Andreas Camelia dan Meditasi Titik-titik
Andreas Camelia termasuk seniman langka. Sejak lebih dari 35 tahun, ia konsisten menggambar dengan teknik pointil yang membentuk obyek dengan jutaan titik.
Andreas Camelia termasuk seniman langka. Sejak lebih dari 35 tahun ia konsisten menggambar dengan teknik pointil, yang membentuk obyek dengan jutaan titik. Efek tebal tipis titik menciptakan komposisi yang membentuk obyek gambar.
Ia tak kenal Georges Seurat (1859-1891), pelukis Perancis yang dikenang sebagai pelopor aliran pointilisme. Gambar-gambar yang ia kerjakan dengan rapido bisa mencapai ukuran 10 meter persegi!
”Saya bekerja naluriah saja. Pada awalnya untuk keperluan t-shirt,” kata Andreas, Jumat (12/6/2020), dari Bandung. Saat ini, Andreas sedang sibuk menggarap lukisan berjudul ”Heritage”, tentang perjalanan sejarah pemerintahan di China sejak zaman klasik sampai zaman modern. Menurut rencana, lukisan yang terdiri atas beberapa panel ini akan dipamerkan di China tahun 2020. ”Doakan saja bisa pameran di China,” katanya.
Andreas sama sekali tak pernah mempelajari teknik melukis pointil sebagaimana yang dikembangkan oleh Seurat dan Vincent van Gogh. Apalagi Seurat dan Van Gogh melukis dengan kuas dan menggunakan cat minyak atau akrilik. ”Saya setia menggunakan rapido dalam berbagai ukuran, untuk satu lukisan bisa menggunakan puluhan, dari (ukuran) 0.1 sampai 1.4. Bisa satu set lebih,” tutur seniman kelahiran, 16 Juni 1958, ini.
Saya setia menggunakan rapido dalam berbagai ukuran, untuk satu lukisan bisa menggunakan puluhan.
Sebelum menekuni bidang kanvas, Andreas menerapkan teknik pointil pada t-shirt. Ia bisa memisahkan warna-warna primer pada proses penyablonan secara manual sebelum teknologi Photoshop ditemukan.
Sekali menyablon mobil-mobil F1 kegemarannya di atas bidang kaus, ia bisa menyapukan warna sampai 30 kali. ”Karena satu warna sekali sapu, kalau warnanya 30, berarti penyablonan butuh 30 kali,” katanya. Penggunaan teknik pointil, tambahnya, memudahkannya menerapkan beraneka warna ke dalam proses penyablonan.
Ketika bisnis kaus menyurut, ia beralih melukis potret para aktris Indonesia setiap penyelenggaraan perhelatan Festival Film Indonesia (FFI). Aktor-aktor seperti Slamet Rahardjo dan Sophan Sophiaan, serta sutradara Arifin C Noer, menjadi bidikannya. ”Semuanya pasti mengoleksi lukisan saya. Cuma waktu itu masih menggunakan media kertas,” tutur Andreas.
Tahun 1985, ia bertemu dengan perupa Nyoman Nuarta yang memintanya melukis keluarganya. ”Syaratnya minta saya pakai kanvas. Saya berpikir keras karena pasti tidak mudah,” kata Andreas. Permukaan bidang kertas dan kanvas sangat berbeda.
Dengan pori-pori yang lebih rapat, kertas bisa menyerap tinta secara perlahan sehingga tidak menimbulkan efek luberan yang meluas. Sementara kanvas dengan serat kain yang lebih longgar membuat cairan tinta lebih mudah meluber. ”Saya setengah mati mencari kanvas yang cocok walau akhirnya ketemu kanvas dari Belanda yang saya pakai sampai sekarang ini,” katanya.
Ketekunan
Ketika para perupa kontemporer Indonesia ramai-ramai menekuni media cat air, cat minyak atau akrilik, Andreas bergeming dengan rapido bertinta hitam. Ia percaya konsistensi pada suatu saat akan melahirkan karya-karya yang mendapatkan pengakuan publik.
Barangkali sulit membayangkan bagaimana Andreas harus menitikkan jutaan titik untuk bidang kanvas yang luas. Titik-titik itu pun bukan sembarang titik, ia memiliki karakter pada setiap detialnya yang ditandai dengan tebal-tipis.
Ketika menggambar potret Nyoman Nuarta dengan latar belakang patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang berukuran raksasa (sekitar 8 meter), Andreas membutuhkan waktu selama tiga bulan dengan disiplin kerja kantoran. Kuncinya, kata Andreas, ketekunan dan kerja keras. Dari dua kata kunci itu, ia belajar tentang kesabaran dan meditasi.
”Akhirnya saya sadar, setiap menorehkan titik di atas kanvas itu seperti meditasi. Saya belajar memahami karakter diri sendiri,” ujarnya. Proses kerja yang lama dan membutuhkan konsentrasi dilakoni Andreas secara sabar dan pasrah.
”Tidak boleh ada kesalahan. Setiap titik adalah bagian integral dari komposisi di bidang gambar dengan karakternya yang berbeda-beda,” katanya.
Beberapa tahun belakangan, ia mencoba menerapkan apa yang ia sebut sebagai meditasi titik-titik kepada beberapa anak berkebutuhan khusus seperti autis. Ia, misalnya, meminta anak-anak itu membuat sketsa dan kemudian menggoreskan titik-titik secara perlahan dan teratur.
”Banyak anak yang kemudian jadi lebih tenang. Mereka bahkan asyik banget menggambar titik-titik,” katanya. Oleh sebab itu, bengkel kerjanya di komplek NuArt Sculpture Park Bandung sering kedatangan siswa-siswa yang ingin belajar menggambar dengan titik.
Akhirnya saya sadar, setiap menorehkan titik di atas kanvas itu seperti meditasi. Saya belajar memahami karakter diri sendiri.
”Saya terbuka saja, siapa pun yang datang dan ingin belajar silakan, asalkan kuat dan tekun saja. Tak mungkin sekali jadi,” ujar Andreas.
Andreas memang tidak berniat menjadikan metode melukisnya sebagai bagian dari terapi, tetapi jika apa yang ia kerjakan mendapatkan apresiasi, ”Itu patut disyukuri saja,” katanya. Artinya, kerja puluhan tahun, di bidang menggambar yang tak banyak penekunnya, tidak sia-sia untuk kemanusiaan.
Jika para pelukis lain setiap periode menghasilkan gambar yang berbeda, Andreas tetap seperti semula. Ia tak akan pernah lari dari keahliannya menyusun titik-titik yang membentuk komposisi pada bidang gambarnya. Meski teknologi komputer mengonversi titik-titik menjadi piksel untuk kemudian dieksekusi dengan mesin printer, Andreas tak pernah risau. ”Pasti berbeda hasilnya. Komputer tak bisa menyalurkan emosi dari hati pelukis melalui tangan sampai pada titik-titiknya,” katanya.
Meski belakangan banyak pejabat mulai antre minta dibuatkan potret diri dan keluarganya, Andreas tetap saja menggambar obyek-obyek yang ia anggap menarik. Dia bisa menggambar secara paralel 4-5 lukisan sekaligus. ”Buat variasi biar enggak bosan,” ujarnya.
Apa yang Anda pelajari setelah puluhan tahun menekuni pointilisme?
”Saya belajar sabar dan mengendalikan emosi. Semuanya bisa karena setiap titik adalah meditasi di atas kanvas,” katanya.
Apabila Anda menjadi kolektor karya-karya Andreas yang langka, sesungguhnya Anda sedang menelusuri jalan yang serupa. Anda bisa menemukan jalan menuju meditasi pada setiap titik yang perlahan-lahan dalam tebal dan tipis mengantarkan kita kepada cahaya, yakni cahaya keindahan.
Andreas Camelia
Lahir : 16 Juni 1958
Prestasi : Nominee dalam Internasional Painting Competition Jakarta Art Award 2012.
Pameran :
--The Journey of Mighty Garuda Wisnu Kencana, NuArt Sculpture Park Galeri Bandung (2014)
--Mulat Sarira Nagri Parahyangan, NuArt Sculpture Park Galeri Bandung (2016)
--Pameran Drawing ”Tong Hariwang Seniman Ngahiji di Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung (2019)
--Virtual Exhibition & Online Fundraising, ConoArt (2020)