Anak Pak Lurah
Aku sebetulnya ingin menanggapinya. Aku tidak tahan lagi, apalagi nama ayah ibuku ikut dibawa-bawa. Tapi ayah menenangkanku....
Ilustrasi
Aku ini anak seorang lurah yang dihormati di Kalurahan Kenari. Pembangunan desa-desa seantero kalurahan¹ yang digagas Ayahku sejauh ini berjalan terencana dan baik. Banyak warga mengelu-elukan Ayahku, menganggapnya bapak pembangunan insfrastruktur kalurahan. Hingga tidak rela harus ditinggalkan Ayahku. Meminta Ayahku mencalonkan kembali untuk ketiga kalinya saat pemilihan lurah tahun depan. Tapi Ayahku tidak mau mencalonkan lagi jadi lurah karena ia sudah cukup menjabat dua periode. Ayahku orang yang tahu diri. Bukan kemaruk jabatan. Ayahku punya integritas kuat. Aku bangga kepadanya.
Aku ingin mengikuti jejak ayahku. Jadi lurah. Atau jadi wakil lurah pun tidak mengapa. Wajar saja menurutku. Apalagi ada pepatah ”buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Tujuanku mulia agar bisa melanjutkan program-program kerja Ayahku yang selama ini sudah berjalan baik di Kalurahan Kenari. Karena tujuan itulah, aku mantap mendaftarkan diri jadi calon wakil lurah. Sedang yang jadi calon lurah adalah Pak Bono sahabat terbaik Ayahku. Kami berdua lantas dikenal dengan nama julukan Boruto, kepanjangan dari Bono Heru Top. Kami berdua senang mendengarnya. Boruto itu anaknya Naruto, Ninja pembela keadilan dan kebenaran dari Desa Konoha. Begitulah juga visi misi kami berdua, memberikan keadilan dan memperjuangkan kebenaran untuk warga Kalurahan Kenari.
Beberapa hari sebelumnya, aku sudah mengetahui putusan Badan Permusyawaratan Kalurahan yang diketuai Pamanku mengabulkan aspirasi seorang pemuda warga sebuah desa di kalurahan agar batas usia calon yang bisa ikut pemilihan lurah menjadi dua puluh lima tahun. Aku tidak kenal siapa pemuda itu. Tapi aku yakin maksudnya baik. Ingin agar generasi muda bisa jadi pemimpin. Bagiku putusan itu ibarat durian runtuh. Aku langsung sujud syukur. Sekarang tinggal selangkah lagi keinginanku akan terwujud.
Usiaku dua puluh enam tahun ketika kuputuskan ikut pemilihan lurah tahun depan. Ini semua keinginanku sendiri untuk jadi calon wakil lurah. Ayahku tidak pernah memintaku. Pamanku juga tidak peduli aku maju sebagai calon wakil lurah. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai pemberi keputusan akan sebuah permohonan seorang pemuda yang aku tidak kenal siapa dia.
Ayahku tidak pernah memintaku. Pamanku juga tidak peduli aku maju sebagai calon wakil lurah.
***
Ilustrasi
Putusan Pamanku menjadi ontran-ontran,² kegaduhan di desa-desa yang ada di Kalurahan Kenari. Membuat gaduh suasana antardesa menjelang dua bulan pemilihan lurah. Banyak warga berasumsi tidak baik kepadaku. Lalu apa aku salah mengikuti keputusan yang dibuat Pamanku? Apa aku keliru ingin melanjutkan program-program Ayahku yang sudah berjalan baik, sedangkan lawanku di pemilihan lurah nanti malah ingin mengubahnya? Aku sendiri tidak peduli pada jawaban yang diberikan.
Kini aku kian mantap menjadi calon wakil lurah. Aku tinggal berharap pemilih milenial atau Gen Z di Desa Kenari akan memilihku nanti. Uang banyak sudah aku siapkan untuk keperluan kampanye yang akan dimulai sebentar lagi.
Jangan tanya uangku banyak dari mana? Apalagi kalau bukan dari penghasilanku sebagai youtuber, tiktoker, endorser, selebgram, hingga influencer.
Baca juga: Manisan Mangga
Janji kampanye? Aku sudah menyiapkan janji-janji yang lebih mutakhir, lebih modern, lebih bombastis, tapi tetap realistis dan masuk akal daripada janji kampanye rivalku di pemilihan lurah. Seperti gagasan penambahan dana untuk para insan media kreatif di desa-desa yang ada di Kalurahan Kenari, mengusulkan pembentukan divisi khusus kreator konten yang langsung di bawah kendaliku sebagai wakil lurah jika nanti terpilih, memperjuangkan pengurangan atau penghapusan pajak bagi para kreator konten yang berkontribusi mengharumkan nama Kalurahan Kenari di pentas nasional, insentif dana bagi kreator konten yang mau membagi ilmu atau menyedekahkan sebagian hasil monetisasi lewat divisi khusus kreator konten Kalurahan Kenari, perbanyak event kreatif anak muda di Kalurahan Kenari, hingga janji memasukkan profesi kreator konten sebagai pekerjaan di Kartu Pemuda Desa.
Kubayangkan sedang menyampaikan semua gagasanku itu di atas sebuah panggung besar yang berada di tengah-tengah para pendukungku yang sebagian besar masih remaja, mengelu-elukanku laksana bintang K-Pop yang mereka gandrungi.
”Ah, jangan terlalu jauh bermimpi dulu,” akal sehat mengingatkanku. Lalu kusudahi membayangkan sesuatu yang belum pasti itu. Berganti mematut diri pada cermin besar di depanku. Ah, betapa gagahnya aku, dalam balutan pakaian jas dan dasi mahal ditambah sepatu merek terkenal dari luar negeri.
Janji kampanye? Aku sudah menyiapkan janji-janji yang lebih mutakhir, lebih modern, lebih bombastis.
***
Malam ini, aku berencana foto diri sebagai calon wakil lurah untuk ditunjukkan kepada warga-warga desa seantero Kalurahan Kenari. Nantinya fotoku dipasang bersama Pak Bono di spanduk besar, lalu disebar ke penjuru kalurahan. Aku pun mencoba beberapa pose. Tapi aku memutuskan memakai pose mengepalkan tangan. Lebih familiar dan dikenal banyak orang.
”Mas Heru, sudah siap?” Pak Dani, fotografer pribadi, seorang pria paruh baya yang lama bekerja dengan Ayahku, tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Membuatku sedikit kaget.
”Sudah siap dong, Pak Dani,” aku menyahut lalu tersenyum.
”Pak Bono mana? Enggak ikut foto sekalian?”
Pak Dani menggeleng. ”Tadi Pak Bono sudah difoto duluan.”
”Kenapa enggak barengan sama saya? Kan kesannya kurang kompak gitu.”
”Tadi saya juga tanyakan itu sama tim sukses, tapi kata mereka biarkan saja, hitung-hitung pengalihan isu.”
Aku hanya garuk-garuk kepala, lalu mengangguk.
”Nanti di fotonya harus kelihatan saya mengepalkan tangan, ya,” kataku coba mengalihkan pembicaraan. Pak Dani geleng-geleng kepala.
”Wah, kalau itu lebih baik jangan dilakukan. Sudah banyak yang begitu, Mas Heru.”
”Pokoknya saya mengepalkan tangan.” Aku ngeyel.
”Mas Heru ini mau jadi calon wakil lurah atau mau jadi petinju. Pakai kepalkan tangan segala.”
”Ya sudah kalau gitu seperti ini.” Aku mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada.
”Mas Heru mau halalbihalal atau gimana, Idul Fitri sudah lewat, Mas.”
Aku menghirup napas panjang, coba untuk tidak kesal.
”Kalau ini gimana, kesannya njawani banget, kan?” Aku mempraktikkan ngapurancang.
”Ini foto Mas Heru sebagai calon wakil lurah, bukan foto di kondangan mantenan.”
Aku kesal mendengarnya.
”Lha pose saya harus bagaimana dong? Begini salah, begitu salah. Anda ini fotografer pribadi, tapi kok main larang-larang.” Aku menumpahkan kekesalanku. Pak Dani tersenyum.
”Bukan begitu, Mas. Ini panggung politiknya Mas Heru, jadi harus pasang pose yang berbeda biar ada ciri khasnya.”
”Pak Bono tadi apa Anda juga larang-larang begini, ya?”
Pak Dani tidak menjawab, ia hanya tersenyum. Aku pun manggut-manggut.
”Sekarang Mas Heru ganti pakai kaus putih dan celana panjang hitam.”
”Kenapa harus pakai kaus dua warna itu?”
”Karena putih melambangkan kesucian hati, kerendahan hati, dan juga keikhlasan dalam mengemban serta melaksanakan amanat warga desa saat terpilih nanti. Sedang hitam melambangkan kalau kita masih bisa berbuat kesalahan suatu hari nanti. Seperti Mas Heru yang mungkin saja bisa lupa janji-janji kampanyenya saat nanti sudah terpilih jadi wakil lurah.” Pak Dani menjelaskan panjang lebar. Aku tersenyum kecut mendengarnya. Tanpa banyak tanya lagi kuturuti sarannya walaupun dalam hati agak jengkel, sudah dandan ganteng-ganteng disuruh ganti pakaian. Tapi tidak apa-apa, aku maklumi semua demi pencitraanku sebagai calon wakil lurah nanti.
Baca juga: Baliho
Sekarang, aku sudah memakai kaus putih dan celana hitam. Bersiap pemotretan.
”Saya harus gimana posenya?” kataku jengkel.
”Pakai gaya anak muda zaman sekarang dong, Mas.” Pak Dani mencontohkan, jempol dan jari telunjuk dilekatkan. Aku heran Pak Dani bisa tahu simbol itu. Tapi aku tidak mau terlalu memikirkannya.
”Ini gaya baru, Mas.”
”Iya saya tahu. Saya, kan, masih muda, Pak Dani. Tapi kenapa harus dari luar sih? Lokal, kan, lebih bagus gayanya.”
”Ya, enggak apa-apa, Mas Heru. Biar lebih mengena di hati pemilih pemula.” Aku mengangguk.
”Ingat ya, Mas Heru, generasi milenial dan generasi Z Desa Kenari mendominasi dalam daftar pemberi suara nanti,” imbuhnya.
”Iya, benar juga,” batinku. Lalu mempratikkannya.
”Jangan lupa senyum, Mas.” Aku tersenyum hingga tampak gigi depanku yang putih bersih.
”Sekarang ganti gaya, Mas. Pakai tanda hati.” Aku langsung paham. Segera pasang pose jari tanda hati di depan dada.
”Pose tangannya di dada kiri, bukan di depan dada. Sambil senyum, Mas.” Aku menurut.
”Bagus, Mas.” Aku menghampirinya. Melihat hasil jepretan fotonya dari berbagai sisi. Aku pun puas. Lalu beranjak pergi, hendak berganti pakaian jas.
”Belum selesai, Mas.” Aku kaget.
”Foto apa lagi? Dua pose itu, kan, sudah cukup.”
”Masih ada satu sesi foto lagi.” Aku mendelik kesal.
”Saya ini calon wakil lurah, bukan model busana,” aku ketus menyahut. Pak Dani tersenyum.
”Iya, saya tahu. Tapi kalau Mas Heru ini, kan, calon wakil lurah yang kontroversi, jadi harus ada hal yang menyamarkan itu.” Pak Dani kembali mengingatkan. Aku mengangguk.
”Oke. Jadi, pose apa lagi?”
”Mas Heru pakai ini.” Pak Dani memberiku baju dan celana lusuh compang-comping bolong-bolong. Tanpa banyak tanya langsung kupakai. Setelah itu pemotretan sesi terakhir dilakukan.
Selesai pemotretan, aku berganti pakaian jas. Kemudian kudatangi Pak Dani yang sedang aksi mengedit fotoku.
”Kalau pose pakai pakaian lusuh yang tadi tujuannya apa?”
”Ooo, itu biar Mas Heru dikesankan peduli sama nasib orang miskin di desa. Nanti tinggal disertai tulisan di spanduknya berbunyi: ’Aku ini calon wakil lurah yang peduli orang miskin’.”
Aku tersenyum puas.
”Terima kasih, Pak Dani. Anda hebat.”
Pak Dani mengangguk. Segepok uang kuberikan kepadanya sebagai upah. Tapi Pak Dani menolaknya.
”Sudah dibayar sama tim sukses.” Begitu alasannya. Aku salut ia tidak kemaruk uang seperti Ayahku.
Begitu selesai, aku dan tim sukses langsung pergi ke percetakan. Membuat spanduk lengkap dengan gambar fotoku dan Pak Bono. Tidak banyak jumlahnya. Hanya sepuluh atau dua puluh macam spanduk. Lalu memasangnya di tempat-tempat strategis di Kalurahan Kenari agar warga tertarik mendukungku. Kemudian kami pulang ke rumah yang kujadikan markas pemenangan.
Saya ini calon wakil lurah, bukan model busana.
***
Seminggu kemudian. Sentimen-sentimen negatif tentangku anak lurah yang jadi calon wakil lurah kian santer terdengar. Mulai dari dibantu paman, modal nama orangtua, tidak punya prestasi, rakus jabatan, nepotisme, tidak punya pengalaman, hingga milenial palsu. Aku sebetulnya ingin menanggapinya. Aku tidak tahan lagi, apalagi nama ayah ibuku ikut dibawa-bawa. Tapi ayah menenangkanku, menghiburku dengan kalimat, ”Tenanglah Heru, Ayah selalu ada untukmu.” Memberiku penyemangat baru.
Ayah memuji spanduk calon wakil lurah milikku yang unik dan tidak biasa.
”Ini sebuah masterpiece yang luar biasa enggak beda kreatifnya seperti One Piece,³” selorohnya.
Aku tersenyum senang mendengarnya.
”Teruslah kreatif dalam kampanye calon wakil lurahmu. Jangan hiraukan omongan orang, jangan pedulikan suara-suara sumbang. Ingatlah kamu harus kuat,” pesannya.
Aku makin yakin dengan keputusanku maju sebagai calon wakil lurah. Tidak peduli anggapan aku ini bocah cilik, bocah ingusan, manja, selalu dibantu orangtua. Aku akan buktikan bahwa aku mampu, aku bisa jadi anak Ayah yang bisa dibanggakan. Menang di pemilihan lurah tahun depan itu tujuanku kini. Kalah bagiku pun tidak masalah karena aku tetap akan dikenang sebagai anak Pak Lurah yang tidak malu mencalonkan jadi wakil lurah.
Yogyakarta, 30 Oktober 2023
1) Kalurahan: Dalam pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, kalurahan adalah satuan pemerintahan di bawah kapanewon dan kemantren yang setara dengan desa. Bersama dengan istilah kapanewon dan kemantren, istilah tersebut diberlakukan pada tahun 2020 sesuai dengan Pergub Nomor 25 Tahun 2019. Dikutip dari Wikipedia Kalurahan.
2) Ontran-ontran: Kehebohan, keonaran.
3) One Piece: Komik Jepang karya Eiichiro Oda.
Herumawan Prasetyo Adhie (Herumawan PA), seorang pejalan kaki yang memilih naik Transjogja atau becak ketika lelah melanda, juga pemerhati sepak bola dan suka sekali menulis apa pun. Mulai artikel sepak bola, cerita remaja, cerita pendek, cerita lucu, hingga cerita misteri (mistik/seram). Karya cerpennya pernah dimuat di Kompas.id, Apajake.com, Bangka Pos, Banjarmasin Post, Harian Analisa Medan, Harian Jogja, Harian Rakyat Sultra, Joglosemar, Inilah Koran, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi Pembaruan, Koran Pantura, majalah Story, Minggu Pagi, majalah Kuntum, Radar Banyuwangi, Radar Bromo, Radar Jombang, Radar Lampung, Radar Mojokerto, Radar Surabaya, Republika, Serambi Ummah, Solopos, tabloid Nova, dan Utusan Borneo (salah satu surat kabar Malaysia). Buku kumpulan cerpennya berjudul Pulsa Nyawa terbit pada Agustus 2019.