Pertemuan dengan Bapak
Setelah Bapak wafat, kami sering bertemu dalam mimpi-mimpi yang aneh. Aku bisa melihat Bapak berjalan di tengah kebun albasiah yang sangat luas.
Bapakku adalah lelaki tabah yang terus memelihara kesepian di dalam dirinya selama bertahun-tahun, hingga maut memapahnya ke surga. Kesepian itu kerap mengamuk seperti ombak pasang yang berulah di lautan dan bisa meruntuhkan lelaki tua itu kapan saja.
Tapi Bapak bukan istana pasir yang mudah dilebur ombak, Ia adalah batu kokoh yang membiarkan tubuhnya dihantam pasang kesepian tanpa pernah ambruk. Alih-alih membiarkan amukan sepi membuat hidup Bapak lepas kendali dan putus asa, ia memilih untuk menyapih dan berkarib dengan kesepian itu.
Bapak sangat percaya, kesetiaan kepada janji pernikahan, akan mengantar jiwanya ke surga. Barangkali, hanya surga yang ia harapkan sebagai upah atas jerih payah meredam rindu dan patah hati juga menyapih sepi.
”Kesetiaan pada Tuhan akan membawa ruhmu ke surga. Kesetiaan mematuhi janji Tuhan dalam pernikahan pun sama, akan membawamu ke sana. Melanggar janji pernikahan adalah kemenangan Iblis, sebab ia telah berhasil membuat teman di neraka.”
Nasihat Bapak itu, terpatri di kepalaku.
***
Setelah Bapak wafat, kami sering bertemu dalam mimpi-mimpi yang aneh. Aku bisa melihat Bapak berjalan di tengah kebun albasiah yang sangat luas. Sempat aku bertanya-tanya, apakah kebun albasiah yang luas tempat aku dan Bapak bertemu adalah surga? Tetapi, semakin sering mimpi itu datang padaku, semakin aku tidak peduli apakah tempat itu surga atau bukan. Bisa melihat Bapak saja, aku sudah sangat bahagia.
Dalam mimpi itu, tubuh Bapak disinari cahaya kuning yang indah. Ada juga potongan-potongan sinar-sinar kecil beterbangan di atas rambut Bapak. Apabila aku perhatikan lebih saksama, mirip kepakan sayap puluhan peri-peri mungil yang mengitari kepalanya, bergerak melingkar-lingkar hingga atas, membentuk topi yang sering digunakan pemain tarian sufi.
Dalam mimpi yang lain, Bapak tengah khusyuk melihat gerimis yang jatuh seperti pecahan kristal bening menimpa rumput-rumput hijau. Pernah juga aku lihat Bapak tengah memainkan suling sambil menunggu langit padam di sore hari, sambil menyanyikan lagu-lagu Popi Mercuri.
Tidak sampai tiga meter jarak di antara tempat aku berdiri dan tempat Bapak memandangiku. Andai saja mampu, aku ingin merengkuhnya dan merasai kembali hangat degup jantung Bapak. Tapi udara seperti menjadi pembatas yang sangat keras. Aku tidak bisa menggerakkan kakiku barang selangkah, udara itu mengikat tubuhku dengan kuat.
Di setiap pertemuan kami, aku juga bisa merasakan cuaca aneh dan lembab bercampur harum parfum malaikat shubuh yang sering Bapak pakai. Apabila kuhirup dalam-dalam, wangi itu mampu masuk ke seluruh tubuh, membuatku seperti bisa menarik ruh Bapak ke dalam ruhku.
”Aku tidak membenci Ibumu, aku mencintainya dan dia akan bahagia. Kematianku akan menghilangkan rasa bersalahnya.” Begitulah perkataan Bapak, setiap kali kami bertemu.
”Cintailah Ibumu dengan tulus. Menemaniku telah membuatnya menderita. Jangan engkau ulang penderitannya.”
”Aku tidak membenci Ibu. Tapi untuk mencintainya seperti dulu lagi, aku tidak akan mampu,” jawabku
***
Hubunganku dengan Ibu, memang belum membaik semenjak ia memutuskan untuk bercerai dari Bapak. Bahkan kini, aku tidak mau menghubungi Ibu via Whatsapp, karena enggan melihat foto Ibu dengan suami barunya. Lelaki kurang ajar yang telah membuat Ayahku berkarib dengan sepi dan patah hati. Sesekali waktu di akhir pekan, aku memang masih mengunjungi Ibu, sekadar menunaikan janjiku kepada Bapak sebelum ia meninggal.
**
Bapak, lelaki berusia enam puluh tahun yang harus bertabah hati menerima kenyataan bahwa Istrinya tidak ingin bersama-sama lagi. Ibuku pada suatu malam mengajak Bapak berbicara di teras rumah dan meminta diceraikan sebab sudah tidak ada lagi cinta.
Bapak menerima permintaan perempuan yang dicintainya dengan tenang, tanpa pertengkaran. Keesokan harinya, aku menemukan Bapak di kamar sendirian mengemas barang-barang. Sementara Ibu telah pergi entah ke mana.
”Nabila, Bapak akan pulang ke Menes. Tinggal di rumah Almarhum Kakekmu. Kalau Nabila punya waktu jenguk Bapak, ya.”
Tidak ada rona sedih di wajah Bapak, ia merapikam baju sambil bersiul lagu Nike Ardila. Sementara aku sekuat tenaga menahan tangis disebabkan luka dan rasa benci pada Ibu.
”Nabila akan ambil cuti, antar Bapak.”
Aku menawarkan diri. Barangkali sepanjang jalan ke Menes, aku bisa menghibur Bapak dengan saling bercerita.
”Bapak ingin pergi sendiri. Biarkan bapak sendirian,” Bapak menjawab dengan mantap.
”Nabila tidak usah pikirkan urusan Bapak dan Ibu, semuanya akan baik-baik saja. Kami sudah berpisah, satu-satunya yang akan Bapak ingat dari pernikahan ini hanyalah kebahagiaan.”
Bapak membuka tangannya, meminta aku. Lalu kuterima pelukan Bapak dengan hangat.
”Hiduplah dengan bahagia, dengan bahagia saja, jangan pikirkan Bapak atau yang lain-lain. Berbahagia saja.”
Aku tidak menjawab, selain dengan tangisan.
Dua bulan setelah perceraian, aku dikabari kerabat di Kampung bahwa Bapak masuk rumah sakit sebab jatuh di jalan sepulang sholat Subuh. Orang-orang membawanya ke puskesmas, namun di tengah Jalan napas Bapak sudah habis.
Aku masih merasakan duka yang luar biasa atas kehilangan Bapak, saat Ibu meminta restu untuk menikah dengan kekasih masa remajanya. Jelas tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengizinkan Ibu menikah kembali. Hanya saja aku meminta supaya Ibu dan suami barunya tidak usah tinggal di rumah kami dan ia menyanggupi.
***
Sekarang, aku kembali bermimpi bertemu Bapak. Hanya saja, mimpi ini terlihat lebih nyata sebab Bapak bisa mengelus rambutku. Aku pun bisa memegang tangan Bapak yang hangat dan merasakan suasana yang sangat damai.
Ajaib, udara tidak mengikat tubuhku lagi, aku bisa menggerakkan kaki dan mengibaskan kedua tanganku ke kanan dan ke kiri untuk memastikan ini bukan mimpi.
Aku lupa bagaimana bisa aku berada di sini bersama Bapak. Lalu aku mencoba mengingat kembali, apa yang sudah aku lakukan hingga aku bisa bertemu dengan Bapak.
Maka, pelan-pelan aku mengingat apa yang sudah kulalui.
Tadi pagi Ibu menelepon, ia mengatakan dirinya sakit dan memintaku untuk datang menjenguk. Aku ambil cuti dan pergi ke rumah Ibu tanpa terlebih dulu memastikan suami barunya ada atau tidak di rumah.
Sesampainya di sana, Ibu mengajakku makan nasi uduk di dapur. Ia terlihat sehat dan bugar, lipstiknya berwarna merah cerah, wangi parfumnya tercium dengan segar.
Ibu tidak sakit. Ia berbohong.
”Kalau Ibu tidak bohong, mana mau kamu datang,” begitu jawaban Ibu, ketika aku tanya mengapa ia membohongiku.
”Ada yang mau Ibu bilang dan kamu seharusnya udah tahu. Nabil, sebetulnya...Bapak itu bukan bapakmu.”
Lalu aku mendengar cerita Ibu yang hamil oleh kekasihnya saat kuliah. Lelaki itu kabur setelah mengetahui Ibu hamil. Lalu Bapak, sahabat baik Ibuku datang mengulurkan tangan sebagai malaikat penyelamat. Ia rela menikahi perempuan yang tengah hamil tiga bulan.
”Bapakmu orang baik dan sangat mencintai Ibu. Tapi Ibu tidak pernah mencintai Bapakmu. Ibu menghormati beliau, tapi di sisa hidupku aku ingin merasakan cinta yang sesungguhnya.”
”Nabil, sekarang bertemulah dengan Ayahmu yang sebenarnya.”
Aku melihat seorang lelaki seumur Bapakku turun dari tangga rumah. Lelaki yang aku temukan matanya adalah mataku dan dagunya adalah juga dagu milikku. Inilah jawaban mengapa tidak sedikit pun aku mirip dengan Bapak. Dadaku sesak, tenggorokanku panas. Laki-laki itu menatapku dan aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk menghantam tubuhnya.
Dengan gemetar aku bangun, segenap kekuatan aku siapkan, mulutku sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata mulai menggenang dan kurasakan tanganku sangat dingin. Laki-laki itu maju pelan-pelan untuk merengkuhku, jantungku semakin berlari.
Kuambil dengan cepat pisau yang tersimpan di meja dan kutikamkan berkali-kali di tubuhnya.
Setelah itu, aku tidak merasakan apa-apa lagi. Selain mendengar jeritan Ibu dan merasakan sesuatu yang dingin di perutku.
”Kau memang setan!”
Itulah salamku yang pertama pada lelaki itu, sebelum semuanya menjadi gelap dan aneh.
Aku mengingat semuanya dan merasa bahagia sebab pisau itu telah mengantarku pada Bapak, pada surga orang-orang yang setia.
Dien Wijayatiningrum, lahir di Pandeglang, Banten, 31 Desember 1989. Alumnus Kajian Wilayah Jepang Universitas Indonesia. Saat ini bekerja di Mynavi Corporation Japan.