Perajin Kata
Cemeeh yang sebenarnya bukan benar-benar cemeeh, tapi kesudahannya betul-betul merasuk ke dalam pikiran, kemudian membatu dalam hatinya.
Perajin kata itu akhirnya mati sebelum ia sempat memahat sebuah kata yang ia anggap baru (yang kelak ingin ia tuding miliknya sendiri). Yang paling mustajab bunyi dan baunya; yang ia temui dalam perjalanan panjangnya menelusuri lorong kata-kata.
Lima puluh tahun sepertinya bukan waktu yang singkat bergelut-menggeliat, bahkan kadang juga bersetubuh dengan kata-kata. Akan tetapi, perajin kata itu belum juga mampu menawarkan; menampilkan sesuatu yang benar-benar baru, atau paling tidak berbeda dari kata-kata yang selama ini ia tulis dalam puisi-puisinya. Oleh karenanya, bukan sekali-dua ia menerima cemeeh dari penyair-penyair seangkatan, juga angkatan di atas maupun di bawahnya.
Cemeeh yang sebenarnya bukan benar-benar cemeeh, tapi kesudahannya betul-betul merasuk ke dalam pikiran, kemudian membatu dalam hatinya. Dan batu itu pada akhirnya, sungguh menyiksa hidup si perajin kata.
Menjadi penyair di Negeri Nganu memang sulit dan penuh cobaan. Selain akan sering dicemeeh (kalau melulu hanya mengandalkan kata yang sudah ada atau yang sudah lampau), penghidupan penyair juga jauh dari kata layak. Banyak pemuda-pemuda di Negeri Nganu yang awalnya bercita-cita menjadi penyair, belakangan malah banting setir menjadi penyihir atau politikus. Apa pasal?
Apalagi kalau bukan soal ekonomi. Minimnya perhatian dari pemangku kebijakan di Negeri Nganu, dan kurangnya apresiasi dari masyarakat membuat peluang penyair memenuhi kebutuhan (bahkan kebutuhan hidup sehari-hari, tidak usah dulu berkhayal soal kemewahan) pribadi terasa semakin sempit. Akibatnya, banyak penyair yang terpaksa menjual kata-kata mereka kepada pejabat-pejabat negeri (sekadar untuk menyambung hidup) yang suka dengan penemuan kata-kata para penyair—sebelum mereka sempat merangkai atau menjahitnya dalam puisi atau sajak.
Menurut pejabat-pejabat itu, kata-kata yang ditemukan oleh para penyair begitu ampuh meluluhkan hati rakyat calon pemilih. Itulah mengapa, pejabat-pejabat di Negeri Nganu acap terlihat begitu pintar menyusun serta merangkai kata. Seolah-olah mereka adalah manusia-manusia luhur yang telah sampai pada penghikmatan hidup paripurna. Rakyat pun jatuh kesima pada semua yang keluar dari congor pejabat-pejabat itu.
Sehingga kalau pun pejabat-pejabat itu melakukan sebuah kesalahan, rakyat mudah percuma memaafkan, bahkan memaklumkan para pejabat, setelah mendengar argumentasi-argumentasi pembelaan mereka yang sudah pula mereka tulis dalam puisi-puisi.
Tapi sialnya, kenyataan itu bertolak belakang dengan apa yang para penyair alami dan rasakan. Mereka malah dianggap tak lebih ialah sekumpulan orang-orang malas; tak ada kerjaan. Yang (mungkin) pantas dibinasakan, atau disingkirkan dari realita hidup masyarakat Negeri Nganu.
Kenyataan-kenyataan itu pulalah yang pada akhirnya semakin meneguhkan keinginan si pengrajin kata untuk menemukan kata baru. Yang tentu saja (bila ia berhasil menemukan) tidak akan ia jual kepada siapa pun, meski bilangan harga tanpa batas menjulur ditawarkan.
Setiap hari dalam hidupnya (setelah ia memutuskan mencari sebuah kata yang baru), ia hanya melamun belaka; terus menerus memikirkan sebuah kata yang ia harapkan dapat menyelamatkan marwahnya sebagai penyair (mungkin juga marwah semua penyair di Negeri Nganu).
Makin lama tubuh si perajin kata semakin tandas. Awalnya, tubuh gempalnya yang merasakan dampak dari usahanya menemukan kata; berat yang semula tujuh puluh kilo mendadak menjadi empat puluh kilo. Ia pun sungguh mirip dengan tengkorak hidup, daging di tubuhnya seperti tunggang langgang entah kemana. Padahal makan minumnya masih bisa dikatakan cukup.
Bukan hanya daging di tubuhnya, penglihatan dan geraknya pun semakin terbatas. Ia sering terjatuh saat sedang berjalan menuju teras rumah. Kadang juga ia sering salah melihat tamu yang datang ke rumahnya; ia pikir itu anak dan istrinya yang telah lama minggat. Duh, sedih nian rasa hati melihatnya.
Sampailah pada suatu malam yang terang, angin sepoi, dan pohon-pohon di sekitar rumahnya mendadak tampak khusuk menyambut sesuatu yang besar akan terjadi. Malam itu, entah dorongan dari mana, si perajin kata spontan mengucapkan sebuah kata.
”Ta....”
Akan tetapi, belum selesai ia menggenapkan bunyi sebuah kata, kata yang mungkin saja baru (yang kelak ingin ia tuding miliknya sendiri), yang mungkin juga paling mustajab bunyi dan baunya, yang akhirnya ia temui dalam perjalanan panjangnya menelusuri lorong kata-kata, rohnya malah embus menuju entah.
Namun, sesaat setelah ia wafat, tiba-tiba saja di tubuh si perajin kata yang kaku itu pelan-pelan tumbuh pohon kata-kata. Mulanya pohon itu hanya tumbuh di tubuhnya belaka. Tapi keesokan hari, setelah para pelayat mulai ramai datang mengantarkan rasa duka, ranting dan daun-daun dari pohon kata itu sudah pula merambat-menjalar ke segala sisi rumah si pengrajin kata.
Pohon kata itu juga mengeluarkan bau yang harum. Dan bila angin membelai daun-daun pohon itu, muncul bunyi-bunyi yang elok telinga mendengarnya. Seperti suara alam yang jernih belum tercemar apa pun.
Sayang, seribu kali sayang, bau serta bunyi yang tak lazim itu senyata belum sempat disemai si perajin kata untuk ia jadikan sebuah kata, atau semacam kata-kata, barangkali. Sehingga riuhlah suara-suara dari para pelayat yang mungkin saja diam-diam (dalam hati mereka) sudah merancang niat buruk.
”Bagaimana ini? Siapakah yang berhak pada pohon itu? Bukankah ia tidak memiliki siapa-siapa? Anak dan istrinya sudah lama pergi. Bahkan sampai saat ini saja, batang tengkuk mereka tidak kelihatan,” kata salah seorang pelayat yang sepertinya seorang pejabat.
”Sudah, biarkan saja! Itu miliknya, biar menjadi urusannya,” balas seorang penyair muda dengan berapi-api.
”Tapi ia sudah mati. Dan bukankah yang mati takkan mampu memahat atau menjahit kata lagi,” kata salah seorang penyair lain yang terkenal suka menjual kata pada pejabat-pejabat Negeri Nganu.
Melihat kericuhan semakin membesar, seorang penyair tempo dulu buka suara. Sambil merapikan jubahnya, ia berkata, ”Tidak boleh satu pun di antara kita yang hadir hari ini, berhak pada apa yang sudah penyair ini cari dan temukan. Dan kita semua musti segera menemukan cara untuk menghilangkan semua hasil dari pohon kata itu!”
Para pelayat akhirnya sibuk berdiskusi mencari cara agar pohon kata itu hilang atau mati tak menumbuh lagi. Setelah melalui serangkaian diskusi, bahkan perdebatan yang panjang, mereka pun sampai pada kesimpulan yang sama: bakar!
Baca juga: Cinta Buta Amangkurat
”Agar tak menjadi persoalan di kemudian hari, tubuh penyair ini sebaiknya kita bakar saja. Supaya pohon kata-kata yang tumbuh di tubuhnya tidak bakalan merimbun ke mana-mana; yang akhirnya membuat kita semua menjadi gaduh menentukan siapa yang berhak mewarisi penemuan ini,” kata penyair tempo dulu mewakili semua pelayat yang hadir.
Maka, dibakarlah tubuh si pengrajin kata itu. Pohon kata yang tumbuh di tubuh si perajin kata itu pun berhenti merambat. Tak lama kemudian musnah bersama tubuh si perajin kata.
Ah, ternyata orang-orang itu keliru. Sebab walaupun tubuh si perajin kata telah habis dikunyah api, burung-burung bangkai yang entah dari mana datangnya ternyata menyukai abu tubuh perajin kata. Dan pelan-pelan tumbuh pula pohon kata-kata di tubuh burung-burung itu.
”Lihatlah! Perajin kata itu kini bersayap. Ke manakah ia akan terbang?”
Akasia 11CT
***
ILHAM WAHYUDI
Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di Dapur IBUMataAngin, seorang profesional fundraiser face to face, dan seorang fukara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan ada yang ditolak. Buku kumpulan cerpennya, Kalimance Ingin Jadi Penyair, akan segera terbit.