Soto Mi Tanpa Mi
Kawan, sini kuberi tahu betapa absurdnya nasibku. Aku selingkuh. Dan selingkuhanku baru saja mengatakan kalau dia selingkuh, sebentar kukoreksi, dia punya selingkuhan lain.
Sore sudah hampir hilang. Seorang pelayan mendatangiku. Dengan cepat langsung kujawab: dua mangkuk soto mi tanpa mi dan segelas es jeruk. Mungkin dia heran dengan konsep soto mi tanpa mi atau dengan dua mangkuk untuk seorang perempuan mungil sepertiku.
Dua mangkuk soto mi itu untuk kumakan sendiri. Sebab aku tidak ingin orang lain tahu aku sedang bersedih. Nanti akan kukucurkan dua iris jeruk limau dan lima sendok sambal, mungkin lebih, ke situ. Memikirkannya saja sudah mengalirkan rasa hangat di dadaku.
Bagiku soto mi tanpa mi adalah simbol kenyamanan ketika kata-kata tidak memadai. Kadang aku bertanya-tanya apa cerita di belakang eksistensi soto mi di muka Bumi ini. Siapa pun yang pertama kali menciptakannya pastilah orang yang ceria dan ramah. Ada dekapan tulus seorang sahabat dalam semangkuk soto mi.
Warung soto mi ini langgananku. Terletak di tengah terminal angkutan dan bus yang tak pernah sepi dari sopir-sopir dengan wajah berkilat oleh keringat, penumpang yang bergegas menuju rindu, dan pedagang kaki lima yang menawarkan dagangannya. Menunya hanya soto mi, tetapi tidak pernah sepi pengunjung. Seperti biasa aku duduk di kursi paling kanan bagian tengah, dekat kipas angin. Soto mi di sini memang legendaris, menggunakan risol superjumbo yang krispi memenuhi isi mangkuk. Semangkuk soto mi berkuah kaldu sapi yang bening gurih berpadu dengan irisan daging empuknya beraroma harum dan disajikan dengan irisan tomat, kol, emping, dan mi tentu saja.
Sebenarnya aku tidak ada masalah dengan mi. Aku suka mi rebus, mi Aceh, mi ayam, bakmi pangsit, mi ramen, mi goreng, dan semua olahan mi. Tapi mi di dalam soto mi rasanya tidak pas, tidak membuatku bahagia.
***
Di situlah bintang itu, terselip di bening matanya, dinaungi alis yang tebal. Bintang itu hilang ketika dia tersenyum, apalagi tertawa, yang membuatnya begitu menggemaskan. Bintang itu tak pernah bisa lama kupandang karena gugup dan malu menguasaiku. Sinarnya teduh menenangkan, kadang tajam melumpuhkan. Tapi siang tadi, saat aku menemuinya di Café Gwenchana, sinarnya terdispersi menjadi puluhan warna kusam yang membuatku tersesat. Aku kehilangan arah.
”Maafkan aku,” katanya setelah hening yang cukup lama.
Kutata emosiku dengan sabar, sebab rasa sakitnya tebal-tebal. Pikiranku seketika terasa kosong dan pandanganku seperti mosaik. Di depan kami duduk seorang ibu dan anak perempuannya yang lucu asyik bermain boneka. Entah kenapa boneka itu sepertinya menatapku, menilaiku, menghakimiku.
Kawan, sini kuberi tahu betapa absurdnya nasibku. Aku selingkuh. Dan selingkuhanku baru saja mengatakan kalau dia selingkuh, sebentar kukoreksi, dia punya selingkuhan lain. Hmmm. Aku bisa dengar cicak mendecak di belakangku, tertawa, seperti yang kamu lakukan, kan?
Apa sekarang kamu paham kenapa aku tidak mau ada orang melihatku menangis? Tentu saja ini bukan cerita yang bisa menarik empati. Aku cukup waras untuk tahu tidak akan ada yang memeluk dan menghiburku dengan cerita ini. Masih bagus kalau aku tidak dilempar gelas. Mamp*s, sukurin, rasain, kualat!
Padahal, serius, aku tidak bohong, rasa sakitnya berlipat kali kuadrat. Hatiku tidak dibuat untuk merasakan ini. Aku tidak sedang mencoba memosisikan diri sebagai korban, pun tidak berharap ada yang mengerti. Bagian terberat adalah aku tidak bisa menumpahkan kesedihan ini pada siapa pun. Duhai. Ini sulit sekali.
Selingkuh itu tidak ada yang benar. Aku tahu itu. Maka selingkuh itu harus kamu tutup rapat sendiri. Bahagianya kamu simpan, kecewanya kamu telan. Seorang yang jago selingkuh mestilah punya bakat akting yang mumpuni. Kurasa aku bisa mempertimbangkan ikut casting aktris setelah melewati ini.
”Tolong, jangan tinggalin aku...,” suaranya bergetar.
Air mata mulai membayangi mata bintangnya. Aku menyayanginya sama besar dengan sayangku pada kekasihku. Aku tahu dia juga sudah punya kekasih yang sangat dia sayang. Aku dan dia punya banyak cerita dan pola pikir yang akhirnya kami mirip-miripkan. Lalu kami sepakat untuk saling mengisi hati-hati kami yang kesepian. Pelan-pelan aku percaya bahwa semua terjadi atas rencana semesta.
Hening kembali menyelimuti kami. Kutatap lelaki di hadapanku. Dia menunduk. Selama aku mengenalnya, baru sekali ini aku memenangkan lomba saling tatap. Dia tahu betul aku akan meninggalkannya. Bahkan kalau aku bisa memaafkannya, aku tetap akan meninggalkannya. Sungguh, kebohongan paling kejam sering kali diceritakan dalam diam.
***
Aku menarik napas panjang, mencoba mengisi rongga dadaku dengan lebih banyak udara. Sore semakin larut, terminal bertambah sibuk lalu-lalang penumpang selesai dari bermacam aktivitas, dan keadaan warung soto mi kian penuh. Sudah dua puluh menit pesananku belum juga datang. Kulihat pelayan sibuk mondar-mandir membawakan hidangan. Setiap aku berada di warung ini, aku merasa seperti sedang menonton sebuah film dengan berbagai karakter dan ekspresi aktornya. Tiga orang karyawati muda masuk sambil tertawa terpingkal-pingkal. Mereka langsung mengambil tempat di meja panjang paling luar, tempat di mana sepasang suami istri sudah selesai menghabiskan soto minya, tapi sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Di ujung belakang seorang perempuan jangkung berkacamata duduk gelisah, matanya sesekali melirik ke luar. Di sampingnya duduk dua anak muda, kutebak mereka mahasiswa, terlihat semangat, namun lelah.
Di luar, malam sudah lengkap. Cahaya lampu jalanan, sorot lampu bus, atau angkot silih berganti membias di udara. Aku merasa terlindungi, tenggelam di tengah keramaian. Seorang pengamen masuk dan mulai memetik gitar. Saat itulah, di kursi paling kiri bagian belakang, aku melihat dua orang lelaki yang asyik mengobrol saling menatap lembut. Sesekali tangan mereka menggenggam mesra. Yang satu beralis tebal bermata bintang dan yang satu lagi, walau hanya dari punggungnya saja, kuyakini adalah kekasihku. Aku mematung memberikan waktu untuk otakku mencerna. Pelayan datang membawakan pesananku. Satu gelas es jeruk dan dua mangkok soto mi. Dengan mi di dalamnya. Air mataku mengalir deras tanpa bisa kucegah. Saat kau pikir kau mampu, dunia akan melukaimu.
Sena Widya, peneliti yang senang sastra dan menulis, lahir di Jakarta pada April 1979, kini menetap di Tangerang Selatan.
Luky Supriadi, Aktif sebagai seniman yang tinggal di Bandung. Lulus dari Seni Grafis FSRD ITB pada tahun 2006. Pernah pameran tahun 2023 (sedang berlangsung) pameran duet ”Preliminaries”, Orbital Dago Bandung, pameran duet 2023 ”It’s always 12 o’clock in Wonderland”, Kunasi Coffee Bandung. Pameran bersama 2009 ”Unlimited Portraits” di Plaza Indonesia, Jakarta. Pameran bersama 2007 ”Artist Preview” di Cemara 6 Galeri, Jakarta. Tahun 2007 ”SEVEN” Galeri Soemardja, Bandung. Tahun 2006 ”Merekamereka” Galeri Redpoint, Bandung. Tahun 2005 ”Human + Space” Galeri Soemardja, Bandung. Tahun 2005 ”Thursday, Collaboration Edgar Heap of Bird: Native American Artist” di Galeri Soemardja, Bandung.