Puisi-puisi Toni Lesmana
Toni Lesmana menulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Menetap di Ciamis. Mengelola komunitas sastra Rumah Koclak.
Nina Bobo Kampung Halaman
Puspa Fatima Rahmania
1
Kita masih tidur ketika pinggul lindu menggoyang ranjang dan menciptakan retakan panjang di dinding ingatan. Kita terus tidur, menyusun jembatan mimpi, lengkung pelangi yang warnanya melulu runtuh ditiup lagu kalut para pemuja masa lalu.
Aku masih ingin tidur ketika kau menyusuri ujung retakan yang menunjuk arah kampung halaman. Di Sumedang, lambaian hanjuang mengabarkan angka-angka terus susul-menyusul berdentuman di kedalaman tanah dada ini. Serupa kata-kata dalam surat panjang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur.
Aku masih setengah tidur ketika lentik jemarimu diam-diam memetik dan menggesek rambut kusutku, menarik bunyi kecapi dan rebab dari kepalaku, lantas menebar denting dan sayatan irama di udara. Kau menari tarawangsa dari satu retakan ke retakan ingatan lainnya, melayang seperti elang, lalu meluncur turun mengulur sampur ke degup jantung kerinduanku.
2
Terbaring di sini, seperti terbaring di sisimu. Apakah manusia itu, selain sekumpulan kesombongan dan percik-percik kearifan. Atau sekadar serentetan peristiwa melupakan dan dilupakan. Atau mungkin sebaris keinginan yang berderap menjauh dari kesadaran.
Ada yang terbaring di sini, seperti aku terbaring di sisimu. Apakah manusia itu, selain setumpuk buku yang berpikir lalu sibuk saling timpuk. Atau sebuah arloji yang merasakan dingin malam dan terik siang. Barangkali batu yang tersenyum, air yang menangis, atau kayu yang terbahak di atas api.
Puspa, terbaring di sini, betapa ingin ada di sisimu. Nina bobo, Ayun ambing. Manusia adalah sebuah lagu atau dongeng pengantar tidur. Sekelumit gerak-gerik hidup dalam selimut maut.
3
Mimpi matahari dan angan-angan bulan yang kau tangkap dengan kelopak di telapak tanganmu pada pagi dan dini hari, pelan-pelan menjelma mantera yang kubaca dari sepasang matamu, kudengar dari lembut napasmu, dan kugenggam dari jemarimu.
Di sebuah senja yang melulu awan hitam, kupanggil dua leluhur yang kutanam dalam lempung namamu, dan kurapal mantera pemberianmu yang kutulis pada dinding nadi, tulang, serta degup jantung. Kutiup lembut pada angin, ”Pergilah, gembalakan awan dan seluruh air matanya ke sudut-sudut langit terjauh”.
Dari barat matahari mengirim kuning penghabisan, jingga perbatasan, dan ungu pengantar tidur. Sementara bulan memanjat tebing timur langit, merah seperti bayi, pelan keperakan mengirim tangis cahaya. Dan kau, Puspa, dengan mekar kelopak di telapak tanganmu, duduk jauh di atas ubun-ubunku, menebar biji bintang, menyusun liuk rasi demi rasi. Seperti seseorang yang menuntun Van Gogh merampungkan rahasia cahaya The Starry Night.
4
Tataplah matamu dalam mata setiap orang yang melihatmu. Orang-orang yang tersenyum dan mengangguk, dan tak kau kenal siapa mereka. Tak kau kenal siapa mereka. Tataplah kedamaian itu.
Ulurkan tanganmu pada siapa saja, lalu lupakan. Ulurkan lagi, dan lupakan lagi. Ulurkan terus, lupakan terus. Berjalanlah dan dekap dirimu, dekap dirimu. Ulurkan kebahagiaan.
Jika kedamaian dan kebahagiaan itu tak juga cukup, dan kau ingin mengetahui aku, lemparkan dirimu dalam ketidaktahuan, dan menyelamlah sampai dasar, dasar dirimu. Susuri akar kegelapan yang paling kau takuti. Kau mungkin tidak juga mengetahui aku, namun bisa jadi sudah menjadi aku.
5
Kamboja ini untuk siapa? Kali ini lebih putih dari biasanya, seperti senyummu yang tiba-tiba lebih manis dari hari-hari sebelumnya.
Catatlah untuk siapa kamboja kali ini. Catatlah dengan tatapanmu ke mataku, jika itu matahari, akan kusiapkan lubang hitam, untuk kepulangannya.
Baca juga: Puisi-puisi Willy Ana
Aku Tahu
adalah iring-iringan dirimu
bentang panjang jembatan
tiga tiang penyangga
kemarin, kini, dan esok
dari sejak menuju kelak
aku berdiri di trotoar
berdesakan di antara padat
dan riuh para pengunjung
adalah perasaan dan pikiran
datang dari pelosok diriku
membawa gemuruh rindu
memandangmu dengan takjub
aku
adalah orang asing
terjepit keramaian diri sendiri
sepanjang perayaan dirimu
terdesak ke bibir jembatan
dipaksa menghadap arah lain
arah lain
adalah wajah di bawah sana
yang meluap, memanggil
terjun ke pelukannya
yang bukan hari-hari
yang tanpa pengunjung
yang kental dan gelap
gelap
adalah perayaan lain di bawah sana
sungai hitam di dasar jurang diriku
mengalir dari mata air sunyi
mengalir ke laut maut
bukan, bukan dirimu di sana
di sana
adalah suara-suara luapan
seperti igau seseorang
tak putus memanggil,
bukan memanggilku,
namun tak putus
memanggil namamu
namamu
adalah jalan-jalan rahasia menuju dirimu
tak seluruhnya kuketahui
tak semuanya milikku
barangkali seluruhnya tak kuketahui
semuanya bukan milikku
hari-hari itu
perasaan dan pikiran itu
dirimu juga diriku
aku tahu, bukan milikku