Barangkali orang di rumah terlalu sayang. Si Bleki tidak pula dimasukkan ke kandang. Toh, kalau ada hanya kandang ayam.
Oleh
A. A Hafidz
·7 menit baca
Kira-kira bulan Januari si Bleki hilang. Mungkin seperti masalah kucing lain. Si Bleki yang baru berumur setahun itu sudah baligh. Sudah saatnya musim kawin. Cara mengeongnya mengeluarkan suara lebih keras dan berat. Sudah sering menjilati kelaminnya sendiri. Pulang pun sebatas mengisi perut agar mempunyai tenaga untuk merayu kucing betina yang belum pernah saya lihat. Mungkin sedang mencari kucing betina tetangga yang jauh dari rumah.
Barangkali orang di rumah terlalu sayang. Si Bleki tidak pula dimasukkan ke kandang. Toh, kalau ada hanya kandang ayam. Pernah sekali si Bleki sakit perut karena keracunan rumput yang disemprot obat, akhirnya ia mencret. Sudah pasti tahi kucing kalau di dalam rumah baunya sulit hilang karena orang di rumah terlalu sayang pada si Bleki ya, mau tak mau, saya bersihkan. Sebenarnya saya juga sangat benci kalau kucing buang tahi sembarangan tetapi karena ia sakit, tidak perlu juga saya marah. Adik saya juga pintar merawat si Bleki, sudah dibelikan obat khusus kucing, lagi pula si Bleki kucing mandiri kalau buang tahi selalu di luar rumah. Meski buang tahi di rumah tetangga yang kosong. Si Bleki selalu buang tahi di bawah pohon rambutan.
Sejak hari pertama si Bleki tidak pulang, adik selalu cemas. Ia selalu tidak bisa diam, ia mondar-mandir, ke teras rumah, samping rumah, dan belakang rumah. Ia menangis, saya yang melihat justru semakin sedih dan ikut cemas dengannya. Saya melamun berjam-jam semenjak hilangnya si Bleki. Adik juga ikut-ikutan tidak nafsu makan. Ketika jam makan siang ia selalu mengayuh sepedanya mengelilingi lingkungan RT.
”Gimana, Si Bleki ketemu?”
Ia jawab, ”Tidak, Kak.” lantas ia masuk, mengunci kamar, dan tangisnya bisa saya dengar saat menguping lewat kamarnya. Sebetulnya semenjak masalah perkucingan dengan Virga dan Michael. Saya menjadi benci dengan kucing, tetapi ini si kucing Bleki, yang dari kecil dirawat dan mandiri. Bukan kucing kampung berbulu putih milik teman saya yang kabur dari kamar kosnya lalu memaksa saya bertemu Virga dan Michael. Kucing berbulu putih yang manja karena didikan pemiliknya sudah membuat saya sangat tidak suka dengan para pecinta hewan berbulu lembut itu. Kepada mereka Michael dan Virga penganut paham kasih sayang perkucingan. Saya sangat membenci kalian karena sebuah kesalahpahaman. Tetapi ini si Bleki, kucing yang sudah hilang beberapa hari ini.
Saya berinisiatif untuk mengirimkan surat kecil secara diam-diam kepada adik. jangankan berbohong. Apa pun dapat dilakukan hanya demi adik yang manis, kecil, dan imut yang selalu menghibur saat lelah demi melihat senyumnya lagi. Lagi pula adik saya penderita autism spectrum disorder (ASD).
Setiap pukul lima pagi, saya diam-diam menaruh potongan kertas kecil yang diselipkan ke bawah kolong pintu kamarnya.
”Selamat Pagi, Icha!, tidak usah bersedih, aku Bleki, kucingmu tersayang. Aku sedang berlayar ke negeri seberang, aku baik-baik saja, aku akan mengirimi surat tiga hari sekali, surat ini akan kamu temui di bawah kolong pintu kamarmu, aku titipkan surat pada burung pipit, kamu tahu, kan? Lubang di atas jendela? Di situlah kertas ini akan masuk, jangan khawatir Icha, aku akan selalu mengabarimu dari jauh, aku sedang berpetualang mencari pengalaman hidup dan jodoh, salam hangat. si Bleki.”
Akhirnya adikku bisa tersenyum. Ia sudah mau bersekolah, makan tepat waktu, dan belajar. Setiap pergantian hari ia selalu menunggu surat dari si Bleki. Sekarang harapan dan semangat hidupnya sangat bergairah, ia sudah mau bermain dengan teman-teman sebaya. Sekarang justru masalah baru hadir. Adikku menunggu surat palsu yang saya buat, sampai lupa tidur, bangun pagi sedikit sulit, dan beberapa PR lupa ia kerjakan. Ustazah dari TK Marsudi sampai berkunjung ke rumah dan melaporkan hasil belajar Icha pada Ibu. Setidaknya besok tepat hari ketiga dan si Bleki harus mengabari Icha.
Sekali lagi saya harus berbohong pada adik. Malamnya saya menulis surat berpura-pura jika surat itu dari Si Bleki. Saya menambahkan cap telapak kucing agar adik percaya jika suratnya dari kucing tersayang, Bleki. Setelah subuh, saya meletakkan surat dengan kertas kecil tersebut ke bawah kolong pintu kamar Icha. Icha bangun, saya mengintipnya dari kamar tidur. Sengaja membuka pintu sedikit kamarku agar melihat Icha membaca surat. Ia seperti terburu-buru ke kamar mandi, tanpa sadar mengetahui keberadaan surat.
”Icha, kertas apa itu?” aku menunjuk kertas. Sementara langkah Icha sudah melewati surat di mana tergeletak masih pada posisinya. Ia kembali untuk mengambilnya.
”Yeay, surat dari Si Bleki.” Icha tersenyum lalu membukanya. Ia tak kunjung kembali. Dalam bayangku, mungkin ia membaca surat dari si Bleki sambil buang hajat.
”Icha sekarang aku sudah mempunyai pasangan, kami sudah menikah. Sebenarnya aku ingin mengundangmu, tetapi si Burung Pipit sedang sibuk mengantarkan surat. Jadi, baru sekarang aku mengabarimu, maaf ya Icha yang manis, manusia paling baik selalu memberiku ikan pindang ketika aku lapar. Ingin aku perkenalkan padamu Whitney jika kelak aku pulang, Icha. Ia kucing betina yang cantik, dan anggun, bulunya lebih halus dari punyaku, ia sekarang sedang bunting, Icha. Barangkali kamu mau merawat anak kami kelak. Pasti hasil kawin kami mempunyai keturunan yang bagus, kamu pasti suka. Oh, iya Icha, kami berencana ingin berlibur ke pulau Aoshima, di Jepang, di sana banyak koloni kucing, kelak aku ingin mengajakmu, menikmati angin pantai yang berembus melewati kulit, serta ombak biru yang jarang kau temui di pantai di negaramu. Aku berjanji akan mengabarimu, jika sampai di pulau Aoshima, mungkin seminggu lagi. Salam hangat, si Bleki.”
Icha lantas menunjukkan surat itu padaku. Seolah cerita-cerita itu nyata. Saya mengiyakan saja. Justru dalam hati, saya sungguh harus mencari solusi supaya cerita-cerita buatanku tidak mengecewakan adik tersayang.
**
”Kamu ngapain, pagi-pagi begini sudah jalan kaki, mau ke mana?” Pak Ndut menyapaku.
”Saya ingin cari kucing, Pak. Sebulan ini kucing saya hilang. Si Icha menangis hampir setiap hari.”
”Kalau mau, Bapak ada kucing bunting. Sepertinya sudah akan melahirkan, saya repot kalau kucing itu melahirkan anaknya. Anak saya, Bella, sudah diterima kerja di luar kota. Di rumah tidak ada yang bisa merawat kucing.”
”Beneran, nih, Pak Ndut? Saya mau daripada saya harus cari kucing kampung di tempat sampah dan di pasar, sulit sekali.
”Bawa saja, silahkan. Justru saya berterima kasih jika ada yang mau merawatnya.”
Setelah itu, saya dengan penuh kegembiraan membawa kucing bunting tersebut, berjalan agak terburu-buru, dan menaruhnya di kamar. Setidaknya menyembunyikannya dari Icha dan menyusun siasat menunggu beberapa hari lagi. Mencari saat yang tepat untuk mengarang surat dan mengaku bahwa kucing itu adalah si Whitney. Pasangan Si Bleki yang pulang. Tuhan saya sungguh berterima kasih. Kebetulan kucing pemberian Pak Ndut juga berambut putih, cocok dengan Si Whitney.
Saat Icha pulang, saya selalu menutup pintu kamar supaya ia tidak tahu keberadaan Whitney. Kucing aneh yang tidak mengeluarkan suara mengeong sama sekali. Sepertinya kucing ini mempunyai masalah di bagian tenggorokannya. Mungkin bawaan dari lahir.
”Kak, saya cium bau tahi kucing, Si Bleki di sini, ya?” Icha sudah mulai curiga menjelang besok surat Si Bleki datang.
”Tidak, perasaan kamu aja. Tidak. Aku tidak mencium bau apa pun. Kamu ya? Belum cebok?”
”Icha, ayo cepat, sini, Ibu tunggu kamu di depan TV, jangan sampai telat berangkat sekolah.” Ibu memanggilnya.
”Baik, Bu.”
Beruntung kecurigaan Icha berhenti sampai sana, hampir ia membuka pintu kamarku. Saya segera membuang tahi kucing, menggantinya dengan pasir yang baru. Saya menulis kembali, untuk terakhir kali sebagai si Bleki.
”Icha, maafkan aku. Kucing yang paling kamu sayang Si Bleki. Perjalanan pulangku sangat sulit, ini sudah sampai batasku, kematianku sudah di depan mata. Ikan-ikan besar mengepungku bersama Whitney. Kami berlayar pulang, tetapi badai menghancurkan kami, Icha. Tolong, jaga Whitney dan anak-anakku, serta ucapan terimakasihku pada burung pipit.”
Lalu saya menaruh si Whitney itu di dalam besek yang dasarnya saya lapisi kain dan meletakkannya di dalam kamar Icha, sambil menunggu ia pulang.
***
Achmad Al Hafidz, lahir 14 Oktober 1999. Bermukim di Pati. Bukunya yang telah terbit Manusia Lampu Kota. Karyanya dimuat dibeberapa media cetak dan digital.