Makan Tak Boleh Beremah
Dulu, kukira ayah terlambat menyelesaikan makan karena asyik bercerita. Ada-ada saja yang diceritakan ayah pada emak. Seakan cerita-cerita itu menjadi ulam makan bagi ayah.
Ayah selalu saja terlambat menyelesaikan makan bersama kami. Suapnya satu-satu, tidak lahap. Ayah seperti menikmati benar makanan yang dikunyahnya perlahan. Seakan gerakannya kelihatan tak bergerak.
Itulah sebabnya makan malam kami selalu sehabis shalat Isya. Padahal, emak sudah mempersiapkan makan malam sebelum Maghrib. Menyajikan makanan di atas tikar pandan lebar yang dianyam emak sendiri. Dibentang di ceruk rumah kami yang tak seberapa besar.
Tiba giliran bersantap, kami duduk bersila mengelilingi hidangan. Ayah lebih dulu menyenduk nasi meraih bakul tambuh terbuat dari anyaman bambu. Ayah menaruh nasi ke pinggannya tak seberapa banyak. Kalau ayah merasa kurang disendoknya lagi. Kemudian disusul emak dan aku mengambil bagian masing-masing. Aku senang mencicipi rebus sayuran sebelum menyendok nasi. Apalagi ada rebusan daun ketela muda dicampur pucuk daun pepaya. Tambahan sambal belacan buatan emakku terkenal sedap. ”Awas, sambal itu lebih pedas dari biasa. Lebih banyak cabe rawitnya,” ujar emak.
Sedangkan untuk adikku Diding, makanan sudah tersedia di pinggan kaleng dipenuhi tumpukan nasi putih di kelilingi lauk, yaitu daging ikan yang dicuil lebih dulu oleh emak sebesar jari telunjuk, kemudian disusun sekeliling pinggiran pinggan.
Diding tak pernah mempertanyakan hal itu. Bocah usia empat tahun ini santai saja menyuap nasi ke mulutnya ditambah secuil daging ikan dipungut satu-satu dari pinggiran pinggan tiap kali menyuap nasi. Habis cuilan daging ikan, habis pulalah tumpukan nasinya. Artinya makan Diding sesuap nasi sesuap ikan. Sampai suapan yang terakhir, Diding berteriak, “Kenyang! Tak ada remah nasi,” ujarnya seakan kata-kata itu tertuju pada ayah.
Begitu pun Diding tak berani berdiri dari duduknya. Apalagi meninggalkan lingkaran sila duduk. Sedang kami, ayah, emak dan aku masih makan. Larangan bangkit dari duduk sebelum semua selesai makan, termasuk pantang besar bagi ayah. Selain itu petuah ayah yang mesti dipatuhi yaitu ”makan tak boleh beremah”.
Kami tetap menunggu hingga ayah mencuci tangan, setelah lebih dulu menjilati butiran nasi lengket di jari-jari.
”Memang makan tak boleh beremah,” kata ayah bagai mengulang kaji. ”Sampai kapan pun,” sambungnya. ”Kau harus ingat ayah, emak dan orang-orang di kampung kita susah payah mengerjakan sawah ladang bertanam padi, mendapatkan beras jadi nasi. Sebutir nasi terakhir mungkin itulah yang menjadi berkah untuk kita. Itulah yang kita makan,” tutur ayah sambil meneguk segelas air putih.
Dulu, kukira ayah terlambat menyelesaikan makan karena asyik bercerita. Ada-ada saja yang diceritakan ayah pada emak. Seakan cerita-cerita itu menjadi ulam makan bagi ayah.
Emak sering pelan-pelan mengingatkan ayah dengan sindirian halus. ”Kebanyakan cerita, nanti kuah gulai jadi kering. Nasi pun akan seret ditelan,” seloroh emak.
Namun, belakangan ini ayah lebih banyak merenung sambil makan. Kadang suapnya tergantung di piring. Dan sama saja, ayah tetap terlambat menyelesaikan makannya. Apakah tiap kali menyuap ayah sempat menghitung butir-butir nasi dalam genggamannya yang sedikit demi sedikti sampai ke bibirnya, ayahlah yang tahu.
”Sebutir nasi, sebutir beras, sebiji padi sangat berharga seakan butiran emas. Agaknya sebab itu ayah sangat mengingatkan, makan tak boleh beremah. Aturan makan bikinan ayah tak pernah lekang dari ingatanku,” sebut Kuntum bertutur.
Perlu diceritakan bahwa si Kuntum yang melakoni cerita ini akrab disapa Nenek Gadis. Sebutan gadis itu bukan sekadar panggilan, tetapi perempuan yang sudah berumur enam puluhan tahun itu masih menyisakan garis-garis kecantikan di wajahnya. Kuntum, memang tetap gadis, belum menikah hingga kini.
Nenek Gadis turut membesarkan aku sejak bayi. Kuntum adalah sepupu emakku. Dia hidup bersama kami sejak zaman kemerdekaan. Dan itu pesan—makan tak boleh beremah—adalah warisan dari ayah Kuntum. Diterapkannya dalam keluarga kami.
Tapi adik-adikku bukanlah seumpama Diding, yang pinggiran pinggan kalengnya dikelilingi cuilan ikan mengepung setumpuk nasi putih.
”Tambahan, aku kagum pada emak,” kenang Kuntum. ”Emak tahu persis manakar nasi yang sama habisnya dengan cuilan lauk di pinggiran pinggan Diding.”
Kisah masa silam si Kuntum tak lekang mempengaruhi kebiasaan Nenek Gadis hidup bersama kami hingga kini. Perempuan tua itu diam-diam gemar mengumpuli sisa nasi di piring selesai makan.
Butir-butir nasi dan kerak di periuk kompor dicuci bersih kemudian dijemur sampai kering benar. Kadang Nenek Gadis suka menggoreng nasi jemuran dibikinnya cemilan, bila bersendiri malam-makam di sembarang dia duduk.
Kami serumah ikut-ikutan senang mengunyah cemilan remah nasi yang ternyata gurih. Terasa ada campuran sedikit adonan belacan dilumat dari udang kering.
Pernah, pada suatu pesta anak pejabat di kabupaten, Kuntum dibawa serta emakku memenuhi undangan. Sepulangnya Nenek Gadis merepet, melihat banyak makanan tersisa di piring tamu-tamu. ”Menyendok makanan banyak kurang banyak. Seperti tak pernah makan enak,” gerutunya. ”Ternyata makanan tak habis di makan. Aku sedih teringat pesan ayah—tak boleh beremah,” kenang Nenek Gadis.
Sejak itu jarang Kuntum mau diajak pergi menghadiri undangan pesta. Tapi, suatu ketika entah dapat pikiran dari mana, diketahui bahwa Nenek Gadis ambil upahan mencuci piring di bawah teratak pada setiap ada orang pesta.
Semula Kuntum menawarkan jasa cuci piring pada pesta-pesta jiran tetangga. Seterusnya berlanjut ke tempat-tempat lain. Selain menerima upah, Nenek Gadis selalu membawa sisa makanan yang dikumupulkannya dalam bungkusan kantong plastik besar.
Perolehan itu diberikan kepada tetangga dekat peternak bebek. Imbalannya ke rumah kami sering diantar beberapa butir telur. Oleh Nenek Gadis dibikin asinan. Bila malam, aku ikut-ikutan mengunyah gorengan remah nasi dicampur rebus telur ayam.
Sebenarnya emakku tak tega membiarkan sepupunya itu menjadi orang upahan. Tukang cuci piring pada berbagai perhelatan. Bahkan emak pernah melarang tak usah kerja lagi. ”Di rumah ini,” kata emak, ”Selain diberlakukan larangan makan tak boleh beremah, tapi tak ada larangan makan sepuasnya.”
Tapi Kuntum senyum saja sambil pamit pergi kerja di mana ada pesta. Dia diajak seorang lelaki tua yang bertugas menjerang nasi beberapa dandang untuk hajatan itu. Kuntum kenal lelaki tua, teman sekampung dulu. Lelaki itu sudah menduda sejak istrinya tertembak masa agresi kedua. Emak pernah mengajuk hati Nenek Gadis kalau dia cocok dijodohkan dengan sang duda, yang lima tahun lebih muda dari Kuntum. Lagi-lagi Nenek Gadis senyum saja.
”Aku tak akan ingkar pada lelaki pertama yang pernah ditunangkan ayah untukku,” kenang gadis tua itu. ”Aku baru lima belas tahun ketika itu.”
Dituturkan, betapa ayahnya sangat mengagumi seorang pemuda tani tekun menghayun cangkul mengolah tanah, jelang tanam padi.
”Ayah membawa Onen—panggilan pemuda itu—bertandang ke pondok kami. Onen mengaku orangtuanya tak memiliki tanah. Dia hanya membantu ayah emaknya sambil ambil upahan mencangkul tanah penduduk bersawah ladang.”
Dikisahkan zaman Jepang waktu itu, di kampung hanya tinggal orang-orang tua. Sementara lelaki separuh baya banyak diangkut jadi romusha. Anak-anak muda ditarik jadi Heiho, serdadu Jepang dikirim entah ke mana-mana.
Menceritakan kembali hal lampau, pandang Nenek Gadis terlempar jauh. ”Belakangan ayah makin banyak merenung,” ucapnya getir.
”Sebaiknya Kuntum cepat kita nikahkan dengan Onen,” suara ayah dalam.
”Kalau ayah menyenangi pemuda itu, aku pun setuju,” ujar emak pada tengah malam. Keduanya masih duduk di ruang tengah, ayah sambil merokok bersandar di dinding. Emak meneruskan anyaman tikar pandannya. Pembicaraan itu kudengar sambil menahan kantuk dari balik kelambu.
”Maksudku bertepatan panen besar ini kita langsungkan. Sekalian mengadakan upacara pengantin padi, tanda syukur kita atas rahmat Yang Kuasa,” sahut ayah seraya mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Kulihat lewat tempelan kelambu ayah bangkit dari duduknya dekat emak. Kemudian keduanya melaksanakan shalat malam.
”Berdoalah berlindung kepada Allah. Aku cemas akhir-akhir ini. Heiho dan Kempetai sering masuk kampung,” gelisah emak masih mengenakan mukenanya.
”Mudah-mudahan panen raya berjalan aman,” harap ayah tak kuasa menyembunyikan galau. Juga gelisah hati emak jelas kudengar dari tarikan nafasnya.
Diam-diam aku pun terbawa gelisah. Kubenamkan wajah ke bawah bantal. Aku tak ingat apakah malam itu aku bermimpi bersanding di pelaminan bersama Onen. Agaknya persandingan kami adalah pasangan pengantin padi panen raya.
”Rembang petang, langit memerah, angin malam mulai terasa. Aku dan emak menyempatkan diri memetik sayur genjer-genjer muda untuk dibikin tumis kegemaran ayah.” Sampai di sini kisah Kuntum tersekat di kerongkongannya. Tapi dia terus bertutur, “Orang-orang di sawah sudah bersiap pulang. Ayah menarik tali ikatan kaleng-kaleng, menghalau burung-burung pipit makin banyak hinggap di butir padi.”
”Bila matahari makin condong menyusup ke bali awan senja, peladangan tambah riuh. Suara kelenengan kaleng-kaleng gemerentang sambung menyambung dari pematang ke pematang.”
Pendengar kisah nenek gadis tentu saja penasaran ketika cerita terhenti di antara dua bibir tipis terkatup menahan perasaan terdalam. Matanya berkaca-kaca. Tapi pencerita masih mampu melanjutkan kisah.
”Ramai gemerentang bunyi kaleng-kaleng penghalau burung tiba-tiba berbenturan dengan suara deru mobil truk besar di jalanan masuk kampung. Tak lama di benteng jalan pinggiran sawah berdiri tiga orang serdadu Jepang yang keluar dari mobil. Dua orang Heiho didampingi seorang Kempetai. Heiho itu masing-masing dilengkapi samurai panjang. Sang kempetai mengacungkan sepucuk pistol dicabut dari sarung nya terikat di pinggang.”
Iringan petani dikerahkan dengan ancaman senjata untuk kumpul mendekat ke mobil truk di benteng jalan. Meski dengan bicara patah-patah jelas dapat terdengar perintah. ”Besok akan dilakukan panen raya serentak. Semua hasil panen diangkut ke asrama militer,” teriak keras serdadu Jepang. Masing-masing berdiri angkuh berkecak pinggang di benteng jalan.
Tiba-tiba ada kekuatan lain. Dengan gagah berani kulihat ayah maju ke depan menyeruak dari kerumunan petani. ”Tidak sebutir padi pun boleh diambil. Ini butir keringat kita petani,” suara ayah lantang menggelegar.
”Pertahankan! Ini sawah ladang kita, hidup mati kita. Panen raya tahun ini kucur keringat kita. Banting tulang kita. Pertahankan!”
Keberanian bangkit di hati tiap petani. ”Tidak sebutir padi pun kita berikan,” sahut petani serempak. Campur hiruk-pikuk gemerentang kaleng-kaleng penghalau burung ditarik-tarik, diguncang-guncang tali-temali sambung-bersambung antara pematang ke pematang.
”Saat ayah mengacung-acungkan kepal tinjunya, dan mengangkat tinggi cangkulnya di hadapan orang asing tadi, persis ketika itulah salah seorang serdadu Jepang merenggutkan aku dari sisi ayah. Emak terpekik. Keadaan jadi tegang!”
Diceritakan, Kuntum digeret ke mobil truk. Dia meronta sekuatnya hendak melepaskan diri dari cengkeraman. Begitu pun serdadu Jepang merangkul ketat ketiaknya, hendak mengangkat tubuh gadis itu naik ke mobil truk.
Baca Juga: Teman Perjalanan
Membayangkan peristiwa silam itu bola mata tua Nenek Gadis tampak liar, dan bila kau simak kisah Kuntum sejak tadi, pasti kau merasakan suasana mencekam. Awan-awan senja seperti tersimbah darah.
Ayah dan emak Kuntum garang mempertahankan anak perawan yang terancam kehormatannya, seumpama anak ayam disambar elang, dicengkram kuku tajam.
Puncak kisah Kuntum, ia mengatakan seperti ini, ”Di luar sadar semua orang, Onen berkelebat tampil perkasa, menyambar kelewang Jepang dan menebas leher serdadu Jepang yang merenggut aku tadi. Sungguh mengerikan. Sebungkal kepala menggelinding di benteng jalan, tercemplung ke bendungan.”
”Onen kalap memburu serdadu Jepang lainnya, mengayunkan kelewang berlumur darah. Aku menjerit. Terdengar dentum tembakan. Onen rebah dipelukanku.”
Sampai di sini Nenek Gadis kuyup air mata. Dia pun tersedu.
”Aku tetap setia pada pemuda Onen, pilihan ayah. Aku dan dia, pemuda pemberani itu, kami pasti bersatu di negeri baka. Pertemuan yang abadi.”
Ucapan perempuan tua itu memelas antara terdengar dan tidak. Maka pahamlah kita betapa Kuntum menggenggam wasiat ayahnya, ”Makan tak boleh beremah.” Sebutir padi adalah biji kehidupan. Sebutir nasi adalah darah daging anak negeri. Onen mandi darah, ditebus darah. Kasih tak terpisah, rindu tak sudah.
Fosad, 2023
***
Sulaiman Sambas menggeluti dunia sastra hingga usia 83 tahun. Lahir di Tanjungbalai, 27 Juni 1940. Saat ini menjadi penasihat Forum Sastrawan Deli Serdang (Fosad) serta ikut mengasuh rubrik sastra koran Waspada Medan, seraya menikmati hari tua di Tembung bersama cucu-cucunya.