Wanita Tua Penjual Sirih di Tengah Kota
Sebagai perempuan yang cukup cantik aku ditaksir oleh banyak lelaki. Aku memilih yang kere dan tak berpenghasilan tetap,
”Wanita tua menjual sirih di tengah kota?”
Pertanyaan itu mencuat lagi di kepalaku, meragukan pikiranku sendiri yang sebelumnya sudah mantap.
”Memangnya aneh?” Akhirnya aku sendiri pula yang menyanggah. ”Ndak aneh!
Itulah semangat seseorang yang tidak biasa menurut pikiran orang lain, pikiran warga kota. Tapi, bisa jadi beralasan kuat. Wanita tua menjual sirih di tengah kota karena ia melihat peluang pasar obat-obatan herbal. Bukankah dalam kemajuan ilmu medis tetap saja ada orang yang mencari bahan penyembuh alternatif, yang alami? Dan ingat, tidak semua perempuan di kota suka sabun sirih. Bisa jadi banyak dari mereka lebih memilih menggunakan sirih saja untuk membersihkan dirinya.”
Pertanyaan yang tadi mencuat di kepalaku berangsur hilang. Kalah.
Maka tak ada lagi persoalan pada diriku saat berlama-lama menatap wanita tua penjual sirih di tengah kota itu. Walaupun kemudian kudapati persoalan datang dari orang lain, saat mereka memandangi wanita itu. Mereka seperti telah mencuri pertanyaan yang sempat mencuat di kepalaku! Termasuk Pak A Ceng, si pemilik restoran masakan China.
Tapi, aku tak terganggu. Aku hargai segala macam pendapat mereka, pendapat Pak A Ceng. Dan untuk menjawabnya, aku katakan saja, ”Memangnya aneh? Ndak aneh! Itulah semangat seseorang yang tidak biasa menurut pikiran orang lain, pikiran warga kota. Tapi, bisa jadi beralasan kuat. Wanita tua menjual sirih di tengah kota karena ia melihat peluang pasar obat-obatan herbal. Bukankah dalam kemajuan ilmu medis tetap saja ada orang yang mencari bahan penyembuh alternatif, yang alami? Dan ingat, tidak semua perempuan di kota suka sabun sirih. Bisa jadi banyak dari mereka lebih memilih menggunakan sirih saja untuk membersihkan dirinya.”
Baca juga: Manisan Mangga
Ya, inti dari jawabanku adalah semangat. Mengajak orang-orang menyelami semangat. Semangat yang boleh tidak searah dengan semangat yang sudah umum. Kuharap mereka renungkan, mereka jadikan pelajaran, lalu mereka terapkan sebagai acuan dan sumber motivasi dalam kehidupan. Seperti yang kulakukan!
Aku yang bekerja sebagai staf divisi pemasaran di sebuah perusahaan kosmetik sering tidak sepaham dengan Pak Frans, sang manajer. Ia dalam mengelola bidang pemasaran selalu mengacu pada konsep-konsep konvensional yang kusebut terlalu biasa dan tidak inovatif.
Saat melakukan promosi, ia akan membuat program promo yang langsung menyasar remaja dan ibu-ibu. Tapi, konsepku tidak demikian. Aku menyarankannya untuk mendekati anak-anak usia SD pula.
Aku minta ia membuat event pelatihan tata rias yang menghadirkan remaja, ibu-ibu, dan anak perempuan mereka yang berusia SD. Di dalamnya diselipkan parade anak-anak cantik, yang telah dirias dengan produk kosmetik perusahaan kami.
Karena sifat anak usia SD suka meniru, mereka pasti akan terdorong untuk ikut mempercantik diri sesampai di rumah. Mereka akan minta dibelikan kosmetik. Jika sebelumnya kebutuhan kosmetik hanya terbatas pada kalangan remaja dan ibu-ibu, maka setelah event itu akan melebar pada kalangan anak-anak.
Kalaupun tak dibeli, mereka akan memakai kosmetik kakak atau ibunya, yang meningkatkan kemungkinan cepat habis atau rusak.
Karena sifat anak usia SD suka meniru, mereka pasti akan terdorong untuk ikut mempercantik diri sesampai di rumah.
”Jika satu lipstik seorang ibu patah karena ulah anak kecilnya yang ingin merias diri, maka berapa ibu di Indonesia, maka berapa lipstik yang akan kita jual untuk memenuhi kebutuhan besar itu. Belum terhitung jika sang ibu mengambil jalan aman, yaitu membeli dua. Satu untuk dirinya, satu untuk anaknya, agar miliknya tak diganggu lagi,” kataku selalu, meyakinkan Pak Frans.
Pak Frans setuju dan angka penjualan produk kami meningkat. Aku pun menemukan alasan mendorong perusahaan agar selanjutnya melakukan inovasi, yaitu memproduksi kosmetik yang ramah anak.
”Anak-anak Indonesia sudah membutuhkan kosmetik. Tapi, mereka tidak boleh menggunakan kosmetik remaja dan dewasa. Maka, sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk memproduksi kosmetik khusus bagi mereka. Kosmetik yang ramah anak.”
Pak Frans dipromosikan menjadi wakil direktur. Dan aku diangkat sebagai penggantinya. Tiba-tiba sekali karena perusahaan mengapresiasi kerjaku itu.
Semangat wanita tua penjual sirih di tengah kota telah kuterapkan pula dalam kehidupan pribadiku.
Sebagai perempuan yang cukup cantik, aku ditaksir oleh banyak lelaki. Aku memilih yang kere dan tak berpenghasilan tetap, tak seperti teman-temanku atau perempuan lain—umumnya—yang bermimpi dipacari oleh pria tajir atau mapan.
Baca juga: Anak Pak Lurah
Salah satu alasanku adalah karena aku suka mendengar keluhan mereka seperti, ”Duh, sulit sekali mendapatkan pekerjaan, padahal aku sudah berusaha melamar ke mana-mana.”
Atau, ”Aku ingin membahagiakan kamu, tapi… sabar dulu, ya? Aku belum punya uang.”
Atau, kebetulan pacarku itu sedikit jaim, aku suka ia berkata, ”Kamu mau liburan?
Tunggu besok, ya? Ada transferan dari rekan bisnis aku yang masih kutunggu.” Padahal, kutahu pasti ia tak berbisnis apa pun dan kuyakini transferan itu berasal dari temannya yang dimintai tolong memberinya pinjaman.
Lalu, suatu hari pacarku itu datang dengan senyum dan kebanggaan sebab membawa modal dalam dompetnya untuk memanjakan aku. Aku bahagia, demi cinta mereka mau berusaha. Mereka memiliki rasa risih jika sampai aku yang mengeluarkan uang. Dalam keterbatasan dan kekurangmungkinan mereka pun terus berpikir mencari cara agar bisa juga tajir dan mapan. Mereka pejuang! Pejuang untuk diriku.
Dari lelaki mapan tak akan kudapati semua itu. Apa yang terucap dari mereka hanyalah kemudahan. Hidupku tak diwarnai persoalan dan tantangan. Duh, wanita tua penjual sirih di tengah kota itu telah menjadi bagian dari diriku. Ada yang kurang rasanya jika sehari saja tak bertemu dengannya. Sampai aku dipindahkan oleh perusahaan untuk merintis cabang di daerah lain.
***
Dalam keterbatasan dan kekurangmungkinan mereka pun terus berpikir mencari cara agar bisa juga tajir dan mapan.
Daerah yang kumasuki itu benar-benar menantangku. Bagaimana tidak, ada dua perusahaaan kosmetik yang telah lebih dahulu membuka cabangnya di sana. Merk dari perusahaanku pun masih belum terlalu dikenal. Akhirnya kusadari itulah penyebab direktur mengutusku menjadi penanggung jawab ekspansi.
Aku terima tantangan itu. Sebab, memang hal seperti itu yang kusuka.
Aku mulai sibuk dengan tugas mengomandani karyawan, baik yang kubawa pindah dari kantor pusat maupun hasil rekrutmet di tempat, untuk menyelenggarakan survei, pemetaan konsumen, sosialisasi, dan promo-promo secara masif.
Siang malam aku di kantor. Bahkan, bisa dibilang jarang sekali pulang ke rumah kontrakan yang disiapkan perusahaan. Di sana, ketika sendiri, aku memeras otak untuk merancang langkah-langkah terbaik yang kuperlukan guna mencapai target yang dibebankan direktur. Saat bersama staf, aku berusaha keras pula mengarahkan mereka agar bisa membantuku menemukan solusi atas berbagai kendala untuk menjadikan mereka pejuang perusahaan pula sepertiku. Kadang aku pun ikut turun ke lapangan, langsung ke tengah-tengah konsumen, untuk memberikan keyakinan bahwa perusahaan kami dan produk kosmetiknya layak dan harus digunakan oleh warga daerah itu.
Aku sibuk. Teramat sibuk. Dan aku lelah. Aku jenuh!
Saat lelah, saat jenuh itulah wanita tua penjual sirih di tengah kota itu muncul tiba-tiba dalam ingatanku.
“Duh, Tuhan… aku telah terlalu sibuk dan dalam setahun ini tak pernah sempat memikirkannya…,” keluhku dalam hati yang dirayapi rasa rindu.
Ya, aku sangat rindu padanya, pada kain penutup kepalanya yang biru, baju terusannya yang juga biru dengan bunga-bunga kemerahan, menonjol di tengah latar warna kuning dan putih toko, restoran, dan café di belakangnya. Senada dengan biru langit kota.
Baca juga: Mi-Ré-Do-Sol … Sol-Mi-Ré-Do!
Lalu tumpukan dan serakan hijau daun-daun sirih di depannya, yang diatur rapi di atas hamparan tikar di tepi trotoar. Ia yang duduk mendongak, menatap orang-orang dan mobil mewah yang melintas di depannya, yang tak peduli padanya. Matanya bersinar, bibirnya menyunggingkan senyum.
Aku benar-benar tak pernah lagi mengingatnya, sementara dulu ia selalu kusisipkan dalam hati dan pikiran, kapan saja, di mana saja, sebab ia telah menjadi pendorong dan penguatku dalam bekerja dan menjalani kehidupan pribadi.
Ataukah karena begini: sesulit-sulitnya tantangan yang kuhadapi selama merintis cabang, tetap saja ujungnya mudah karena aku tak sendiri. Ada banyak staf dan karyawan yang membantuku. Berlimpah pula sumber daya, termasuk keuangan yang mendukung semua langkahku. Aku tak perlu sumber motivasi. Demikian yang kupikirkan.
Dan satu penyebab lagi, mungkin, dan aku terhenyak ketika menyadarinya: aku telah terlampau terlena dengan asmaraku yang baru!
”Ya, Tuhan, satu tahun saja, aku telah begitu banyak berubah!” jerit batinku. ”Bahkan, aku tak lagi berpacaran dengan orang kere. Bisa-bisanya aku menerima Rivan, yang pengusaha!”
Aku bukan lagi Mei yang dulu. Kuyakini itu.
Aku semakin tak tahan untuk tak segera melihat wanita tua itu lagi. Benar benar tak tahan!.
”Wanita tua penjual sirih di tengah kota itu?” ucap Pak Frans di seberang. Ia kuhubungi via ponsel dengan harapan wakil direktur itu masih sering ke restoran A Ceng, melihatnya, dan menginformasikan padaku keadaannya.
”Aku pikir sudah tak ada. Sudah lama aku tak makan di restoran A Ceng, sebab lebih banyak ke luar kota. Lagi pula kulihat di lokasi restoran Pak A Ceng sedang dibangun sebuah hotel, milik orang lain.”
”Apa?” seruku tak percaya dengan informasi dari lelaki itu.
”Ya, sudah tidak ada!”
Pak Frans tak pernah bicara main-main.
Aku bukan lagi Mei yang dulu. Kuyakini itu.
Tak kupedulikan lagi pertanyaannya tentang perkembangan cabang perusahaan yang kupimpin. Kepalaku diisi rasa bersalah karena selama setahun tak pernah menghubungi seorang pun di kota asalku, menanyakan perkembangannya, bagaimana situasinya selama kutinggalkan, termasuk bagaimana kondisi Pak A Ceng dan restorannya.
”Halo. Halo, Bu Mei!”
Suara Pak Frans masih kudengar. Tapi aku sedang berpikir untuk menghubungi Kudrat, sopir pribadiku, agar segera mengantarku pulang ke kota asalku.
***
Benar seperti yang diinformasikan Pak Frans, wanita tua penjual sirih di tengah kota itu tak ada lagi! Benar pula, restoran Pak A Ceng kini telah berganti menjadi hotel, yang masih dalam tahap pembangunan.
Di atas mobil aku hanya bisa terdiam, terdiam memandangi para pekerja yang lalu lalang di sana. Tak tahu harus berkata apa. Dan mataku basah.
”Apa tidak sebaiknya kita mulai mencari, Bu?”
Pertanyaan itu mengejutkanku. Kutatap si penanya di sampingku, Kudrat, yang terus memegangi setir sejak tadi, menunggu aku memerintahkannya untuk ”jalan”.
”Ke mana kita mencari? Apa kata Pak A Ceng?” Aku bertanya balik.
Kurasakan kepedihan semakin merayapi dadaku saat menyebut nama itu. Bukan, bukan karena aku kasihan pada nasib buruknya yang harus menjual lokasi restoran. Tapi, karena aku kecewa padanya yang telah menjadi penyebab tak adanya wanita tua penjual sirih di tengah kota itu.
”Seperti pada Ibu, pada saya pun Pak A Ceng tak mau bicara. Berulang kali saya telepon, tak juga diangkat. Tapi, Pak Muhtar, pemilik warung soto Madura di samping restorannya dulu, memberikan banyak informasi pada saya.”
Aku menunggu kelanjutan cerita Kudrat, yang harus mengisap rokoknya dulu. Asap yang mengepul dan meliuk ke luar lewat jendela mobil bukan lagi asap yang kulihat, melainkan sosok wanita tua penjual sirih!
Aku menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menenangkan diri.
Di atas mobil aku hanya bisa terdiam, terdiam memandangi para pekerja yang lalu lalang di sana.
”Pak Muhtar bilang bahwa setelah bangkrut, Pak A Ceng pernah bercerita tentang apa yang ia lakukan, yang kemudian sangat disesalinya,” sambung Kudrat. “Begini. Sepeninggal Bu Mei, restorannya mengalami kemajuan pesat, disebabkan kemauan Pak A Ceng untuk belajar dari semangat yang ada pada wanita tua penjual sirih di tengah kota itu. Jika sebelumnya Pak A Ceng hanya menyediakan menu masakan China yang biasa, ia kemudian melakukan perubahan dengan memodifikasi masakannya dengan masakan daerah. Warga kota dan para pelanggannya tertarik dengan menu yang tidak biasa itu. Ternyata rasanya berbeda dan sangat disukai. Pak A Ceng meyakini bahwa wanita penjual sirih itu telah membawa hoki bagi dirinya. Sampai kemudian datang seseorang bernama Satria, kolektor lukisan….”
”Ayo, jalan!”
Kudrat menatapku, seperti tak yakin dengan perintahku yang tiba-tiba. Tapi, sesaat saja, sebab sejurus kemudian ia sudah tancap gas. Sambil mengemudi, ia sempat bertanya, ”Ke rumah Satria? Ibu tahu rumahnya?”
”Dulu kami sering bertemu, di sanggar lukis, di acara pameran, di acara lelang karya seni rupa untuk amal. Lalu dua kali aku diajak ke rumahnya,” jawabku.
***
”Seperti kata A Ceng padaku, wanita tua penjual sirih di tengah kota itu benar-benar membawa hoki. Sejak ia ada bersamaku, aku mengalami banyak sekali perubahan baik dalam hidup. Salah satunya aku jadi berani mengambil risiko beristri lagi, dan dari istri keduaku itu aku mendapat dukungan modal untuk mengembangkan bisnis. Dalam enam bulan saja bisnisku maju sekali dan memberiku keuntungan yang tak pernah kuperoleh sebelumnya,” kata Satria.
Ia tersenyum, tapi kecut. Seperti ada sesutau yang mengecewakan yang melatari senyumnya itu.
”Tapi aku bodoh, aku serakah. Aku biarkan wanita tua penjual sirih di tengah kota itu pergi bersama Lee ke Singapura, setelah kolektor itu memberiku uang lima ratus juta. Dan kalian tahu? Sejak wanita tua penjual sirih itu tak ada, bisa dibilang bisnisku dengan cepat menurun.”
”Berapa uang yang Bapak beri kepada Pak A Ceng?” Kudrat menyela Satria yang masih hendak bicara.
”Dua ratus lima puluh juta,” jawab Satria, santai.
”Singapura?” Banyak, banyak sekali pertanyaan yang hendak kulontarkan pada lelaki yang duduk di depan kami di ruang tamunya itu. Tapi, tak ada satu pun yang sanggup kukeluarkan. Kerongkonganku rasanya tercekat. Ketika akhirnya bisa, hanya kata itu yang meluncur, lirih.
Baca juga: Mama Eta
”Singapura?” Aku mengulangnya.
”Ya, Lee, orang Singapura. Kau pasti belum kenal, sebab ia kolektor lukisan yang terbilang baru.”
Itu kalimat terakhir yang kudengar dari Satria. Ia masih bicara dengan Kudrat, tapi aku sudah lebih dahulu pamit, setengah berlari menuju mobil, masuk, dan di sana aku menangis.
Lukisanku, yang aku lukis tiga tahun lalu dan kuberi judul Wanita Tua Penjual Sirih di Tengah Kota, yang kuberikan secara cuma-cuma kepada Pak A Ceng agar ada yang menghiasi dinding restorannya kini telah semakin jauh dariku, di Singapura!
Lukisan itu pergi justru pada saat aku membutuhkan kehadirannya di depanku, seperti biasa, ketika aku lelah, ketika aku jenuh, ketika aku ingin men-charge jiwaku!
Apakah nasibku akan seperti Pak A Ceng? Seperti Satria? Yang sudah meraih kesuksesan setelah mendapatkan pelajaran, acuan, dan sumber motivasi hidup dari lukisan itu, tapi begitu gampang melupakannya, bahkan membiarkannya pergi, lalu mereka terpuruk kembali?
Aku tak peduli jika harus jatuh, terempas. Yang kutakutkan adalah aku akan menjadi orang yang tak menghargai masa lalu yang sudah membuat hidupku bisa berlanjut sampai saat ini!
”Singapura… Singapura….” Terus kuucapkan nama negara itu di antara isakanku.
”Singapura jauh sekali, dan belum tentu si Lee akan rela melepas kembali lukisan itu kepada Ibu. Apakah Bu Mei akan memaksakan diri berangkat ke sana?”
Pertanyaan Kudrat tak kujawab. Air mata kuseka. Kepedihan hati kutekan agar reda.
”Kulukis Wanita Tua Penjual Sirih di Tengah Kota agar orang lain mendapatkan pelajaran tentang semangat. Maka, sebagai pelukisnya, aku tak boleh menyerah,” seru batinku [.]
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel, dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Elipsis, Suara Merdeka, Kompas, Republika, dan Tempo. Memenangi beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan Cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) serta antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.