Cinta Buta Amangkurat
Tidak bisa dimungkiri sebagai seorang raja di tanah Jawa, segalanya telah ia peroleh. Kecuali satu, cinta yang belum ia dapatkan.
Malam semakin tua: tinggi dan sunyi. Di peraduannya, Amangkurat belum bisa memejamkan matanya barang sekejap pun. Pikirannya gentayangan. Matanya menyala menjaga rembulan yang sedang berlayar di atas awan. Di bawah cahaya lampu minyak kesedihan membayang di wajahnya.
Tidak bisa dimungkiri sebagai seorang raja di tanah Jawa, segalanya telah ia peroleh; kemasyhuran, kehormatan, dan kejayaan hidupnya yang gemilang. Kecuali satu, cinta yang belum ia dapatkan.
”Apalah artinya surga tanpamu, istriku. Bagai Adam saat di surga dulu, akulah lelakimu yang kesepian itu,” gumam Amangkurat dalam hatinya.
Amangkurat sadar kematian Ratu Malang telah membawa separuh kebahagiaannya. Di saat ia sedang merayakan kesedihannya, tiba-tiba saja ia teringat syair dari seorang pujangga: obat mujarab orang yang patah hati ialah dengan jatuh cinta kembali.
Keesokan harinya Amangkurat bangun lebih pagi dan segera mengumpulkan para senapatinya.Dengan penuh semangat sang raja mengutus Nayatruna dan Yudakarti untuk mencarikan seorang gadis yang dapat mengobati lukanya—luka yang tak ada tetes darahnya.
”Setiap kali kalian memasuki desa-desa, periksalah sumurnya. Jika air dalam sumur itu harum dan segar, maka dapat dipastikan di desa itulah gadis yang kecantikannya bersinar terang bagai bintang kejora tinggal,” kata Amangkurat memberi wejangan kepada kedua senapatinya.
Kedua senapati Mataram itu hanya mengangguk kemudian memberi sembah sebelum berangkat memenuhi keinginan junjungannya. Hampir separuh wilayah kekuasaan Mataram sudah kedua senapati Mataram itu singgahi, tetapi belum mereka menemukan gadis yang diinginkan. Barulah setelah memasuki tepi Kali Mas, Surabaya, yang merupakan wilayah kekuasaan Pangeran Pekik, kedua utusan Amangkurat mendapati apa yang dicarinya.
”Tidak hanya sumur yang harum dan segar, sungai di sini juga begitu sejuk Kakang,” kata Nayatruna setelah membasuh wajahnya dari air sumur seorang mantri bernama Mangunjaya.
Yudakarti mengangguk dan segera menemui sang mantri.
”Jika benar Tuan memiliki seorang anak gadis jelita yang tidak ada duanya, maka perlihatkanlah pada kami kemilau mutiara yang Tuan sembunyikan itu,” pinta Yudakarti pada Mangunjaya. Maka dipanggillah seorang anak gadis berusia sebelas tahun. Betapa terkejut dua utusan dari Mataram itu melihat kecantikan anak gadis sang mantri.
”Ini anak hamba namanya Roro Oyi.”
”Cantik sekali. Aku yakin kelak jika sudah dewasa kecantikannya akan menyinari Surabaya. Kalau begitu silakan berkemas, kita bawa Roro Oyi ke hadapan Raja Amangkurat,” kata Nayatruna mendesak.
Sesampainya di istana Mataram, Amangkurat kesengsem dengan kecantikan Roro Oyi. Meski jatuh hati Amangkurat tahu diri, bahwa gadis di hadapannya terlalu muda untuk dijadikan istri. Maka ia pun menitipkan Rara Oyi ke Mantri Wirareja sampai usianya cukup untuk dijadikan pendamping hidupnya.
Hari berganti minggu, minggu merengkuh bulan, dan bulan menjemput tahun. Begitulah bergulirnya waktu dengan cepat. Kini Roro Oyi tumbuh menjadi gadis remaja yang kecantikan menjadi pengantar mimpi indah para perjaka. Jikalau ia berjalan di antara bunga, maka menunduklah bunga-bunga itu untuk memberikan salam dan pujian. Bila ia tersenyum maka senyumnya laksana mentari di antara kabut-kabut pagi. Matanya laut: tenang, dalam, dan diam. Pipinya ranum dan bibirnya merah bagai belahan delima. Dan itulah kekuatan utamanya.
***
Sore itu, Pangeran Adipati Anom baru saja keluar dari hutan setelah seharian berburu. Entah bagaimana ceritanya saat langkah kaki kuda yang ditungganginya membawanya ke rumah Mantri Wirareja.
”Mimpi apa hamba semalam, hingga Dewata mengirim Pangeran Adipati Anom ke gubuk kami ini,” kata Mantri Wirareja menyambut kedatangan Pangeran Adipati Anom.
”Aku hanya mengikuti arah mata angin,” balasnya ringkas. Ketika keduanya sedang asyik berbincang tanpa sengaja pangeran Mataram itu melihat Roro Oyi yang sedang belajar membatik. Ia tertegun melihat kecantikan gadis di depan matanya. Gairah mudanya menyala membakar dadanya.
”Namanya Roro Oyi. Sebentar lagi dia akan diperistri oleh Prabu Amangkurat, ayahanda Pangeran Adipati Anom,” kata Mantri Wirareja berterus terang.
Bagai disambar petir betapa terkejut Pangeran Anom mendengar ucapan Mantri Mangunjaya. Ia tahu watak ayahandanya yang gemar memperistri perempuan cantik. Pangeran Anom segera undur diri dan bergegas pulang dengan membawa perasaan yang tidak karuan.
Sudah berhari-hari Pangeran Anom tergolek di kamarnya. Ia jatuh sakit. Bagai gelas kaca yang dibanting ke lantai sekeras-kerasnya, begitulah hatinya saat ini. Roro Oyi gadis yang telah memenjarakan hatinya sebentar lagi bilik-biliknya akan dimiliki oleh ayahandanya sendiri. Membayangkan hal itu, dadanya terasa sesak. Hampir setiap malam ia mengigau memanggil namanya: ”Oh, Rara Oyi aku telah terbunuh oleh kecantikanmu.”
Pangeran Purbaya sesepuh Mataram yang cukup dihormati, mengetahui jika cucunya sedang tergila-gila dengan Rara Oyi yang kecantikannya begitu tersohor. Ia pun segera berangkat menuju ke kediaman Wirareja untuk menjemput Rara Oyi. Ia tidak peduli dengan Raja Amangkurat yang akan menjadikan Rara Oyi sebagai istrinya. Baginya kebahagiaan cucunya di atas segalanya. Tekadnya sudah bulat, tidak ada yang dapat menghentikan langkahnya meski langit runtuh sekalipun.
Melihat kedatangan Pangeran Purbaya beserta puluhan prajuritnya, hati Mantri Wirareja gentar. Nama besar yang disandang Pangeran Purbaya telah meruntuhkan keberaniannya. ”Jangan ada yang berani mencabut keris kalian di hadapan Pangeran Purbaya,” kata Wirareja kepada para pengawalnya.
Kedatangan Pangeran Purbaya dan rombongannya disambut dengan baik. Setelah berdiskusi cukup alot, Wirareja akhirnya luluh melepas Roro Oyi untuk dinikahkan dengan Pangeran Anom. Terlebih emas, keris, dan pakaian indah yang dibawa istri Pangeran Purbaya tidak bisa ditolaknya.
Kedatangan Rara Oyi disambut gembira Pangeran Anom. Hanya dalam kedipan mata keduanya saling jatuh cinta. Kini kedua muda-mudi itu akan berkisah tentang kasih. Tentang cinta yang merindu dendam, yang sudah lama tertahan dan terasingkan.
Di istananya, Amangkurat sangat murka mendengar kabar calon istrinya akan dikawinkan dengan putranya, Pangeran Adipati Anom. Tanpa pikir panjang ia mengeluarkan titah pada prajuritnya untuk segera menangkap Wirareja, Pangeran Purbaya, dan putranya sendiri.
”Bunuh siapa saja yang berani membangkang,” perintahnya sambil mengacungkan keris dengan penuh amarah terpancar dari wajahnya yang merah.
Bagai singa lapar yang dikeluarkan dari kandangnya, prajurit-prajurit Mataram mengamuk membakar kedaton Pangeran Anom. Semua orang kepercayaannya tidak luput dari pembantaian. Tidak terkecuali keluarga Wirareja yang dihabisi di tengah hutan. Pangeran Anom dan Roro Oyi juga berhasil diringkusnya dan digiring ke hadapan sang raja.
Di kaki ayahandanya, Pangeran Adipati Anom bersujud memohon ampunan.
”Keris yang sudah dicabut pantang untuk disarungkan,” ujarnya menggelegar bagai guntur. ”Bunuh Roro Oyi dengan kerismu atau kau akan kehilangan kedudukanmu sebagai pewaris takhta kerajaan Mataram.”
”Hamba sangat mencintainya Rara Oyi. Tidak adakah cara lain yang dapat aku tebus untuk mengganti kesalahanku?”
”Dosamu teramat besar. Lebih besar dari Gunung Merapi. Bahkan seisi laut Jawa tidak dapat memadamkan api amarah yang berkobar di dadaku. Hanya nyawa Roro Oyi yang dapat menyelamatkanmu. Usia gadis itu hanya sepanjang usia malam ini. Jika tidak kau laksanakan, biar sengatan sinar matahari yang akan membakar kulit kalian berdua.”
Baca juga: Malam Panjang Alina
Bagai buah simalakama kini hati Pangeran Adipati Anom diliputi kebingungan. Dengan rasa putus asa ia menemui Rara Oyi di kamarnya. Baru saja melihat bayangan kekasihnya, langkah kakinya mendadak begitu berat seperti terbenam di dalam lumpur.
Roro Oyi yang mengetahui kedatangan kekasihnya bergegas keluar untuk menjemputnya.
”Apa yang terjadi dengan cinta kita, Kakanda?” tanya Roro Oyi sambil mengusap air mata pemuda yang sangat dicintainya. Kemudian kembali berujar pelan, ”Jikalau air matamu lebih berharga dari sebuah kehidupan, maka sungguh cinta telah bertakhta di atas segala, kekasihku. Aku sudah mendengar semuanya. Lanjutkan hidupmu tidak ada yang perlu disesali. Seisi alam mayapada pun tahu semua ini salahku. Kecantikan yang dianugerahkan Dewata pada diriku ini tidak lain hanya sebuah kutukan. Ia akan membawa prahara, malapetaka, dan bencana bagi siapa saja yang menuruti hawa nafsunya.”
Hening.
”Janganlah ragu kekasihku, cabut kerismu. Aku akan tetap hidup bersama napasmu,” bisik Rara Oyi di telinga pemuda yang dicintainya.
Pangeran Adipati Anom masih menangis saat Roro Oyi membimbing tangannya untuk mencabut keris yang terselip di pinggangnya.
”Jikalau ada yang bertanya apa itu cinta? Maka jawablah dengan lantang kekasihku, inilah yang dinamakan cinta,” kata Rara Oyi lagi sesaat sebelum menikamkan keris kekasihnya ke perutnya sendiri.
***
Ade Mulyono, lahir di Tegal. Prosais dan esais. Tulisannya dimuat di sejumlah media seperti Kompas, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Harian Rakyat Sultra, dan Majalah Harmoni. Novel terbarunya Namaku Bunga (2022).