Puisi-puisi Sthiraprana Duarsa
Sthiraprana Duarsa lahir di Denpasar. Menulis lima buku puisi tunggal. Beberapa puisi lainnya masuk antologi bersama.
Rahwana
Kemiskinan membuat jiwa menjadi batu
Ia terbentuk dari tempaan dingin malam
Panas matahari
Dan hinaan yang datang seperti banjir
Mengguyur setiap detik
Kemiskinan membuat hidup penuh ambisi
Ia adalah mimpi dari bintang yang tampak sepanjang malam
Dan lapar yang menyalak sepanjang hari
Kemiskinan telah menjadi dendam
Yang menghancurkan semua kebanggaan
Tanpa kecemasan, mengoyak tubuh
Kemiskinan kini menjadi raja
Dari segala kata
Yang bertahta menguasai jiwa tanpa rasa
Baca juga: Puisi-puisi Toto ST Radik
Sayembara
(1)
Aku berpikir tentang bagaimana rupaku
Mungkin akan membuat mereka takut
Aku berpikir tentang kecemasanku
Bagaimana mereka akan menolak kehadiranku
Aku berpikir. Berpikir
Dan terus berpikir
Hingga seorang pemuda maju
Mengangkat gendewa yang disayembarakan
Semua orang bersorak senang
Semua orang berteriak riang
Tapi aku masih berpikir
Dan terus berpikir
Aku lupa, jika cinta itu ada masanya untuk tidak dipikirkan saja
Tapi bagaimana harus melakukan tindakan
Sebab dalam pikiran, tak ada yang nyata
Jauh dari jangkauan, dan tak memiliki makna
Seandainya jika aku yang lebih dulu maju
Dengan kesaktianku, aku rasa mengangkat gendewa itu adalah hal yang mudah
Dan aku akan memenangkan wanita itu untuk jadi milikku
Ah, seandainya....
Kini, wanita itu telah menjadi milik pemuda
Wanita dengan kecantikan luar biasa
Yang telah menyihir keinginanku
Menjerembabkan pikiranku ke dalam angan-angan
(2)
Aku kalah? Penakut?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tak pernah kubayangkan
Akan menjadi hantu dalam pikiranku
Seorang lelaki perkasa Yang bahkan tak terkalahkan melawan seribu prajurit kerajaan
Tapi siapa bisa membayangkan hal itu akan terjadi?
Warna langit mulai memudar
Seolah sejarah menemukan batas musim
Sejak itu, penyesalan tak henti-hentinya mencari jalan keluar
Dan nasib menjadi putus asa
Dalam bayangan senyum yang menggoda
(3)
Yang pertama terpikir: wanita itu harus menjadi milikku
Tak peduli apa yang terjadi nanti
Deritaku tak pernah memaafkan kelalaianku
Aku tak pernah membiarkan diriku
Menjadi pengecualian Untuk bisa menerima kekalahan
Rasa tersiksa ini harus mendapat pembalasan
Setimpal dan memalukan
Baca juga: Puisi-puisi Toni Lesmana
Menculik Sinta
(1)
Malam turun
Dalam hutan yang kelam
Namun bayangan gadis cantik itu
Masih tergambar dengan jelas
Cahaya bulan memantul keemasan
Membuat dahan dan ranting musim semi
Berkilau keemasan
Bintang-bintang lewat menyempurnakan malam ini
Kurasa situasi ini sangat menguntungkan
Karena penglihatan tidak mampu menyerap semua warna
Secara bersamaan dalam sekejap
Warna-warna berkilau mengaburkan
Maka kau Marica, berlarilah secepat kilat
Tubuhmu memantulkan cahaya keemasan dari bulan
Maka, jadilah kau serupa kijang kencana
Pikatlah gadis idamanku dengan kelincahanmu
Dan akhirnya
Pantulan emas dari tubuh
Marica menjangkau Ke dalam pandangan
Sinta Menggoda jiwa
Malam yang tenteram
Seketika berubah riuh dengan rengekan
“Kijang emas itu harus jadi milikku”
Rajuk Sinta setengah gila
Tangisannya jatuh, sepoi-sepoi ke hati Rama
(2)
Permainan telah dimulai
Malam telah membunuh cahayanya sendiri
Marica, teruslah berlari
Hingga tiba di tepi hutan yang lain
Gadis ini akan jatuh dalam pelukanku
Membawa hal-hal yang indah
Yang akan terus hidup dalam ingatanku
Baca juga: Puisi-puisi Willy Ana
Wibisana
Kesetiaan atau kebenaran yang kupilih?
Tangisan Sinta seperti menyuarakan kutukan kepada negeri
Hasrat memiliki telah memilih berdiam di dalam jiwa
Apa yang mesti kupilih?
Dua bayangan mencoba untuk saling meniadakan
Rahwana saudaraku atau negeri yang kucinta?
Sulit untuk mengerti ambang perasaan
Tapi bayangan itu terus mengejar
Menyeret dalam pusaran harapan dan kenangan
Baca juga: Puisi-puisi Naning Scheid
Rencana Melengserkan Rahwana
(1)
Adakah yang lebih hina
Dipimpin seorang paria?
Tentu saja. Kami ini orang-orang suci dan bangsawan
Bahkan orang mengibaratkan jika kami adalah turunan dewa
Sejak itu, hari-hari terasa berat
Angin yang berhembus seperti tanpa kesejukan
Cahaya membawa mimpi yang berkabut
Kami bermimpi cahaya gugur di langit kelam
Di tangan kami yang penuh mawar
Mengalir air berwarna merah
_______Serupa darah
Ke pelosok negeri
Pertanda apakah ini?
Apakah ini sebuah kutukan?
Bayangan diri menghilang
Matahari terlalu kasihan pada teriknya
(2)
Ini harus dihentikan, bagaimana pun caranya
Kegilaan tak bisa ditolerir
Kekuasaan selalu menggoda jiwa
Dan mengubah pahlawan menjadi sekumpulan hewan buas
Kekecewaan pertama telah lahir
Dan menyusul kekecewaan lainnya
Sementara kita hanya bisa menggerutu
Dengan dada yang berdebar menahan kemarahan
Bumi gelap dan berduka
Apa yang harus kami lakukan?
Kami berdebat tak henti-hentinya
Strategi dianalisa dengan berbagai kemungkinan
Namun jalan seperti tak ada ujung
Angin sepanjang gunung membenturkan dirinya ke lembah hijau negeriku
Suaranya seperti genderang perang yang dipukul oleh tangan-tangan pucat
Debu berterbangan dibawa kuda-kuda yang berlari dalam kecemasan
Membawa kabut