Marti & Sandra (Bagian 15-Selesai)
Di tumpukan teratas, tampak dengan jelas tulisan Sandra: Ibuku seorang pelacur ….
18. Rumah
Sandra tidur di ranjang ibunya sambil memeluk boneka. Terdengar pintu depan dibuka, diiringi bunyi tawa cekakak-cekikik. Bunyi-bunyi yang juga memperdengarkan kaki-kaki melangkah sempoyongan, dua pasang kaki, apalagi kalau bukan karena mabuk.
Marti mencopot sepatu dengan menendangkannya. Tubuh mereka menabrak-nabrak apa saja.
”Tahu begini, dari dulu kita tidak usah ke hotel ya? Buang-buang duit. Buat aku saja duit hotelnya. Hihihihihi!”
”Enak juga rumahmu. Iya ya, kenapa dulu kita tidak langsung ke sini?”
”Aku kan belum tahu kamu.”
”Jadi begitu caranya? Kalau belum kenal ke hotel, kalau sudah akrab ke rumah.”
”Tapi tetap bayar. Hahahaha!”
“Hahahaha! Hmm. Cantik sekali sih kamu Marti!”
“Mulut bau minuman begitu, nggak sahih …”
“Seperti kamu tidak minum saja.”
”Tentu saja aku minum. Mana ada perempuan malam tidak minum. Margarita tiga gelas. Tequila dua gelas. Aduh. Rasanya melayang-layang.”
”Melayanglah kamu ke mari. Melayanglah kamu ke mari. Kutangkap kamu nanti.”
”Terbang. Huuuu!”
”Terbang! Sini. Sini. Sini!”
Marti menyanyi.
”Bawa aku melayang, oh melayang, jauh …”
”Nah! Kutangkap kamu!”
Sandra menggeliat, tapi matanya tetap merem. Terdengar suara-suara orang berciuman yang seru.
Marti dan lelaki itu masuk, masih berangkulan, dan busana mereka sudah kusut masai.
Saling memagut, saling melepas kancing serta ritsluiting, keduanya tak sadar Sandra di sana, sampai keduanya rebah ke ranjang.
Sandra masih tetap merem.
Sekarang Marti melihatnya.
”Sandra kupindah dulu,” katanya berbisik.
Dengan kesal lelaki itu merenggangkan diri.
”Cepetan,” katanya berbisik juga.
Marti turun dari ranjang, mengangkat Sandra. Marti yang tèlèr merasa tubuh Sandra berat sekali.
Marti menaruhnya di lantai, terus didorongnya masuk ke kolong, sebelum naik lagi.
Di kolong ranjang, Sandra mendengar semuanya. Matanya terbuka dan meneteskan air mata.
”Mama, Mama …” ucapnya tanpa suara.
Baca juga: Marti & Sandra (Bagian 14)
19. Karangan
Murid-murid di kelas itu sudah tinggal separuh. Ibu Guru Tati berada di depan meja guru. Ia menengok jam dinding maupun jam tangannya.
”Waktu habis, kumpulkan semua ke depan.”
Seluruh isi kelas bangkit. Kecuali Sandra.
Ia menuliskan sesuatu di kertasnya, lantas ikut bangkit.
Ibu Guru Tati melihat murid-muridnya mengalir ke depan meja, sampai agak berjubel.
Kertas-kertas karangan bertumpuk. Sandra bergegas menyelip di antara murid-murid, dan menyelipkan kertasnya di tengah.
***
Di rumahnya, sambil bersandar dan meluruskan kaki di sofa, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Dari televisi terdengar pendapat seorang pejabat yang memuji-muji hasil pekerjaannya sendiri. Namun suara itu terdengar lamat-lamat saja.
Sudah separuh dari tumpukan itu diperiksanya. Di meja yang terletak di depannya, terdapat pekerjaan yang sudah selesai diperiksa. Di sebelahnya, di sofa itu, terdapat pekerjaan yang belum diperiksa.
Telepon berdering. Ibu Guru Tati berdiri dan mengangkatnya sambil membuka kacamata. Tampak betapa ia memang masih muda.
“Hai! Aduh, aku tidak bisa keluar malam ini. Iya, biasa, pekerjaan anak-anak. Haruslah diperiksa, mereka membuatnya sungguh-sungguh kok. Isinya? Aduh, kayaknya mereka itu memang mengalami masa kanak-kanak yang indah ya? Mereka itu anak-anak yang berbahagia kok. Iya. Iya. Namanya juga anak-anak, kalau tidak bahagia, apa jadinya?”
Ibu Guru Tati memang belum sempat membaca karangan Sandra yang berjudul Ibu. Di tumpukan teratas, tampak dengan jelas tulisan Sandra:
Ibuku seorang pelacur …
20. Jakarta, 28 November 2024
Langit mendung dan udara berangin, ketika Sandra meletakkan setangkai mawar merah di pusara itu. Tertulis pada nisannya:
SUMARTI
28 November 1961, Jakarta
15 Maret 2022, Jakarta
Berlutut dengan baju rapi, ia tampak khusyuk berdoa. Segala kenangan berkelebat seperti gambar-hidup yang tidak terlalu urut. Kadang jelas, kadang kabur, kadang memberikan kepadanya suatu perasaan yang seperti menusuk ulu hati. Namun selebihnya ia merasa bersyukur, sembari mengusap mata yang membasah.
Di luar pagar pekuburan, sebuah mobil sedan hitam yang panjang menunggu, ketika ia melangkah dengan cepat meninggalkan pusara ibunya.
Sopir membukakan pintu, sambil menyerahkan telepon-genggam.
“Dari Bapak Presiden, katanya penting.”
“Kapan tidak penting?” kata Sandra sambil menerimanya.
Hujan mulai turun, saat mobil sudah berjalan pelan, melewati anak-anak yang mengulurkan tangan. Sopir membagi-bagi uang dan Sandra mendengarkan yang berbicara di telepon.
“Sebentar, sebentar,” ia menyela, dan berkata kepada sopir, “kita langsung ke Istana ya.”
“Baik, Bu Menteri.”
Baca juga: Mata Kamera Seno Gumira
Dari cerita pendek “Pelajaran Mengarang”, 1991;
skenario "Ibuku Seorang Pelacur", 1997;
disunting menjadi prosa, Maret 2022.