh cinta dengan tempe. Selain enak dan mudah dibuat, tempe juga bernutrisi tinggi. Miyazaki kemudian tegerak untuk mengembangkan tempe di Jepang dengan kedelai lokal yang ia kembangkan secara khusus.
Jumat (18/12/2020), Miyazaki baru selesai membereskan kebun seluas 400 meter persegi di Sagamihara, Provinsi Kanagawa, Jepang. Di kebun itu Miyazaki menanam sayuran dan kedelai untuk bahan baku tempe. Ia bisa menanam kedelai lokal setelah belajar dari petani lokal. Penanaman kedelai dilakukan secara organik atau tidak memakai pestisida.
Setiap panen, Miyazaki bisa mendapatkan 150 kilogram kedelai. Biji-biji kedelai itu kemudian ia olah menjadi tempe. Tempe yang sudah jadi sebagian ia olah menjadi aneka makanan, seperti tempekatsu dan saus tempe untuk pasta. Aneka olahan tempe itu ia pasarkan sendiri ke sejumlah restoran.
Miyazaki menceritakan, ide mengembangkan tempe di Jepang muncul setelah ia melihat banyak petani kedelai di Sagamihara yang merana karena hasil panen kedelai petani lokal kalah dari kedelai impor, seperti kedelai dari Kanada dan Amerika Serikat. Padahal, para petani ingin mempertahankan kedelai lokal agar tidak punah.
”Situasinya mungkin mirip dengan Indonesia, yaitu kedelai lokal kalah (bersaing) dari kedelai impor yang harganya lebih murah. Kalau kedelai terus-terusan tidak laku, bisa-bisa petani berhenti menanam kedelai. Saya kemudian teringat dengan olahan kedelai, yaitu tempe, yang rasanya enak sekali. Dari situ, saya kepikiran mengolah kedelai menjadi tempe,” kata pemuda berusia 24 tahun yang lancar berbahasa Indonesia saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (18/12/2020).
Miyazaki tahu kelezatan tempe karena ia berkali-kali datang ke Indonesia pada kurun waktu 2015-2018. Pada saat itulah, lidah Miyazaki berkenalan dengan aneka olahan tempe, mulai tempe goreng, sambal tempe, hingga orek tempe. ”Tempe itu enak, sehat, dan bisa dimasak dengan berbagai cara,” kata Miyazaki.
Makanan sehat seperti tempe, kata Miyazaki, bisa mencegah penyakit. Ini cocok dengan tujuan Pemerintah Jepang yang menjalankan program pencegahan penyakit demi mengurangi pengeluaran biaya medis.
Berangkat dari situ, Miyazaki secara serius belajar membuat tempe. Awalnya, ia belajar lewat internet. Selanjutnya, pada 2019 ia datang ke Indonesia untuk belajar membuat tempe di Rumah Tempe Indonesia di Yogyakarta. Selama dua pekan ia belajar memproduksi tempe, mulai dari pengenalan bahan baku, proses produksi, dan penanganan limbah kedelai. Setelah mahir, ia pulang ke Jepang dan mulai memproduksi tempe.
Ia tidak puas hanya memproduksi tempe. Ia juga belajar menanam kedelai bersama yang hasilnya dipakai untuk bahan baku tempe. Dengan begitu, produksi tempe ia lakukan mulai hulu hingga hilir.
Tantangan berikutnya yang ia hadapi adalah mengenalkan tempe kepada masyarakat Jepang. ”Saat saya menjual tempe, mereka bertanya, bagaiamana cara memakannya? Bagaimana cara memasaknya,” katanya.
Agar tempe mudah diterima oleh masyarakat, Miyazaki mengolah tempe menjadi berbagai jenis masakan, seperti tempekatsu dan saus tempe. Pelanggan hanya cukup memanaskan tempe di microwave ataupun menggoreng lagi dengan minyak. Tempe lalu bisa dinikmati sesuai selera.
Di akun Instagram tempe.zaki, Miyazaki kerap membagikan foto olahan tempe, seperti piza tempe dan burger tempe. Ia juga membuat saus tempe yang bisa dicampur dengan pasta. Saat ini, Miyazaki sudah mengantongi izin produksi tempekatsu. Namun, karena belum mempunyai label, ia baru menjual tempe kepada orang-orang dekat.
Berbakti
Miyazaki lahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya Kenji dan Chieko bekerja di perusahaan pengangkutan dan pengolahan limbah industri. Keluarga ini juga membuka rumah makan sup ala Jepang. Di tengah kesibukannya mengurus lahan kedelai dan memproduksi tempe, Miyazaki membantu ayahnya menjadi pengangkut sampah. Demikian juga ketika toko makanan sedang ramai, ia akan membantu ibu berjualan.
”Saya melakukan bergantian, berulang kali. Belakangan ini, ayah dan ibu sangat sibuk. Jadi, saya harus membantu pekerjaan keduanya. Saya berharap punya alter-ego untuk membagi diri pada dua pekerjaan,” katanya diikuti tawa.
Orangtua selalu mendukung langkah hidup Miyazaki. ”Prinsip orangtua saya adalah coba saja apa pun. Kita tidak pernah tahu kalau belum mencoba,” ujarnya.
Karena ajaran itu, Miyazaki tidak takut untuk mencoba hal-hal baru dalam hidupnya. Pada 2015, ia berkunjung ke Bali. Saat itu ia mahasiswa jurusan Ilmu Budaya di Universitas Kokishikan di Setagaya, Tokyo, Jepang. Di ”Pulau Dewata”, ia melihat sampah menumpuk di pinggir pantai dan jalan raya. Kenyataan ini membuatnya tidak tenang.
Ia bertekad kembali di Indonesia untuk membantu mengatasi masalah sampah. Setahun kemudian, ia mewujudkan cita-citanya dengan kuliah di Universitas Gadjah Mada. Ia juga bergabung dengan kegiatan kerelawanan untuk mengatasi masalah sampah di Yogyakarta. Ia melihat sampah rumah tangga dikumpulkan di tempat penampungan sementara lalu dibawa ke tempat pembuangan akhir. Di tempat pembuangan akhir, berbagai jenis sampah dimakan oleh sapi. Setelah tumbuh besar, sapi dipotong dan dijual di pasar.
Ini mengingatkannya padan siklus pencemaran lingkungan yang terjadi di Jepang. Pada 1970-an, banyak warga Jepang terinfeksi penyakit minamata dan itai-itai. Penyakit ini muncul karena banyak warga Jepang tekontaminasi atau keracunan makanan yang mengandung merkuri.
Saat itu, kondisi lingkungan di Jepang sangat buruk sehingga banyak ikan yang makan sampah. Padahal, kebiasaan konsumsi ikan laut di Jepang sangat tinggi. ”Saya bukan ahli peternakan dan tidak tahu apa dampak sapi makan sampah plastik, baterai, dan makanan busuk. Namun, melihat banyak sapi makan sampah ini membuat saya ingin melakukan sesuatu,” katanya.
Perjalanannya ke Indonesia membuat ia mengenal lebih erat masyarakat Indonesia dan salah satu makanan kegemaran bangsa ini, yakni tempe. Kini, Miyazaki pun tak bisa lepas dari tempe.
Miyazaki Taiki
Lahir: Sagamihara, 15 Januari 1996
Pendidikan:
Ilmu Budaya Universitas Kokishikan
Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada