Jenderal Kardus
Tidak selalu warga kampung bersikap saling membatasi satu dengan yang lain. Dalam masa perang, mereka saling bantu.
Mak Inah tergolong penduduk paling tua di kampung kami, satu perkampungan urban di pinggiran kota metropolis. Pembawaannya tenang, jarang bicara dan tak sering terlihat di luar rumah berbaur bersama warga lain. Mungkin sikap tersebut pas dengan umurnya.
Semakin tua, semakin banyak berdiam di rumah. Meski kadang di masa sekarang keadaannya bisa terbalik. Para anak muda jadi kaum rebahan, sedangkan para orang tua ke sana kemari bagai kaum sosialita.
Mak Inah sejatinya bukanlah orang yang cukup populer di lingkungan sini. Ia termasuk penduduk baru. Belum setahun ia pindah bersama seorang perempuan setengah baya untuk menemani kesehariannya. Yang membuat ia diingat oleh warga ialah soal kecil sebenarnya. Yaitu sebutannya pada seorang lelaki berusia 70-an di kampung kami. Ia menyebutnya dengan julukan ”jenderal kardus”.
Lelaki tersebut memang unik perangainya. Ia dapat dibilang sebagai tokoh perubahan di kampung kami. Ia mulanya datang ke pengurus kampung dan pengurus masjid lalu meminta izin untuk tinggal di bilik masjid sambil membantu apa saja. Pembawaannya yang ramah, murah senyum, dan rajin menolong siapa saja membuat ia cukup diterima oleh penduduk sekitar.
Sekian bulan berlalu, banyak hal lambat-lambat berubah di sini. Dari awalnya dikenal sebagai lingkungan kaku dan minim komunikasi menjadi lingkungan lebih santai serta menyenangkan. Dari semula perkampungan keras dan beku berganti jadi perkampungan penuh canda serta kehangatan. Lelaki tua itulah yang tanpa terasa mengubah wilayah ini jadi lebih meriah.
Baca juga: Giri Tohlangkir
Entah sudah berapa lama tak ada tawuran antarkampung meletus. Biasanya peristiwa merepotkan tersebut berlangsung hampir setiap minggu, tak peduli kapan waktunya. Bisa tengah hari, tengah malam, bahkan menjelang waktu Subuh. Sekarang nyaris tak terdengar keributan antara tetangga, percekcokan antara suami-istri atau perselisihan antara anggota keluarga dalam satu rumah. Rasanya warga sudah mulai lupa kapan huru-hara di kampung ini terjadi terakhir kali.
Kini pak jenderal resmi didapuk sebagai marbot alias pengurus di masjid kampung kami. Satu masjid terbesar di wilayah sini. Bukan secara tiba-tiba sebenarnya ia dilimpahi tanggung jawab tersebut oleh warga. Sebelumnya tak ada seorang pun melirik dia untuk jadi marbot. Bahkan, memercayai kemampuannya juga tidak. Namun, dari sanalah perubahan seluruh kampung sebenarnya berawal.
Tempat yang telah lama tak terdengar suara bocah perlahan mulai didatangi oleh anak-anak lagi. Biasanya yang datang hanyalah orang dewasa berwajah datar dan kaku. Kalaupun ada satu-dua anak, itu pun karena diajak ayah mereka belajar shalat berjemaah. Lagi pula tidak banyak komunikasi terjalin antara jemaah. Mereka hanya datang, shalat lalu kembali pulang tanpa terlibat pembicaraan satu dengan yang lain. Sangat tidak menarik sebetulnya.
Lelaki itu yang mengakrabkan kembali anak-anak pada masjid. Tanpa banyak menyuruh, tanpa banyak menasihati ia berhasil membuat bocah-bocah betah bermain di masjid. Mulanya karena ia sering mendongeng di hadapan mereka. Dongeng apa saja ia ceritakan. Terkadang cerita epos kepahlawanan, kisah para sahabat Nabi. Tambahannya adalah cerita lucu yang membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Sejak itulah para anak kampung menganggap orang tua itu sebagai komandan. Sebaliknya, pak jenderal menganggap anak-anak tersebut sebagai pasukannya. Kini, anak-anak yang dulunya memutuskan berhenti ke masjid karena selalu dimarahi saat ribut atau berkelakar makin sering berkunjung sebab dapat berdekatan dengan komandannya. Tak ada lagi omelan, tak ada lagi yang bersungut-sungut ketika ada anak-anak berteriak atau sedang bergulat dengan kawannya. Toh, jika tiba waktu shalat, mereka akan kembali tertib tanpa harus dimarahi dulu.
Orang-orang dewasa pun kini lebih cair saat berada di sana. Tidak jarang jemaah masih terlibat obrolan meski shalat sudah selesai dilakukan. Salah satu penyebabnya ialah keberadaan sosok tua yang bersahabat itu.
Di masa sebelumnya warga sini tak saling akrab antara satu dengan yang lain. Bahkan jika mereka beradu hidung di lorong gang, tak ada sama sekali saling sapa. Seakan-akan mereka berada di tengah orang asing, bukan berhadapan dengan tetangga. Jika ada satu-dua orang yang berupaya berbaur biasanya akan dicurigai. Dianggap ada udang di balik batu. Disebut menyiapkan ular di balik ketiak.
Boleh jadi sikap demikian terbentuk dari pengalaman keseharian saat mereka berkegiatan di luar kampung, di dalam kereta, bus, juga di tempat pekerjaan masing-masing. Tempat-tempat di mana lebih banyak orang yang berpenampilan beku dan membatu dibanding bersikap ramah.
Tidak selalu memang warga kampung bersikap saling membatasi satu dengan yang lain. Contohnya di masa-masa revolusi kemerdekaan; maksudnya perang antar kampung. Dalam masa perang jangan ditanya betapa heroik dan bersatunya sikap mereka. Tua, muda, lelaki, perempuan semua merasa sebagai pasukan yang siap membantai lawan. Barisan emak-emak hingga nenek-nenek akan sigap bertindak sebagai pemasok amunisi, mengumpulkan batu-batu di ember untuk dilemparkan ke arah musuh. Seperti pasukan khusus dalam perjuangan intifadah saja. Sementara para lelaki dewasa mengangkat tinggi-tinggi kelewang dan senjata tajam membentuk barisan.
Hubungan antarwarga ketika itu tampak sangat pengertian serta bahu-membahu. Tidak banyak hal penting di momen tersebut selain harga diri dan kejayaan kampung. Namun, anehnya, setelah gencatan senjata atau saat pertempuran usai keadaan kembali seperti semula. Tak ada lagi kekompakan. Mungkin memang harus terus terjadi peperangan agar kekompakan selalu terjaga.
Harus selalu ada musuh supaya situasi dapat dikendalikan. ”Si vis pacem para bellum” ujar seorang ahli militer Romawi, Publius Flavius. ”Jika mendambakan perdamaian, maka bersiaplah menghadapi perang.” Terjemahan bebasnya menurut warga kampung ialah bila tak ada lagi musuh menyerang, maka musuh baru harus segera diciptakan supaya perdamaian dapat dikendalikan. Kampung yang mengerikan, bukan?
Sekali lagi bersyukur kondisi demikian telah berganti. Sekarang semua terasa menyenangkan ketika warga berada di luar rumah. Lelaki, perempuan, remaja dan orang tua seolah menampakkan raut wajah riang gembira tanpa sikap bermusuhan. Beberapa tempat bahkan memasang banner dan spanduk ukuran kecil dengan kata-kata unik. Misalkan ”Cemberut itu mengundang stroke, mengundang musuh juga penuaan dini.” Atau kata-kata ringkas semacam ”Ngopi dan cengengesan lah bersamaku, lupakan sejenak tagihanmu.”
Ada beberapa lagi sebenarnya kalimat yang ditulis dalam bentuk satiris sekaligus lucu. Biasanya banner itu terpasang di tempat umum seperti pos kamling, gapura gang perkampungan, malah terkadang di depan warung dan kedai kopi milik para warga.
Dari hal-hal demikianlah keakraban antara mereka semakin hari semakin terasa. Kegiatan gotong royong, membersihkan selokan yang sejak dulu tak pernah dikerjakan kini terjadwal sebulan sekali dan itu benar-benar dikerjakan dengan sukacita bukan sekadar terpajang di papan pengumuman saja. Jika kebetulan sedang ada yang menyelenggarakan resepsi pernikahan dan semacamnya, maka semua orang akan merasa ikut bertanggung jawab menyukseskan acara tersebut. Tidak terlihat orang-orang berseragam ormas berjaga di sekitar lokasi hajatan. Tidak ada tim pengamanan atau tim apa pun yang terkesan eksklusif. Semua adalah keamanan. Semua adalah tim sukses. Perubahan yang menakjubkan.
Terkadang ada juga terselip pertanyaan di benak warga, kenapa lelaki tua itu disebut jenderal kardus oleh Mak Inah. Namun, tak seorang pun yang sempat menyisihkan waktu untuk berkunjung pada nenek-nenek itu dan menanyakannya secara langsung. Boleh jadi karena orang-orang sungkan pada sikapnya yang agak tertutup. Boleh jadi tak ada yang merasa itu merupakan hal penting. Yang penting suasana kampung semakin baik dan kondusif semenjak kedatangan sang jenderal.
Mungkin demikian pikir warga. Hingga suatu ketika Mak Inah dikabarkan tergeletak pingsan di depan pekarangan rumah dan ditemukan oleh pembantunya, satu-satunya orang yang menemani ia di rumah itu. Beberapa tetangga langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Kata dokter dia hanya mengalami kelelahan dan kurang tidur. Hanya perlu dirawat beberapa hari saja supaya kondisinya stabil. Ketika perwakilan warga datang membesuk, di saat itulah segala pertanyaan mengenai sang jenderal kardus terjawab.
Baca juga: Upeti Putri
”Dia lelaki yang baik sekaligus menyebalkan,” ungkap Mak Inah membuka ceritanya. Seraya terbaring dua matanya menatap lurus langit-langit berwarna putih terang di ruang kamar tempat ia dirawat. Ia berupaya menghela satu napas panjang namun terlihat kerepotan. Akhirnya napasnya pun hanya terputus-putus. Sudut matanya kemudian mulai berair. Beberapa orang di kamar itu terdiam sebab tak tahu harus berbuat apa.
Singkatnya Mak Inah ternyata sudah lama mengenal Pak Idham, lelaki yang diceritakan tersebut sekira 50 tahun lalu. Mereka sebetulnya suami-istri dan statusnya belum bercerai. Hampir segala hal mengenai Pak Idham tentu sudah diketahui dengan detail termasuk mengenai kebiasaannya memenuhi barang apa saja di dalam satu kardus. Mulai dari isolatif hingga perkakas kebun. Mulai ikat rambut hingga peralatan dapur.
”Jadi karena hal remeh begitu Mak Inah menyebut Pak Idham dengan sebutan jenderal kardus?” tanya seorang dari pembesuk.
”Bukan. Bukan cuma itu.” Tukas Mak Inah.
”Memasukkan semua barang di satu tempat saja sudah sangat menjengkelkan. Ditambah ia sering terlalu ramah pada para perempuan terutama para janda di lingkungan tempat kami tinggal dulu. Seolah tak cukup hanya memasukkan semua barang di satu tempat, ia ingin juga memasukkan semua orang, semua kalangan termasuk para perempuan ke hatinya,” tambahnya seraya bersungut.
Sejenak para pembesuk saling pandang. Tak tahu apakah akan tertawa atau ikut bersimpati pada kisah nenek itu.
4 Desember 2023
Trudonahu Abdurrahman Raffles. Tinggal di Cianjur dan tetap berusaha menulis fiksi karena cinta. Buku kumpulan cerpennya, Perjalanan itu Pendek. Kenangan yang Panjang. Terbit tahun 2022. Kini sedang mempersiapkan buku terbarunya.
Made Wiradana lahir di Denpasar, 27 Oktober 1968. Alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sejak tahun 1989 telah aktif dalam berbagai pameran di dalam dan luar negeri. Meraih sejumlah penghargaan di antaranya: Penghargaan oleh Indonesia Ambasador at Belguim (2006); Gold medal Art Asia Biennale Hongkong 2017.