Sambil bekerja sebagai pengayuh becak, Sutopo (73) tekun menularkan kegemaran membaca buku. Setiap hari, dia membawa ratusan buku di becaknya yang bisa dibaca dan dipinjam oleh siapa saja secara cuma-cuma.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Beberapa tahun terkahir, Sutopo (73) mengayuh becak sambil menularkan kegemarannya membaca buku. Dia membawa ratusan buku yang boleh dibaca dan dipinjam siapa saja tanpa biaya. Peminjamnya tak hanya pelajar dan mahasiswa, tetapi juga pemulung, tukang becak, dan pedagang kaki lima.
Rabu (12/8/2020) siang, Sutopo duduk di becaknya yang terparkir di pinggir Jalan Tentara Pelajar, Kota Yogyakarta. Sambil menunggu penumpang, dia menata buku-buku yang ada di becaknya. Total ada sekitar 100 buku yang tersimpan di dekat jok penumpang becak tersebut.
Jenis buku yang ada di becak Sutopo itu lumayan beragam. Ada beberapa buku karya tokoh terkenal, misalnya Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, Indonesia Menggugat karya Soekarno, serta novel Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana. Ada pula buku sains populer seperti Misteri Otak Kanan Manusia karya Daniel H Pink serta buku motivasi seperti 7Laws of Happiness yang ditulis Arvan Pradiansyah. Selain itu, ada buku-buku bertema sosial, agama, ekonomi, biografi, dan sebagainya.
Berbeda dengan kebanyakan becak lain, becak milik Sutopo memang tak hanya berfungsi untuk mengangkut penumpang. Di becak itu, Sutopo menyimpan banyak buku yang bisa dibaca dan dipinjam oleh siapa saja. Itulah kenapa becak milik Sutopo itu kemudian dijuluki sebagai becak pustaka.
”Becak saya ini selain untuk mengangkut penumpang, juga menjadi semacam perpustakaan,” kata Sutopo yang merupakan lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta, tahun 1971.
Sutopo merupakan pensiunan pegawai pegawai negeri sipil (PNS) di Komando Distrik Militer (Kodim) Yogyakarta. Sejak 1977, Sutopo bekerja di Kodim Yogyakarta sebagai juru gambar. Mulanya, ia berstatus sebagai pegawai honorer sebelum diangkat menjadi PNS tahun 1987. ”Saya pensiun tahun 2003, lalu tahun 2004 saya memutuskan menjadi tukang becak,” ujarnya.
Selain untuk mendapat tambahan penghasilan, Sutopo menjadi tukang becak untuk menjaga kondisi fisiknya. Dengan menjadi tukang becak, ia berharap kesehatannya bisa terus terjaga karena setiap hari dia mesti berolahraga dengan mengayuh becak ke berbagai tempat.
”Setelah pensiun, saya ingin punya pekerjaan yang sekaligus bisa untuk olahraga. Makanya, saya pilih mengayuh becak karena bisa olahraga sekaligus dapat uang dari penumpang,” ujar Sutopo yang mendapat penghasilan sekitar Rp 20.000 sampai Rp 30.000 dalam sehari.
Sutopo biasa mangkal di dekat sebuah sekolah dasar (SD) di daerah Bumijo, Yogyakarta. Sejak awal narik becak, Sutopo kerap menghabiskan waktu dengan membaca buku saat menunggu penumpang. ”Sejak kecil, saya memang senang membaca. Waktu kelas V SD, saya menjadi anggota beberapa perpustakaan di Yogyakarta. Makanya saat nunggu penumpang di becak, saya selalu baca buku,” kata ayah tiga anak itu.
Aktivitas membaca buku yang dilakoni Sutopo itu ternyata menarik perhatian beberapa orang, termasuk sejumlah orangtua murid SD di dekat tempat dia biasa mangkal. Beberapa orangtua murid itu pun tergerak untuk memberi buku-buku kepada Sutopo. ”Tahun 2017, saya mendapat sumbangan 20 buku dari salah satu orangtua murid,” ujarnya.
Sutopo memutuskan membawa buku-buku sumbangan itu di becaknya. Sebab, dia ingin buku-buku tersebut tak hanya memberi manfaat kepada dirinya, tetapi juga bagi orang lain. ”Masak, saya mendapat sumbangan buku, tetapi hanya saya baca dan simpan di rumah, kan, kurang etis. Akhirnya, saya bikin rak di becak untuk membawa buku-buku itu,” ungkapnya.
Sejak itulah Sutopo resmi menjadikan becaknya sebagai becak pustaka. Melalui becak pustaka itu, Sutopo ingin menyebarkan kegemaran membaca buku kepada siapa saja yang dijumpainya. Sebab, menurut dia, banyak pihak yang saat ini tak lagi tertarik untuk membaca buku.
”Ketika saya nunggu penumpang, saya lihat orang-orang itu dari anak hingga dewasa sangat sering pegang handphone, tetapi jarang baca buku. Saya prihatin melihat situasi itu,” kata Sutopo.
Gratis
Sutopo menuturkan, semua buku yang ada di becaknya itu bebas dibaca oleh siapa saja secara gratis. Buku-buku itu juga boleh dipinjam dan dibawa pulang tanpa harus membayar. Jangka waktu peminjaman buku-buku tersebut tak dibatasi dan bahkan peminjam juga tak perlu meninggalkan kartu identitas saat membawa pulang buku pinjaman.
”Prinsipnya, saya bebaskan saja. Silakan baca buku di tempat ini ataupun dibawa pulang ke rumah. Waktunya bebas,” ucap Sutopo yang sehari-hari tinggal di Kelurahan Cokrodinigratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta.
Berbagai keleluasaan itu diberikan karena Sutopo tak ingin orang merasa terbebani saat membaca atau meminjam buku dari becak pustaka. Dengan kemudahan itu, banyak orang yang akhirnya tergerak untuk membaca atau meminjam buku di becak pustaka. Pembaca dan peminjam buku itu bukan hanya para penumpang becak Sutopo, tetapi juga orang-orang lain yang kebetulan melihat becak pustaka.
”Yang baca dan pinjam buku itu macam-macam. Ada mahasiswa, pelajar, anak-anak, ibu-ibu. Bahkan ada pemulung, tukang becak, dan pedagang kaki lima yang juga baca atau pinjam buku di sini,” papar Sutopo.
Namun, aturan yang terlalu longgar itu kadang juga dimanfaatkan orang-orang tak bertanggung jawab yang meminjam buku, tetapi tidak mengembalikannya. Meski begitu, Sutopo tidak marah atau kecewa apabila buku-bukunya tidak dikembalikan.
”Ada yang pinjam empat buku, tetapi yang kembali dua. Ada juga yang sama sekali enggak mengembalikan. Tapi, hal seperti itu enggak saya pikirkan karena hilang satu buku akan diganti Tuhan seratus buku,” ungkap Sutopo.
Keyakinan Sutopo itu memang terbukti. Berkat konsistensinya mengelola becak pustaka, banyak pihak yang kemudian tergerak untuk membantu menyumbangkan buku. Mereka yang menyumbang itu tak hanya dari Yogyakarta, tetapi juga kota-kota lain. ”Pernah ada orang Bali yang nyumbang buku satu kardus. Buku-buku itu dititipkan ke temannya di Yogyakarta,” ujarnya.
Oleh karena itu, jumlah buku Sutopo pun terus bertambah dan hingga kini sudah mencapai ratusan judul. Selain sekitar 100 buku yang berada di becak pustaka, dia juga menyimpan sekitar 200 buku di rumahnya.
Sebenarnya, Sutopo juga memiliki keinginan untuk membuka perpustakaan di sekitar tempat tinggalnya. Namun, hingga sekarang, belum ada tempat yang representatif untuk membuka perpustakaan itu. ”Karena saya semakin tua, saya juga ingin mengganti becak kayuh saya dengan becak motor supaya jangkauan becak pustaka lebih jauh dan buku yang bisa dibawa lebih banyak,” katanya.
Sebuah mimpi yang sederhana, tetapi penting milik seorang tukang becak yang ingin menularkan kebiasaan membaca.
FX Sutopo
Lahir: Yogyakarta, 7 Juni 1947
Istri: Sudarinah (68)
Anak:
Edi Susanto (almarhum)
Yosep Hermawan (42)
Nanik Setiani (40)
Pendidikan terakhir: Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta, lulus tahun 1971.
Pekerjaan: pengemudi becak dan pengelola becak pustaka