Doa yang Lalu Lalang
Tak putus-putus di dalam hati istri pertama terus mendaraskan doa, sedang istri keduanya berbagi cerita dengan orang-orang yang berdatangan. Sesekali terdengar pekikan. Membakar amarah dalam diam lalu terus berdebur.
Petrus benar-benar mati, setelah mengalami beberapa kali kematian yang belum sempurna. Sedianya, setelah matahari rebah ke barat, Petrus mengira situasi yang dialami sebelumnya terulang. Ia mondar-mandir dengan segenap hati yang kusut. Pada sudut matanya yang lelah ia mengerdip.
Deretan nisan dan onggokan kayu bertuliskan Rest in Peace mengusik nanap batinnya. Lengkingan ratapan kematian mendayu-dayu pada kupingnya, bersahut-sahutan lonceng gereja. Pada pintu masuk gereja Petrus tertegun. Dengan tiba-tiba, Petrus mendapati selenting kabar yang ia sendiri juga memahami. ”Syukurlah. Akhirnya, Petrus mati juga. Meski meninggalkan istri dan anaknya.”
Belum sempat Petrus menggenangi ingatan dengan kalimat itu, dua tiga orang berpakaian hitam memikul sebuah peti mati berarak melewati lorong ke arah pintu keluar. Istrinya terseok-seok membopong tubuh anaknya yang sedang sakit, menangkup tangan sembari terisak. Hati Petrus meronta-ronta berteriak. Tak ada satu pun mendengar, menangis sekalipun takkan jatuh air mata merembesi jagat. Mengendap.
Syukurlah. Akhirnya, Petrus mati juga. Meski meninggalkan istri dan anaknya.
Kematian, ada kehidupan yang selesai bertiup, munculnya lebih banyak dikhawatirkan—yang selama ini menghias lembar-lembar ayat suci—yang jadi warna paling besar dalam obrolan juga dalam sharing-sharing—memusingkannya. Petrus tidak tahu, telah benar-benar berada di sampulnya atau menjadi bagiannya seutuhnya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 beranjak tengah malam, dan orang-orang telah kembali dari kuburan. Ia mendapati tubuhnya pada segunduk tanah segar dengan nyala lilin meliuk-liuk. Ah, aku masih di bumi!
***
Baca juga: Surat untuk Emak
Hanya tinggal segelintir orang saja di rumah. Rumah tampak sunyi. Berbeda dengan hari kemarin. Orang-orang datang dengan ingatannya masing-masing, memberikan uang, kopi, gula, dan terutama beras. Bukan semata-mata mereka ingat kepada Petrus yang telah sekarat di tempat tidur, ingatan itu lebih kepada anaknya yang tunggal, yang mengalami sakit sejak lahir.
Sekarang, Petrus tak bisa apa-apa. Tinggal menunggu giliran mati saja. Mati lebih cepat atau lambat, yang penting mati. Kalimat menyayat hati istrinya itu, terucap dari bibir seorang tetangga yang tahu baik perangai Petrus. Gerah! Ya, kau ingin hidupmu dihargai, kau juga ingin tubuhmu diperlakukan selayaknya manusia lainnya. Ikhlaskan.
Anak perempuanmu itu, akan sembuh jikalau ia bebas dari menanggung aib suamimu. Kau akan mendapati senyumnya kembali pada pagi hari saat ia menyapamu ”Selamat pagi, Ibu” dan memeluk erat tubuhmu. Juga, ketika malam hari menjemput, kau dendangkan ninabobo, ia menyungging senyum, meraih tanganmu dan menaruh lekat pada dadanya. Karena, tubuh itulah, ia bertahan hidup meskipun merasakan sakit yang tak kunjung usai.
Istrinya menyendengkan kupingnya, lalu merekam kalimat-kalimat itu. Tak disadari, air mata tumpah dari kantong matanya yang bening. Untuk saat sekarang, istrinya sama sekali tidak menyalahi takdir. Ia memastikan dari raut wajah suaminya yang muram itu meletup penyesalan yang tak berujung. Kumis yang sedikit memutih berbarengan dengan kulit yang kian mengerut, memberanikan dirinya menatap istri.
”Biarkan aku mati untuk menebus dosa-dosaku.” Ledakan tangis meriuhkan seisi ruangan.
Istrinya menutupkan tangan pada bibirnya yang sedikit menghitam seraya berkata, ”Jangan mati. Kalimat itu takkan menyelesaikan apa-apa.”
Panggillah pastor dan berilah aku minyak suci. Segera!
Biarkan aku mati untuk menebus dosa-dosaku.
Sampai kepada kematian itu tiba, istrimu tidak ingin engkau mati. Membujukmu untuk terus hidup menuai kebahagiaan dalam rumah tanggamu. Memang kerap kali, kau lambung tubuhnya serupa bola bundar dengan alasan remeh-temeh pergi bekerja, nyatanya kau jumpai perempuan lain dan manaruh hasratmu untuk menikahinya.
Berkali-kali di hadapan istrimu. ”Please… kelak, kau yang lebih kuutamakan.” Bibirnya tak boleh berucap apa-apa! Berucap? Itu pantangannya. Lebih-lebih lagi, kau jadikan dia pelayan di pesta pernikahanmu, memburai rambutnya berbalut kebaya murahan. Ia tidak lebih dari seorang asing, kalau cuma sampai di situ anggapanmu, ya sudahlah.
Tanpa dia-saat seperti ini, istri keduamu itu datang, matanya liar agak merah, pakaiannya bersih, dan serba mewah. Rambutnya mengilat dengan wewangian parfum segala merek. Terimalah dia! Bukankah kau suka dengan penerimaan seperti itu?
”Mari Sayang, rawatlah aku!” Ia menyentuh ujung jarimu, lalu mundur beberapa langkah. Mungkin saja, ia tak sudi berlama-lama menyentuh tubuhmu—tubuh yang tidak memberikan kegunaan apa-apa. Sebuah kursi bersandar, ia benamkan bokongnya—menyuruh istrimu mengambil air putih untuk diminum.
”Tolong rawat suamiku,” sebuah panggilan masuk berdering di handphone-nya.
”Aku ada urusan yang lebih penting,” membanting rambutnya lalu pergi tanpa pamit.
Semua yang tercurah dari bibirnya hanyalah pemanis untuk menutupi kebohongannya. Istilahnya, ada uang abang disayang, tidak ada uang abang dibuang. Kemudian, anakmu yang sedang sakit memanggil-manggilmu. Layanilah dia.
Baca juga: ”Gift”
***
Tubuh Petrus dikerubuti oleh semut bagai gula manis. Jari-jemari istri mengusir semut-semut itu, membangunkannya. Di samping tempat tidurnya telah tergelar nasi putih beraroma juga sayur dan buah-buahan.
”Pak, ayo dimakan. Biar tambah tenaga,” istri menyuapinya perlahan sembari Petrus menyandar tengkuknya pada tiang tempat tidur.
Petrus tak berkata apa-apa. Sesaat, keheningan menjalar seisi kamar. Keduanya tampak bungkam. Hatinya sedang meraung. Dua butir air mata jatuh bercampur nasi putih, meleleh dan berair.
”Kau terlalu banyak menderita akibat ulahku,” Petrus menggeser bokongnya merapat ke tubuh istrinya.
”Tolong bukakan lemari. Ambillah surat pernikahanku dan bakarlah sehangus-hangusnya,” suara Petrus memelas.
”Aku rasai diriku bukan suami yang baik.” Sungguh sebuah keinsafan yang terlambat.
Setiap pagi, sore hari bahkan malam menjelang tidur, selalu saja ada yang datang mengunjungi lalu mencibir bagai banjir yang mengalir deras dari dalam mulut.
”Suami hanya tahu kawin. Mau enaknya saja.”
”Kau hanya kasih susah istri. Istri makan hati terus.”
”Biarkan ia mati, supaya anaknya bisa sembuh.”
”Kalau sehat, nanti dia ajak kawin lagi, kawin kali yang ketiga.”
Petrus tahu deretan kalimat itu muncrat karena ada alasan sungguh-sungguh. Dan, kematian Petrus adalah hal yang membuatnya merasa lebih baik dan lebih total menjadi suami sekaligus menjawabi harapan tetangga.
Ia benamkan bola matanya. Seusai membuka mata, Petrus mendapati istri menyeka bokongnya yang penuh dengan kotoran yang menumpah ke atas berlapis-lapis kain. Berwarna kuning kecoklatan dan encer.
Diraihnya tisu basah dan mengelap wajah suaminya, lanjut mencukur jenggotnya, katanya, tidak baik jika terlihat tua. Harus elok. Dengan cara seperti itu, aku akan terus mencintaimu. Jatuh cinta tanpa karena.
Ada satu pigura foto yang dipajang bersebelahan dengan pojok doa. Foto kebersamaan ketika baru selesai melangsungkan pernikahan. Seikat bunga mawar merah membaui lekuk hati yang beranjak kembang.
”Mesra, kan?” Istri menunjuk-nunjuk sambil tersenyum kecil.
***
Seikat bunga mawar merah membaui lekuk hati yang beranjak kembang.
Pada pojok doa nan sederhana, istri berlutut dan mendaraskan doa.
”Tuhan, sembuhkanlah suami dan anakku. Aku butuh keutuhan hidup.”
Sebuah kontas melingkungi jemarinya. Butir per butir ia genggam dengan segenap permohonan. Untuk kesembuhan suaminya, untuk keselamatan anaknya.
Perlahan-lahan, istrinya mendapati suaminya mendengus panjang. Ia tambahkan di akhir doanya, ”Tuhan, aku pasrahkan. Terjadilah kehendak-Mu.” Lama tak kunjung selesai.
Di luar, orang-orang kembali berdatangan. Memberikan harapan agar istrinya tak mudah patah dengan keadaan. Istri kedua yang pernah Petrus nikahi, menyeret mobil mewahnya mendekat ke pintu rumah. Lalu turun dengan penuh kehati-hatian.
”Tolong, turunkan bahan makanan dan bumbu dapur dari dalam mobil.” Tampak seorang pemuda memboyong masuk semua barang-barang yang diperintahkan.
”Tutup pintu mobilnya,” kata istri keduanya dengan nada sedikit meninggi.
”Ini bukan acara kematian. Atau, kau ingin agar suamimu mati?” sergah istri pertama setelah memelototi barang bawaan orang suruhan istri kedua.
”Orang-orang di sekeliling datang karena mereka peduli. Sedangkan kau?”
Jika memang harus mati bukan demikian perlakuanmu. Doa-doa dan ketulusan adalah kunci dari segala-galanya. Doa lagi dan lagi.
”Ia pernah alami kematian, berkali-kali. Itu tidak sungguh. Dan, kau datang mendirikan sebuah tenda—menunjukkan kekayaanmu?” Istri pertamanya merasa seolah-olah diisap dan digulung ke dalam badai kejahatan yang direncanakan.
Semuanya itu artinya ketidaktulusan. Doa-doa yang lalu lalang. Hari hampir habis, semuanya masih dibingkai dengan ketegangan. Rasa cemas semakin memuncak, di sisa-sisa tenaga Petrus, ia menghela napas berat.
Petrus meminta agar tubuhnya dibopong ke luar halaman, ia ingin melihat matahari redup di kaki langit. Istrinya mengiyakan dan dengan sepenuh raga menyelesaikan tugasnya yang terakhir.
Tak putus-putus di dalam hati istri pertama terus mendaraskan doa, sedang istri keduanya berbagi cerita dengan orang-orang yang berdatangan. Sesekali terdengar pekikan suara. Membakar amarah dalam diam lalu terus berdebur.
”Tuhan, di pintu-Mu aku tak bisa berpaling. Terimalah aku,” tubuh Petrus terjerembap ke tanah dan selesailah sudah.
***
Beatrix Polen Aran, seorang guru di SMP Negeri 3 Tanjung Bunga. Aktif menulis puisi dan cerpen di media cetak dan daring. Sedang menyiapkan antologi cerpen berjudul Di Bawah Kolong Langit. Bergiat di Nara Teater, Kabupaten Flores Timur, NTT.