Hantu dalam Foto Alexey Titanrenko
Di ujung musik sebelum mengakhiri gerakan dansanya, Mikhail Borka berlutut di hadapan Bednaya dan mengeluarkan sebuah cincin perak dari sakunya seraya menyematkan cincin itu di jari manis Bednaya.
Apa yang lebih menyebalkan dari terombang-ambing di antara dunia fana dan dunia yang abadi. Antara hidup dan mati? Aku tak pernah mencium wangi surga bahkan bau asap neraka. Semua karena ada yang tak tuntas di tapal batas.
***
Malam itu Bednaya Devushka berjalan dengan langkah kakinya yang gontai. Ia berjalan menyusuri jalanan St. Petersburg setelah lama terkulai di Novodevichy Kladbishche. Lembab St. Petersburg tak menghentikannya melangkahkan kaki, ia berjalan di bawah hujan salju. Sedang orang-orang berlomba menghangatkan badan di hadapan perapian di dalam rumah mereka masing-masing. Dari jendela-jendela rumah yang sedikit terbuka, satu dua orang yang dihantui rasa penasaran sembunyi-sembunyi menatapnya. Tentu saja mereka menatap dengan rasa takut, bulu kuduk mereka berdiri ketika mata-mata jahil mereka ditimpa kesialan menangkap sosok Bednaya—memang kadang hasrat mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan konyol tak masuk akal. Sosok Bednaya nampak hanya mengenakan selembar gaun berwarna putih untuk mengusir dingin bulan Oktober. Ia berjalan sambil melipat kedua lengannya di depan dada, ia mendekap dirinya sendiri, seolah itu semua dapat menghangatkannya. Wajah Bednaya pucat pasi, tubuhnya kurus seperti mengidap bulimia atau bahkan anoreksia, ia tampak sekurus Koshchey.
Selama sembilan puluh delapan tahun sosok Bednaya menjadi momok bagi warga St. Petersburg melengkapi ketakutan mereka pada Koshchey dan Boginka. Selama sembilan puluh delapan tahun, hampir di setiap malam Bednaya selalu terlihat berjalan menyusuri jalanan St. Petersburg. Selama sembilan puluh delapan tahun pula Bednaya mencari alasan mengapa ia tak pernah pergi dari dunia, sedangkan tubuhnya telah lama terkulai di Novodevichy Kladbishche kehilangan nyawa. Bednaya selalu mencoba menerka, apa yang menyebabkannya mati terbunuh setelah pesta dansa itu? Bednaya menerka-nerka apa yang menyebabkannya mati seketika.
Selama sembilan puluh delapan tahun sosok Bednaya menjadi momok bagi warga St. Petersburg melengkapi ketakutan mereka pada Koshchey dan Boginka.
Bednaya mengingat bahwa malam itu adalah malam putih, musim yang paling menyenangkan. Hari yang paling menenangkan. Setelah insiden berdarah pada revolusi Februari 1917 dan keruntuhan Tsar, pesta dansa itu tak lagi digelar. Setelah bertahun-tahun lamanya akhirnya pesta dansa di Istana Musim Dingin di gelar kembali pada awal Juli. Bednaya datang dengan gaun putihnya yang sederhana. Pesta megah itu sedikit berbeda dengan pesta terakhir yang dilangsungkan oleh Nikolay II dalam peringatan ulang tahun ke-290 Grand Duchess Maria Pavlovna, pesta dansa kali itu yang diselenggarakan untuk memperingati revolusi Rusia berlangsung meriah dan dipenuhi oleh warga St. Petersburg. Dan inilah hari pertama pesta dansa itu terselenggara bagi seluruh klas di Rusia. Pada hari itu pula Mikhail Borka dan Bednaya bersama ratusan orang lainnya berdansa dalam iringan Violin Concerto in D Major milik Igor Stravinsky. Di ujung musik sebelum mengakhiri gerakan dansanya Mikhail Borka berlutut di hadapan Bednaya dan mengeluarkan sebuah cincin perak dari sakunya seraya menyematkan cincin itu di jari manis Bednaya. Bednanya begitu senang mendapat cincin dari kekasihnya. Setelah pesta dansa itu, Bednanya pulang dengan senyum paling cerlang.
Di malam putih itu Bednaya berjalan pulang bersama Borka. Di persimpangan Rubinstein St, Bednaya dan Borka berpisah, seutas senyum terus bertengger di wajahnya.
Baca juga : Anak Pak Lurah
Tak banyak yang dapat Bednaya ingat, hal terakhir yang ia ingat setelah berpisah dengan Borka adalah sebuah bangunan di seberang jalan dengan papan nama bertuliskan TKAHN, juga seorang pria yang berdiri tak jauh dari bangunan itu. Setelahnya ingatan Bednaya menjadi benar-benar gelap dan Bednaya harus terbangun dengan perasaan yang menyebalkan, perasaan yang akhirnya menghantuinya setiap malam. Perasaan yang mendorongnya untuk terus menyusuri jalanan St. Petersburg untuk mencari jawaban.
Selama sembilan puluh delapan tahun Bednanya selalu di bawa kembali ke tempat terakhir yang ada di dalam ingatannya. Walaupun semuanya perlahan berubah, Bednaya selalu kembali ke tempat itu. Malam itu entah telah berapa kali Bednaya menyusuri jalan St. Petersburg dan berhenti di setiap perempatan jalan, mengedarkan pandangannya mencari-cari bangunan berpapan nama TKAHN. Hal itu begitu mengganggunya, ia tak dapat menemukan bangunan berpapan nama TKAHN itu—tempat terakhir yang ada dalam ingatannya. Tempat itu telah lenyap, padahal tepat pada hari sebelumnya tempat itu masih berdiri kokoh di situ, tempat yang paling memungkinkan dapat menjawab semua pertanyaannya. Alasan mengapa ia terjebak di dunia antara, kini lenyap secara ajaib.
Menyadari hal itu, Bednaya melangkahkan kakinya ke sembarang arah, hingga langkah kakinya terhenti di depanMuseum Ermitaz. Bednanya terhenti oleh suara bisikan yang terdengar jelas. Ia berdiri mematung, tubuhnya kaku, perlahan bisikan itu terdengar semakin keras. Ia menatap bangunan tua yang ada di hadapannya dengan perasaan aneh, ragu Bednaya melangkahkan kakinya masuk. Di dalam ruangan yang dikelilingi tembok berwarna putih, Bednaya melihat jajaran gambar foto berwarna hitam putih. Di bawah gambar-gambar foto itu tertulis judul dan sebuah nama ”Alexey Titanrenko”. Foto-foto itu memuat hampir seluruh sudut kota St. Petersburg. Bednaya sangat mengenal St. Petersburg. Ikatannya dengan St. Petersburg membuatnya begitu khusyuk mengamati foto-foto itu seolah foto-foto itu mengajaknya berbicara tentang kota kelahirannya. Ia berkeliling mengamati setiap foto yang tergantung di dinding putih Museum Ermitaz. Mereka—foto-foto itu—mengeluhkan suasana St. Petersburg yang lebih lembab daripada sembab. Mereka mengeluh tentang St. Petersburg yang terasa lebih kelu dari seorang bisu. Mereka mengeluh tentang St. Petersburg yang lebih mengerikan dari tanah-tanah pekuburan. Bednaya menanggapi keluhan gambar-gambar foto itu satu demi satu, hingga akhirnya ia berdiri mematung di hadapan sebuah gambar foto yang paling bisu.
”Itu adalah diriku.” Bisik Bednaya berbicara pada dirinya sendiri.
Baca juga : Doa yang Lalu Lalang
Bednaya semakin lekat memandangi gambar foto yang memuat seorang gadis yang berjalan menyeberang jalan dengan mengenakan gaun putih.
”White Dresses.” Bednaya membaca tulisan yang tersemat di bawah gambar foto itu.
”Itu benar-benar diriku.” Bednaya mencoba meyakinkan dirinya.
Dalam keadaan bingung, ruangan itu tiba-tiba menyempit, Bednaya memalingkan kepalanya melihat sekeliling. Tembok-tembok putih itu maju menuju Bednaya dari empat penjuru. Tembok gedung itu memburu Bednaya yang berdiri mematung, bingung. Semuanya menjadi pepat, empat sisi tembok itu menghimpit tubuh rampingnya. Bednaya tetap mematung seolah kakinya dipaku di atas lantai. Lalu seketika di hadapan Bednaya hanya ada tubuh wanita yang berjalan di depannya dan sebuah bangunan dengan papan nama bertuliskan TKAHN, juga seorang pria yang berdiri tak jauh dari bangunan itu.
Semenjak malam itu, foto Alexey Titanrenko memuat dua punggung wanita bergaun putih.
Baca juga : Baliho
Jagad Wijaksono, Aktif di Komunitas Ngamparboekoe Cimahi. Menulis cerpen dan puisi, beberapa puisi terbit di media lokal dan termuat dalam antologi berjudul 3 Dermaga dan Bintang di Pulau Garam (Sastra Bunga Tunjung Biru, 2017)