Bawong Pamit Senja Terbuka
Evi tahu Aya sensitif bila membahas piaraan mereka. Tapi dia tidak menyangka kalimatnya tadi mengguncang si adik. Serta-merta dipeluknya Aya.
Menderam geram Aya berujar, ”Jagal jahanam kamu, Kak!” Andai mulutnya mampu menganga segigantik rahang paus sperma, sekali caplok, lenyap si kakak seketika. Tapi setelah itu, segera dimuntahkannya. Bagaimanapun jengkelnya Aya pada Evi, dia tetap kakak kandungnya.
”Pakai logika, Aya, jangan baper. Daripada kelamaan ia merana kesakitan. Hidupnya dipenuhi kecemasan. Dicemburui lalu dihajar kawanannya sampai berdarah-darah. Terus kamu repot merawatnya. Lebih baik ia segera ´ditidurkan´. Meringankan beban semua pihak. Toh pada akhirnya, semua makhluk hidup pasti mati, kan?” sahut Evi ringan serenyah mengunyah kerupuk.
Aya menggeleng. Dia benci solusi keji usulan kakaknya. Evi menarik napas. ”Lagian, hidup ini sudah banyak masalah, Aya. Miara kucing itu buat terapi, menghilangkan stres dan depresi. Bukan untuk nambahin masalah.”
”Kalau aku nanti sakit, terus nyusahin, kamu tega suntik mati aku?” Mata Aya mulai berair. Bayangan Uwa Mumung yang genting terbaring di ICU sekonyong-konyong melintas dalam benaknya. Aya lalu membuang muka, menghindar ejekan Evi atas kecengengannya.
Evi tahu Aya sensitif bila membahas piaraan mereka. Tapi dia tidak menyangka kalimatnya tadi mengguncang si adik. Serta-merta dipeluknya Aya. ”Bukan begitu maksudku, Sayang.” Evi mengecup pipi Aya yang basah. ”Kamu adikku satu-satunya. Melihatmu meringis disuntik vaksin saja, aku nangis. Jangan overthinkinggitu deh.” Evi mengeringkan pipi adiknya dengan tisu.
Sejak kecil keduanya terbiasa menjamu binatang yang singgah, lalu menumpang hidup di rumah mereka. Burung-burung saat bermigrasi terhantam badai angin, terempas karena terbang keletihan, atau patah sayap, terpaksa transit di halaman rumah mereka. Aya memungut mereka tanpa banyak bicara. Lalu dengan hati-hati dia menghanduki bulu kuyupnya. Menghangatkan tubuh mereka dengan pengering rambut.
Di saat yang sama, pucat pasi Evi kebingungan, antara gamang, kasihan, bercampur jijik. Dia memalingkan muka melihat keadaan mereka. Namun setelah bulu mereka kering dan sempurna menutupi kulit, sayap patah pulih terobati, penuh sukacita Evi mengelus mereka. Dua minggu kemudian, kawanan burung itu sudah kuat mengepak sayap. Aya akan melepas mereka terbang bebas kembali. Evi malah mencegahnya. Dia berkilah, kicau burung menenangkan jiwa. Evi juga sudah menggambar sketsa kandang besar untuk mereka.
”Jangan, Kak.” Aya menolak usulan Evi. ”Coba kamu dikurung sepanjang hari, gak boleh keluar rumah, pasti bete kan? Biarkan mereka kembali bebas di udara.”
”Sangkar ini kurancang untuk melindungi mereka dari badai. Di dalamnya mereka terjamin kehidupannya. Pasti kuberi makan. Pasti nyaman tenteram,” Evi membantah adiknya.
”Pasti, pasti, lambemu, Kak! Kalau dari bayi mereka sudah terbiasa dikurung, mungkin dunia yang mereka kenal cuma sebatas sangkar itu. Ya, gak masalah. Laah... burung-burung ini kan terbiasa bebas. Kasihanlah Kak, kalau tiba-tiba kita penjarakan.”
Selain burung nyasar, anjing dan kucing juga sering mampir menumpang makan di rumah mereka. Lama-kelamaan satwa singgah ini betah dan menggemuk. Beberapa tinggal menetap, memperoleh suaka tanpa batas waktu. Aya merawat mereka hingga bulunya berkilat dan mengembang halus. Evi mengamati adik dan pasiennya ini dari kejauhan. Namun dia tak henti menyuplai pasien dengan pakan terbaik. Setelah penampilan mereka berubah lucu menggemaskan, barulah tergugah hati Evi untuk membelai kawanan ini.
Kawanan ini pun tahu balas budi. Mereka menjaga Evi dan Aya, yang tidak menyadari bahwa satwa-satwa ini memiliki radar gaib. Mosi dan Dante, anjing pemeroleh suaka, pada suatu senja riuh bersahutan menyalak dan menggeram. Mereka pamerkan gigi dan siap menerkam. Bersamaan waktunya, bulu di seluruh badan Jolie, Xiu, dan Bawong berdiri tegak. Wajah mereka juga tampak tegang, dan mengeong siap tempur. Kuku mereka meregang keluar dari ujung kaki, siaga untuk mencakar. Herannya, Evi dan Aya tidak melihat musuh atau apa pun di depan mereka.
Namun Ibu segera membaca doa lalu berteriak mengusir. Kakak adik itu makin kebingungan, karena tak tampak siapa atau apa yang diusir Ibu.
”Ada yang mengirim teluh untuk bapakmu.” Singkat Ibu menjelaskan.
Malam harinya, kucing Jolie dan Xiu muntah-muntah. Dante dan Mosi, kedua anjing, lemas lunglai. Berhari-hari sesudahnya, mereka menolak makan. Aya dan Evi terpaksa menyuapi mereka satu per satu, tapi selalu dimuntahkan. Keadaan mereka makin lemah. Tepat seminggu sesudah kejadian senja itu, keempat satwa ini kedapatan tergeletak sudah tak bernyawa. Hanya Bawong yang bertahan hidup.
Bawong memang istimewa. Empat tahunan lalu, ia hanya seekor kucing kecil tertatih-tatih menumpang makan. Mungkin ia terpisah dari induk. Atau mungkin ia sengaja dibuang oleh pemiliknya. Aya memungut dan membersihkan belek matanya, juga bercak lumpur serta darah di badannya. Entah siapa yang menamai, tapi serumah setuju memanggilnya Bawong.
Warna bulunya belang lima. Dengan dominasi warna putih. Kedua kelopak matanya dilingkari masker hitam, mirip mata panda. Sebagian sisi badannya tertutup oranye keemasan, dihiasi bercak abu-abu, coklat, dan hitam. Kelima warna itu berkelindan indah di sepanjang ekornya.
Ibu berpesan, kala senja jangan melepas Bawong keluar. Menurut Ibu, kucing jantan belang tiga saja hidupnya tak lama. Apalagi bulu Bawong lima warna. Kucing-kucing lain pasti mencemburui keunikannya. Lalu menghajarnya tiada ampun.
Bawong beranjak besar, pesan Ibu menjadi kenyataan. Bila pintu dan jendela rumah masih terbuka lepas maghrib, ia leluasa menyelinap keluar. Semalaman Aya akan mendengar tawuran kucing mengeong sampai subuh, jika tidak segera dilerainya. Biasanya, begitu mendengar keributan, bergegas Aya memasang selang kebun, menyalakan keran air, lalu menyemprot dan membubarkan gelanggang kucing adu nyali itu.
Sekiranya Aya siaga, Bawong selamat. Namun jika Aya lengah, beberapa kali Bawong terkapar tak sanggup berjalan. Aya harus menggendongnya pulang. Lalu merawatnya.
Kucing satu ini memang aneh. Ia tahu dirinya jadi pusat perhatian dan kecemburuan, karena lima warna bulunya. Tetap saja ia nekat keluar rumah untuk sekadar pamer. Mungkin pamer baginya lebih penting dibanding keselamatan diri.
Mungkin pamer juga sifat semesta. Senja kala pamerkan cakrawala jingga sebagai pembatas dua masa. Menutup matahari siang dan membuka gelap malam. Menyilakan makhluk siang untuk istirahat. Setelah lelah seharian mereka bekerja, atau mencari makan. Lalu alam mengisi ruang gelap malam dengan makhluk lain. Mereka juga punya hak bebas berkeliaran mencari mangsa. Agar berimbang daur kehidupan alam semesta.
Ibu mungkin termasuk umat siang. Karena dia selalu mengingatkan, hindari berada di luar rumah kala senja. Berdiam dan banyaklah berdoa, mohon perlindungan agar selamat mengarungi malam. Evi dan Aya mematuhinya. Dalam kamar yang bersebelahan, Aya masih duduk bersimpuh di atas sajadah, baru selesai mengucap salam kepada dua malaikat penjaga. Kala didengarnya lirih suara eongan Bawong di luar jendela. Aya berdiri, kemudian bergegas membuka lagi jendela kaca yang tadi sudah ditutupnya. Jendela itu menyerupai pintu. Tingginya dua meter. Aya berharap Bawong segera meloncat masuk.
Merah jingga langit di sisi barat perlahan meredup lembayung. Seredup tatapan mata Bawong memandangi Aya. Sesekali ia mengeong. Mungkin ia mengeongkan terima kasih kepada perawatnya selama ini. Siklus hidup kucing satu ini berkisar antara pulih, bertempur habis-habisan, lalu luka, kemudian dirawat Aya hingga pulih kembali. Jika kekuatannya sudah paripurna, Bawong akan keluar pamer menantang kawanannya lagi.
”Kapan kamu bosan bocel-bocel dihajar kucing sekampung, Bawong?” Aya berbisik. Menghindar pertikaian mulut dengan Evi di kamar sebelah, andai dia mendengarnya.
”Buat apa miara kucing garong? Nyusahin aja!” Meninggi suara Evi pada satu pagi. Di pojok dapur Bawong sedang sarapan pun berhenti. Ia memandangi keduanya, seperti sadar, dirinya selalu menjadi topik pertikaian belakangan ini.
”Kucing juga punya hak hidup yang sama dengan kita, Kak. Mereka bukan boneka untuk dielus-elus, ditimang-timang, terus ditendang kalau sudah tua dan gak gemoy lagi! Ingat karma, Kak. Kita semua menua.” Aya membayangkan kondisi Uwa Mumung yang kian melemah. Uwa kakak sulung Ibu. Aya keponakan kesayangan Uwa. Sempat dulu Uwa ingin mengadopsi Aya.
”Kamu saja yang menua. Aku sih muda selamanya.” Evi memang rajin merawat wajah serta menempelkan dempul rias. Membuatnya sekilas tampak lebih muda dari Aya. Namun jika dempul itu dikeletek, terlihat jelas lingkar mata mulai menggantung, walau usia Evi baru dua puluh lima. Dia juga selalu menyepuh helai uban yang mulai mendominasi rambutnya, menggunakan sampo khusus dengan pewarna.
Mungkin DNA Bapak menurun pada Evi. Zaman muda dulu, Bapak tampak berwibawa dengan kerutan wajah, serta semburat perak uban di kepala. Berbekal kewibawaan penampilan, ditambah kepiawaian Bapak berorasi, terbakarlah semangat teman-teman seangkatannya. Berminggu-minggu mereka berdemo di luar pagar parlemen Senayan, berusaha mendongkel rezim saat itu turun takhta.
Karma itu nyata. Dua puluhan tahun kemudian, Bapak mewakili partainya di dalam parlemen. Gantian dia yang didemo. Pelaku demonya pun tidak hanya manusia. Tapi juga makhluk tak kasatmata, seperti yang pernah menewaskan empat piaraan, kolega Bawong.
Jendela kamar Aya sudah lebar terbuka, tapi Bawong tetap enggan melompat masuk. Ia malah menegakkan keempat kakinya dan mengeong beberapa kali. Aya menangkap pesannya, ”Lebih baik aku pergi daripada selalu menjadi pemicu pertengkaran kalian.” Kemudian perlahan ia beranjak menjauh. Aya tak mampu menahannya. ”Hati-hati Bawong....”
Kucing itu menoleh. Lampu LED taman menyinari detail wajahnya. Aya tersirap. Wajah itu bukan wajah Bawong. Membuat Aya refleks berlinang mata menatapnya. Kian lama kian deras. Kala Aya mengucek mata sekian detik, Bawong sudah lenyap ditelan remang senja.
Bawong sekarang bukan lagi kucing kecil yang tertatih mohon belas kasihan. Belakangan ukuran kepalanya membesar. Evi bilang seperti kucing garong. Tekstur bulunya berubah kasar. Tidak lembut halus seperti dulu lagi. Mungkin mirip manusia, juga makhluk lainnya. Pada masa kecil lucu dan menggemaskan. Setelah menua, dijangkiti persoalan hidup dan berbagai penyakit, berubahlah penampilan. Kulit mengeras hingga berkerak, mirip cangkang kura-kura. Mirip yang dialami Uwa Mumung.
Baca juga : Ridwan Merebut Dunianya
Sebetulnya, sudah lama Bawong mengendus ketidakberesan dalam badan Uwa. Setiap perempuan itu menuang bersendok-sendok gula ke dalam cangkir tehnya, Bawong akan mengeong protes. Seakan dia paham, gula berlebihan berbahaya untuk kesehatan Uwa.
Sebaliknya, jika kakak Ibu itu mengabaikan gula, Bawong akan mendengkur pelan sambil mengusap-usapkan kepalanya ke kaki Uwa. Seolah Bawong memuji Uwa menghindari gula.
Gula berlebihan menumpuk bertahun-tahun dalam tubuh Uwa terbukti mengganggu organ-organ penting. Setahun lalu dokter memvonis usia Uwa tinggal sebulan. Uwa bergeming. Semangatnya untuk bertahan hidup tetap menyala. Dia berharap dapat menyaksikan Aya diwisuda. Bagaimanapun sakitnya kemo dan terapi lain, dijalaninya dengan tabah. Sampai rentetan terapi ini menghajar bagian tubuhnya yang sehat, lalu melemah. Sehingga Uwa harus dirawat di ICU.
Sepeninggal Bawong, gelap menaungi malam di luar. Di dalam kamar Aya merapikan toga, kebaya, dan keperluan acara wisuda esok pagi. Dia termangu mengingat wajah Bawong saat pamit tadi. Perasaannya galau, segera dia keluar kamar mencari Ibu.
”Sebaiknya malam ini kita jenguk Uwa Mumung.”
”Lho, tadi pagi kamu baru dari sana.”
”Iya, Bu, tapi perasaanku gak enak. Mudah-mudahan, perasaanku salah. Tapi kalau benar, aku akan menyesal seumur hidup. Gak bisa ketemu Uwa lagi.”
Raut muka Ibu menegang, rahangnya terkatup rapat. Sinar matanya berubah pilu. Tanpa bicara Ibu masuk kamar, bersalin pakaian, lalu bersiap menemani Aya ke klinik.
”Bawong barusan pamit, Bu. Aya melihat wajah Uwa di wajahnya.”
Bad Nauheim, 1 Juni 2023
***
Kiki Isbianto, lahir di Jakarta, alumnus FTSP Arsitektur Trisakti, Jakarta, dan Manajemen Real Estate PPM, Jakarta.