Gadis Pendoa
Rambut ikalnya, warna matanya, bentuk hidung dan bibirnya, membuat Mila merasa sedang becermin. Hanya saja, yang tampak adalah Mila dua puluh tahun yang akan datang.
Mila berdiri di sudut meja makan ketika yang lain duduk dan menikmati sajian makan siang; semur bebek dengan kuah kental, dimakan bersama roti yang tampak selebar piring saat disajikan. Ketukan jari telunjuk Mila di meja makan membuat ayahnya melotot. Mila tidak mendapat jatah makan siang bukan tanpa sebab. Dia sudah tiga minggu kabur, dan orangtuanya sudah berusaha mencarinya tapi tak dapat ditemukan; sampai-sampai orangtuanya menganggap Mila sudah mati dimakan serigala atau diculik lelaki durjana. Namun, dia kembali, dan mengatakan bahwa dia baru saja menyelesaikan kegiatannya sebagai anggota organisasi yang merawat warga di desa seberang.
”Aku tidak menyangka Ibu benar-benar membuang kursiku,” Mila berkata dengan suara bergetar karena terlampau takut dihajar ayahnya. Tidak ada jawaban; hanya bunyi garpu dan sendok besi yang beradu di atas piring keramik yang di beberapa bagian pinggirnya sudah tidak rata, dilanjutkan dengan suara kursi yang digeser ke belakang tanda Ayah telah menyelesaikan makan siang lalu berjalan keluar untuk mengisap cerutu. Mata Mila mengikuti gerak punggung ayahnya sampai sosoknya hilang di balik pintu utama.
”Bersiap-siaplah bersama kakakmu, kau harus pergi ke Kotak,” ucap Ibu mengembalikan kesadaran Mila. ”Kursimu ada di bawah tangga. Ibu hanya bergurau. Ibu tidak membuangnya. Naiklah, Sarah akan membantumu berpakaian,” tandasnya.
Mila masih berdiri di tempat yang sama, memperhatikan jari telunjuknya yang kembali mengetuk ujung meja. Pandangannya bergerak menuju kakaknya yang mengangguk ke arahnya, berdiri, dan mengajaknya untuk bersiap-siap naik. Wajah kakaknya, yang hampir tak pernah terlihat ceria atau memancarkan semburat merah muda, hari itu juga terlihat abu-abu dan kusam dengan bola mata hitam legam seperti bola mata ayahnya. Tahi lalat yang sangat banyak di wajahnya terlihat seperti taburan bintang-bintang di langit malam.
”Ayo naik, aku akan membantumu berpakaian.” Sarah berusaha tersenyum di akhir kalimatnya.
Wajah kakaknya, yang hampir tak pernah terlihat ceria atau memancarkan semburat merah muda, hari itu juga terlihat abu-abu dan kusam dengan bola mata hitam legam seperti bola mata ayahnya.
Mila mengikuti kakaknya ke bagian atas rumah; ruangan yang tak terlalu besar; bagian atap yang dipergunakan sebagai tempat menaruh pakaian, perlengkapan keagamaan, atau barang-barang yang sudah dilupakan. Mereka berjalan menaiki tangga yang seperti siap ambruk kapan saja dan mengubur siapa pun yang memijaknya bersama reruntuhan kayu yang usianya lebih tua dari orang-orang di rumah itu. Suara decitan yang memilukan membuat setiap langkah serupa doa agar tidak meluncur menuju kematian.
Sarah mulai melaksanakan tugasnya; mengambil dua pakaian yang biasanya digunakan untuk pergi ke Kotak. Pakaian lengan panjang nan lebar, menutupi dari leher sampai ujung kaki.
Ditambah topi yang hanya melingkupi pucuk kepala, berbentuk segitiga dengan rumbai berwarna putih yang menjuntai hingga menyentuh tanah, dikaitkan dengan jepitan pipih yang menyiksa karena mengakibatkan beberapa helai rambut tercabut paksa dan meninggalkan aroma besi yang menganggu. Mila mengaduh beberapa kali saat rambut ikalnya tercabut akibat jepitan itu.
Selesai berpakaian, Sarah membuka tirai penutup cermin, melihat pantulan dirinya, dan membiarkan adiknya melihat pantulannya untuk sesaat; cukup sekadar untuk melihat matanya, sebelum menutup tirai setinggi badan orang dewasa itu kembali seperti semula.
”Aku bahkan belum merapikan rambutku,” gerutu Mila.
”Kau terlihat cantik. Seperti gadis pendoa yang taat,” balas Sarah.
Mila menelisik kakaknya, yang mengenakan pakaian serba hitam tanpa motif atau corak apa pun. Sarah seperti memakai bayangan yang timbul di bawah sinar rembulan. Rambut lurus Sarah terlihat indah dengan topi segitiga dan rumbainya yang panjang itu.
”Aku selalu mengagumimu, kau terlihat sempurna,” ucap Mila dengan wajah berbinar.
Matanya yang bulat dengan pupil coklat muda memancarkan aura kekaguman yang menakjubkan.
”Puja pujian hanya untuk Tuhan. Berhentilah melontarkannya jika tidak untuk Tuhan.
Kau akan berdosa karenanya,” jawab Sarah datar. ”Ayo turun,” ajaknya sambil berjalan melewati Mila.
Mila mengikutinya dari belakang, melihat punggung kakaknya yang sedikit bungkuk. Di bawah, ibunya sedang memasangkan pakaian Yonas; putih dengan sulaman benang emas di tiap pinggirannya.
”Yonas sekarang menjadi pendoa juga?” tanya Mila dengan nada mengejek.
”Jangan bercanda. Adikmu sedang bersiap-siap membaca kitab di balai desa.”
”Tidak biasanya membaca kitab di balai desa,” Mila menyahut.
”Iya. Ada seorang taat kaya raya yang ingin mendengar bacaan kitab terbaik dari desa ini. Kudengar, dia membeli tanah para warga dan mendapatkan hasil tani lebih banyak dari biasanya, seperti nabi yang diutus untuk tanah berdosa ini. Sekarang kita bersama-sama mendoakan orang taat itu agar raganya selalu sehat dan kuat, serta jiwanya selalu dekat dengan Tuhan.”
Mereka menundukkan kepala. Mila bingung harus berdoa apa. Dia hanya menutup matanya, berpura-pura menjadi bagian dari mereka.
Baca juga : Tak Dinyana
”Ibu, aku akan kembali bergabung dalam kegiatan merawat warga desa seberang bersama teman-teman di organisasiku. Ketuanya, guruku saat di sekolah dulu, bilang bahwa aku sangat berbakat merawat orang-orang. Aku sangat ingin jadi perawat,” ucap Mila setelah doa mereka selesai dan pandangannya bertemu dengan mata ibunya.
”Oh, Mila, sayangku, merpati surgaku. Manusia tidak bisa merawat manusia lain untuk sembuh. Hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan manusia. Kau tidak harus mengikuti kegiatan organisasi konyol itu lagi untuk merasa berguna. Jadilah gadis pendoa agar kau bisa menyembuhkan orang-orang.” Mata mereka yang berwarna serupa kembali beradu pandang untuk beberapa saat. Keteguhan terpancar dari wajah Ibu yang seperti sudah muak dengan Mila dan mimpi-mimpinya. Rambut ikalnya, warna matanya, bentuk hidung dan bibirnya, membuat Mila merasa sedang becermin. Hanya saja, yang tampak adalah Mila dua puluh tahun yang akan datang.
”Saat pelatihan aku berhasil merawat hingga sembuh anak-anak yang terkena kudis. Aku memiliki keahlian menyembuhkan orang-orang. Percayalah.”
Ibu berbalik, memunggungi Mila, dan kembali sibuk dengan pakaian Yonas yang tidak pernah sempurna itu.
”Kau hanya merasa bisa menyembuhkan anak-anak itu, tapi sebenarnya tidak. Apakah kau menyembuhkan mereka saat menyentuhnya?”
”Tidak, aku merawat mereka hingga sembuh.”
Helaan napas Ibu terdengar sangat berat setiap kali Mila menyelesaikan kalimatnya.
”Kau tidak menyembuhkannya. Waktu yang menyembuhkannya. Waktu adalah ciptaan Tuhan. Terimalah bahwa Tuhan menyembuhkan segalanya,” ucapnya. ”Berdoalah dengan baik hari ini. Keluarga Maria mempercantik taman rumahnya karena anak-anak mereka yang taat berdoa dengan sungguh-sungguh,” tambahnya.
Mila dan Sarah keluar dari rumah dan berjalan ke arah utara, melewati jalan dengan genangan lumpur yang rembesannya masuk hingga terasa di telapak kaki. Selama perjalanan, tidak ada yang mereka bicarakan. Hanya bunyi sepatu kulit yang berusaha keluar dari lumpur dan erangan Mila yang terus menerus terdengar. Sementara Yonas, bersama Ayah dan Ibu, menaiki gerobak yang meluncur ke arah yang berlawanan; menuju balai desa.
Sarah dan Mila sampai di lapangan tempat para jemaah berkumpul, menunggu Kotak-kotak dibuka. Hari itu tidak banyak gadis pendoa yang datang, tapi jemaah hampir memenuhi seluruh tempat itu. Sarah menarik Mila ke Kotak keluarga mereka. Mila memasuki Kotak berwarna ungu tua dengan ukiran seadanya; terbuat dari kayu yang sudah keropos ujung- ujungnya; engsel pintunya berderit nyaring saat dibuka. Begitu juga Kotak milik Sarah. Ibu biasanya mengisi Kotak yang dimasuki Mila, saat Mila tak ada. Memang, kerap kali Mila tak datang ke Kotak, bukan hanya saat dia ikut dalam organisasi perawat, tapi juga sebelum- sebelumnya. Kalau saja Yonas bukan laki-laki, tentu ia, dan bukan Ibu, yang akan menggantikan Mila di Kotak.
Baca juga : Tentang Dapur
Namun, sebelum mereka berangkat tadi, Ibu berkata bahwa memiliki anak laki-laki di keluarga mereka ialah sebuah anugerah dan mukjizat; bagai penggenap hamba Tuhan yang memiliki kelebihan untuk satu langkah dekat dengannya. Yonas adalah karunia; seperti bintang di pucuk pohon cemara untuk keluarga kecil mereka.
”Salam, terima kasih sudah selalu mengingat Tuhan dan meminta bantuannya,” ucap Mila. Itu kalimat pembuka yang selalu diucapkannya setiap saat matanya dan mata jemaah yang datang bertemu.
”Oh, gadis pendoa. Doakan kesehatanku yang sudah rapuh dan kekuatanku yang sudah memudar ini. Tanah kami tidak menghasilkan apa-apa pada panen bulan lalu karena air yang tak kunjung mengalir. Kami akan memulai menanam pada musim penghujan ini, berkahilah tanah yang tidak lagi kami miliki, tapi kami tetap bekerja penuh untuknya.”
Mila tahu perempuan tua itu; keluarga mereka mengelola sepetak ladang yang tidak terlalu luas tapi menghasilkan kentang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Mereka menukar kentang dengan bahan pangan lain dan tidak pernah mengeluh. Sayang sekali, panen mereka gagal bulan lalu.
”Oh, Tuhan yang baik dan memihak kami untuk kebajikan. Berkahilah ladang hambamu yang meminta kebaikan dan kemurahan hatimu, dan juga….”
Perempuan tua itu menyela doa Mila.
”Kutambahkan sedikit, semoga tanah yang kami jual kepada orang taat kaya raya itu bisa menghasilkan lebih banyak kentang untuk kami.”
Setiap Mila selesai berdoa, jemaah yang datang akan memasukkan uang ke kotak kecil di bawah kaki mereka. Ada sekitar sepuluh atau lebih jemaah yang masuk ke Kotak pada hari itu, dan hampir semua meminta hal yang serupa; panen yang baik dari ladang yang mereka jual ke orang taat kaya raya yang lebih pandai mengelola lahan. Semua orang bergantung pada orang itu.
Langit di luar sebentar lagi akan gelap ketika jemaah terakhir masuk ke Kotak Mila.
Jemaah itu membuka pintu kecil di antara mereka dengan gerakan kasar yang mengejutkan.
“Salam, terima ka….“
Doakan juga agar seluruh ladang yang diambil alih oleh orang taat kaya raya itu mengalami kegagalan panen karena memonopoli air. Doakan agar kemarau tahun ini lebih panas dan ganas, sehingga awan-awan enggan berkumpul di atas kepala kita.
”Kau harus mendoakan agar seluruh orang di desa ini terkena penyakit yang sama dengan istriku. Agar istriku tidak kesepian dan dokter mengupayakan obat yang tepat selain memintaku mengunjungi gadis pendoa setiap hari. Doakan juga agar seluruh ladang yang diambil alih oleh orang taat kaya raya itu mengalami kegagalan panen karena memonopoli air. Doakan agar kemarau tahun ini lebih panas dan ganas, sehingga awan-awan enggan berkumpul di atas kepala kita.”
Mila memejamkan mata, menundukkan kepala, dan mengulang seluruh doa yang diminta lelaki tadi. Setelah rampung, dia membuka mata, dan tertawa. Lelaki itu juga tertawa.
”Amin,” ucap mereka nyaris bersamaan.***
Tara Febriani Khaerunnisa, lahir di Ampenan, Lombok, 7 Februari 2001. Alumnus Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mataram. Beberapa cerpennya telah terbit di platform digital. Ikut terlibat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.