Puisi-puisi Willy Ana
Willy Ana lahir di Bengkulu, tinggal di Depok. Menulis tiga buku puisi. Penggagas dan Ketua Festival Sastra Bengkulu.
Panggil Aku Fatma
aku adalah melur
yang tumbuh di kebun rafflesia
mekar di pucuk rambutmu
di antara senandung burung-burung
yang meliuk-liuk dari ranting ke ranting
setiap pagi aku membangunkan kokok ayam
dengan tarian paling senyap
dan ayat-ayat malam
mengekalkan subuh dan memastikan fajar
terbit dari arah timur
daun-daunku hijau di alismu
setiap langit berwarna perak kebiruan
aku tak henti menari di antara ruas-ruas angin
yang bertiup sepoi
menyusup ke dalam matamu yang bercahaya terang.
jangan panggil aku Fatma
jika kau tak mampu masuk ke dalam wangiku
yang tersembunyi di batang-batang kebun teh di Curup
mekar di antara bilah-bilah rambut perempuan muda
bersenandung menolak matahari yang murung
Aku menjelma dari suara-suara alam
di surau-surau kampung
pagi menjemput impian di kertas putih
dan pulang menghidupkan api
di tungku-tungku makan malam.
Setelahnya kita mengeja alif ba ta
di berendo rumah panggung
daun-daun bertuliskan huruf-huruf yang kueja di sepertiga malam
tubuhku menggigil di antara rintik hujan
dan doa bintang-bintang
aku bersandar di sebatang pohon
dengan dahan-dahan rimbun dan ranting kokoh
akar-akarnya menghujam ke dasar tanah
getahmu meneteskan warna merah di sepanjang jalan
membentuk siluet panjang menghadap arah matahari terbenam.
Depok, 11 Januari 2024
Baca juga: Puisi-puisi Naning Scheid
Setangkai Teratai untuk Si Bung
Setangkai teratai aku selipkan di pecimu
Memekarkan putik-putik yang baru tumbuh
aku tak mengenalmu
kau begitu saja menyusup menjadi renda-renda
di kerudung putih yang menutup rambutku
cahaya pisaumu seperti kunang-kunang di gelap halaman
aku hanya bisa mengintip dari balik jendela
tanpa berani membuka pintu
aku adalah orang asing yang berdiri di seberang laut
membayangkanmu menjadi burung-burung ababil
melempar batu-batu ke serdadu asing
lalu aku mengenalmu sebagai sebatang pohon
yang tumbuh di sepanjang jalan, daun-daunnya setajam rudus
tapi cahaya matamu lebih tajam dari itu
menembus tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi
aku terperangkap dalam gemuruh gelombang pantai panjang
menyaksikan kau bersiul-siul seperti nelayan yang pulang pagi
tapi jangan sebut aku teratai
jika tak mampu mengapung di laut biru
Depok, 29 Januari 2024
Baca juga: Puisi-puisi Iyut Fitra
Historia Bendera
aku menjahit dengan jari-jari gemetar
membayangkan pintu langit terbuka
seseorang datang membawakan pohon-pohon randu
menanamnya di halaman
berlembar-lembar kain masuk ke dalam mimpiku
ada yang mengetuk-ngetuk pintu
mengabarkan burung-burung lepas dari sangkarnya
bersiul-siul mengitari pintu dan jendela
sambil menahan beban tubuh yang hamil tua
aku menggerakkan mesin jahit dengan tangan kananku
aku membayangkan peta-peta yang sobek
merekat kembali menjadi bumi yang satu
di pojok lain kau bersama Hatta dan teman-temanmu
memeriksa kembali peta-peta itu
memastikan tidak ada satu pun kampung yang hilang.
aku mencuri dengar histeriamu
memantul ke pucuk cahaya:
kita sambut hari baru. Kita rayakan senyum ibu
Depok, 17 Januari 2024