Tjoeng Lan Fang, Sebuah Cerita yang Belum Selesai
Kami diminta bersalaman dan saat itulah untuk kali pertama aku menyentuh tangannya dan aku berdebar karenanya.
Bangun tidur pagi, aku menerima pesan Whatsapp yang aneh dari nomor yang tak tercatat: Datanglah ke sebuah rumah di Jalan Mawar. Masuklah dari Jalan Garuda, belok kiri, rumah ketiga. Rumah panggung kayu warna hijau toska. Ditunggu. TLF.
TLF? Aku terjaga sepenuhnya dengan perasaan yang campur aduk.
TLF adalah inisial nama yang tak akan pernah kulupa: Tjoeng Lan Fang. Benarkah itu pesan dari dia?
Aku berkenalan dengan Tjoeng Lan Fang ketika kami sama-sama SMP, di kota kecil kami Bumiayu, seperempat abad yang lalu. Aku kelas tiga dan tiap istirahat membantu Bu Guru Bahasa Indonesia menjadi petugas perpustakaan, khususnya melayani peminjam buku. Tak banyak peminjam buku dan di antara yang sedikit itu adalah Lan Fang.
Lan Fang kelas dua dan setidaknya seminggu dua kali meminjam buku. Sekali pinjam dua buku, artinya seminggu dia bisa menyelesaikan empat buku. Rupanya dia senang meminjam buku-buku cerita, terutama novel remaja. Aku menyukai siswa dan siswi yang senang membaca buku dan itu sebabnya aku menyukai Lan Fang.
Aku juga menyukai Lan Fang karena dia cantik, berkulit putih bersih, bermata sipit, berambut kepang dua, serta murah tawa yang indah karena dihiasi dua lesung pipi.
Aku tidak tahu rumahnya dan, kalaupun tahu, tentu saja aku tak pernah berani main ke rumahnya. Kudengar dia punya toko kelontong di tepi jalan besar. Maksudku, toko itu milik orangtuanya. Aku merasa hanya remaja biasa-biasa saja, hanya, sama seperti Lan Fang, aku senang membaca buku dan sering mendapat nilai bagus dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
Bu Guru Bahasa Indonesia sempat bilang, kalau masa tugasku di perpustakaan sekolah sudah selesai, sudah ada calon penggantiku: Lan Fang.
”Kenapa tidak sekarang saja bareng saya, Bu?” tanyaku, tapi hanya dalam hati.
Bu Guru tersenyum memandangku. Aku curiga dia bisa membaca pikiranku dan itu sebabnya aku melengos karena malu, pura-pura merapikan tumpukan buku.
Satu-satunya kesempatan kami bertemu, ya, di ruang perpustakaan. Dia akan muncul di pintu dengan senyum manisnya yang segera membuat matanya makin tipis dan lekukan lesung pipinya makin dalam. Dia akan menyerahkan dua buku yang selesai dipinjamnya, kemudian mendekati deretan buku, membaca judul-judulnya.
Kalau sudah begitu, aku kadang berhenti mengerjakan tugasku karena tergoda untuk memandangnya dari belakang. Aku akan mengalihkan pandanganku ketika ia sudah menarik dua buku, lalu menyerahkannya kepadaku untuk dicatat.
”Terima kasih, ya, Mas,” katanya, tersenyum manis lagi, kemudian melangkah dengan telapak nyaris tanpa suara menuju pintu keluar. Kupandang dia sampai yang tampak hanya bidang kosong.
Baca juga: Telunjuk
Ketika saatnya masa tugasku sebagai petugas perpustakaan berakhir, Bu Guru mengadakan semacam serah terima tugas antara aku dan Lan Fang. Kami diminta bersalaman dan saat itulah untuk kali pertama aku menyentuh tangannya dan aku berdebar karenanya. Kami sama-sama tersenyum. Rasanya ingin sekali waktu berhenti saat itu.
Pada suatu hari kami bertemu secara tak sengaja, atau kupikir memang tak sengaja, di depan ruang kelasnya ketika bel pulang sekolah sudah berbunyi.
Dia berhenti. ”Eh, Mas?”
Aku juga berhenti dan kami berhadap-hadapan. ”Ya?”
”Bisa, mmm, minta tolong?”
Dia memberikan isyaratnya untuk berjalan. Jadi kami berjalan berjejeran menuju pintu gerbang sekolah.
”Minta tolong apa?” kataku setelah kami tiba di luar pagar sekolah. ”Jangan yang susah-susah, ya.”
Lan Fang tertawa. Tersenyum saja membuat matanya makin tipis, maka tertawa membuat matanya hanya berupa garis. Tapi aku senang bisa membuat Lan Fang tertawa. Siang pulang sekolah yang menyengat terasa menjadi sejuk. Selokan di tepi trotoar tercium menjadi harum.
”Begini, Mas. Tapi malu, ih….”
”Ada apa?”
”Tapi jangan diketawain, ya.” Dia membuka tasnya dan merogoh sesuatu.
”Insya Allah.”
”Asyik, Mas sudah menyebut nama Tuhan. Jadi harus memenuhi janji.”
Dia menyodorkan beberapa lembar kertas HVS berisi tulisan tangan dengan bolpoin. ”Aku iseng nulis cerita. Baca, ya, Mas. Nanti kasih tahu kekurangannya.”
Aku mengerutkan kening. ”Tapi aku tidak tahu soal tulis-menulis. Kenapa enggak kasih Bu Guru?”
”Malu, ih. Mas, kan, suka baca dan jadi pemimpin majalah dinding. Jadi aku yakin Mas tahu seperti apa tulisan yang bagus. Lagian, Mas siswa kesayangan Bu Guru Bahasa Indonesia. Oh, ya, satu lagi, Mas sudah janji.”
”Iya, iya….”
Tiba di pertigaan, kami berpisah karena arah kami berlawanan. Lan Fang menyetop angkot ke arah kiri, sedangkan aku berjalan ke kanan. Aku tidak menyetop angkot karena rumah orangtuaku hanya berjarak satu kilometer dan aku terbiasa berjalan kaki berangkat dan pulang sekolah.
Di rumah, bahkan sebelum mengganti seragamku, aku membaca cerita yang ditulisnya di lima halaman kertas HVS. Sebelum kubaca pun, bentuk tulisannya indah sekali, tipis-tebalnya tampak terlatih. Pasti nilai menulis halusnya dapat sembilan.
Kubaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, alinea demi alinea, hanya membutuhkan tidak sampai 15 menit sejak judul hingga tulisan ”tamat”. Kutarik napas lega karena aku serasa membaca sebuah karya yang ditulis oleh pengarang betulan. Memang kisahnya tentang persahabatan remaja, tapi ia menulisnya dengan rapi.
Aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang bagus-tidaknya tulisan. Tapi kalau dilihat dari betapa asyiknya alur ceritanya dan caranya menyusun kalimat, aku berani bertaruh bahwa dia punya bakat yang sangat besar untuk menjadi pengarang hebat.
Kami pulang bareng dua atau tiga kali sampai kemudian kami berpisah karena aku meneruskan sekolah di Yogya.
Setelah diterima di sebuah SMA, aku menulis surat buat Lan Fang untuk berbagi kebahagiaan. Kuceritakan bahwa aku sekarang berseragam celana panjang abu-abu dan kemeja putih, bukan lagi pelajar bercelana pendek biru dan baju putih. Lima halaman kertas folio kuisi dengan cerita tentang sekolahku dan teman-teman dan guru-guru dan sejumlah mata pelajaran yang baru kupelajari.
”Aku berkhayal kamu juga sekolah di SMA yang sama denganku. Kalau enggak, ada SMA yang dekat dengan sekolahku, khusus buat siswa perempuan. Kamu pasti cocok di sana. Aku sering sengaja lewat sekolah itu dan kadang aku seolah-olah melihat kamu di sana. Anak-anak Tionghoa memang cantik-cantik dan kadang aku tidak bisa membedakan satu sama lain. Lucu, ya?”
Sebulan kemudian, aku baru menerima balasan dari Lan Fang. Tentu saja aku sangat senang menerima suratnya. Salah satu poinnya, dia mengaku tertarik untuk meneruskan sekolah di Yogya. Seperti tulisan yang pernah dia perlihatkan, surat itu pun ditulis dengan tulisan yang sangat rapi, dengan pilihan kata dan susunan kalimat yang enak dibaca. Tiga atau empat kali kubaca surat itu dan tiap selesai kubaca aku merasakan dadaku hangat luar biasa.
Baca juga: Rumah Telinga
Sayangnya, selulus SMP, dia meneruskan sekolah di Purwokerto, di sebuah SMA swasta yang komposisi siswanya mirip dengan SMA tetangga di Yogya seperti yang sudah kuceritakan. Kami tetap saling berkirim surat hampir dua minggu sekali. Itu berarti kami tidak langsung membalas begitu menerima surat.
Biasanya aku menulis balasan satu atau dua hari kemudian, menulis hingga hampir tengah malam. Kalau belum selesai, aku akan meneruskan di hari berikutnya. Paling singkat aku menulis empat halaman kertas HVS polos. Setelah selesai, surat kumasukkan ke amplop biru, lalu kukirimkan di kantor pos dengan prangko biasa.
Setiap suratnya datang, lewat sekolah, aku merasa mendapat surat dari pacarku. Ah, aku belum punya pacar dan tidak tahu bagaimana sebenarnya rasanya menerima surat dari seorang pacar. Yang kurasakan, dadaku berdebar-debar ingin segera membacanya. Dadaku hangat. Apakah itu rasanya bahagia? Tiap surat kubaca empat atau lima kali, dari salam pembuka hingga inisial namanya: TLF.
Ketika aku kelas dua, setelah sekian puluh amplop suratnya bertumpuk di rak bukuku, aku memberanikan diri menulis kalimat bahwa aku ingin dia menjadi pacarku.
Itulah kali pertama aku tidak sabar dari hari ke hari menunggu datangnya balasan suratnya dan kali pertama pula surat balasan dia tidak datang meskipun sudah lewat dari sebulan. Pada hari ke-35 atau 36, barulah kuterima surat balasannya. Dadaku tidak lagi berdebar-debar, tapi berdentam-dentam sampai-sampai aku nyaris mendengar suara berisiknya.
Aku tidak ingat lagi isi suratnya yang panjang seperti biasa. Hanya beberapa kata yang masih melekat: Mas Her, aku juga mencintaimu, aku yakin, tapi…. Kalimat-kalimat setelah kata tapi itu menyebut banyaknya hambatan yang akan menghalangi kami: agama, suku, tradisi, dan sebagainya, serta satu hal terakhir yang justru akan paling sulit kami dobrak. Dia sudah sejak bayi dijodohkan dengan anak kerabat ayahnya.
Setelah selesai membaca, aku menangis.
**
Sesuai dengan petunjuk di WA, meski hanya setengah percaya, aku berhenti benar-benar di depan sebuah rumah kayu bercat hijau toska, tepatnya rumah panggung yang keseluruhan dinding, tiang, dan atapnya dari kayu, kontras dengan rumah-rumah lain berupa rumah-rumah bertembok tinggi yang beberapa di antaranya bertingkat, membuatnya kelihatan teduh dan bersahaja.
Aku berdebar-debar. Benarkah Lan Fang ada di sana?
Ingin rasanya segera berlari dan mengetuk pintu rumah itu, tapi aku justru mematung, tak sanggup membayangkan bagaimana kelanjutan cerita ini.
Adakah yang bisa melanjutkan kisah ini?
Hermawan Aksan, menulis sejumlah cerpen dan novel. Buku terbarunya novel Balada Orang-orang Panangsang (NAD Publishing, Juni 2023). Tinggal di Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah.
Yusuf Susilo Hartono, Wartawan budaya, pelukis, dan penyair. Mantan guru ini pemegang sertifikat Wartawan Utama dari Dewan Pers (2017). Pernah menjadi Pemred Majalah Seni Rupa Visual Arts (2007-2012), Majalah Galeri (2012-2022), dan bergabung di sejumlah media arus utama. Kini sebagai penulis lepas. Buku-bukunya tentang jurnalistik, biografi, seni rupa, sastra (puisi), dan lain-lain. Menjadi Pengurus PWI Pusat (2008-2023). Tahun 2022, menggelar pameran Retrospeksi ”40 Tahun Berkarya: Among Jiwo” di Museum Nasional Indonesia.