Marti & Sandra (Bagian 14)
Sandra memandang kertas putihnya dengan tajam. Ia melirik Ibu Guru Tati yang masih berjalan kian kemari. Sandra masih memperhatikan kertas putihnya. Ia tampak berpikir keras.
17. Martabak
Saat membuka pintu pagar, Marti sudah tampak mabuk. Jalannya sempoyongan. Sepatu tingginya ditèntèng.
Susah sekali Marti membuka pintu rumah, meskipun tidak pernah dikunci. Begitu masuk Marti ambruk ke kursi. Di kursi itu ia membungkuk dan muntah.
Marti merangkak-rangkak berusaha menuju ke kamar mandi, tapi tidak kuat bangun lagi.
Sandra memegang bahu ibunya.
”Mama! Mama! Mama sakit?”
Marti hanya mengerang.
***
Marti tampak tidur di sofa. Kepalanya berbantal dan Sandra menutupi tubuhnya dengan kain. Marti masih berpakaian lengkap, dan wajahnya kucel meski berias.
Sandra lantas mengepel lantai, membersihkan muntahan itu. Susah payah diperasnya kain pel tebal dengan tangannya yang kecil.
Setelah semuanya selesai, Sandra duduk di kursi memandang ibunya tidur, sampai dirinya sendiri tertidur.
Mendadak telepon rumah berbunyi.
Sandra maupun Marti terbangun, tapi Marti tampak payah. Sandra mengambilkan gagang telepon tanpa kabel itu.
”Hallo. Ya? Iya, pager kumatikan. Payah. Kebanyakan minum barangkali. Apa? Di hotel itu lagi? Kamar berapa? Aduh. Tapi rasanya aku tèlèr sekali. Iya. Mesti aku? Susah. Iya. Susah. Jam berapa ini? Minta perempuan kayak minta martabak. Bilang saja aku baru mèns. Yah, begitu saja. Iyaaa, besok aku datang. Bye!”
Marti tampak begitu payah, sehingga langsung tertidur lagi. Gagang telepon itu terjatuh di karpet.
Sandra mengambilnya, tapi ternyata Marti masih bangun.
”Tidak usah dikembalikan. Taruh saja.”
”Sandra meletakkannya di meja dekat
sofa.
”Tidurlah Sandra.”
Sandra kembali ke kursi.
”Sandra mau tidur di sini saja.”
Marti tersenyum melihat anaknya.
”Bonekanya nggak dibawa?”
Sandra menggeleng, naik kursi.
”Pakai kain Sandra, sudah mulai ada nyamuk.”
Sandra baru mau turun ketika terdengar dering telepon lagi. Marti meraihnya, menjawab dengan berat, seolah untuk setiap kata perlu perjuangan keras.
”Yah. Apa orang nggak boleh istirahat? Apa? Dia lagi? Apa katanya? Biar gua lagi dapet dia juga mau? Brèngsèk itu orang. Bilang aja dia gila!”
Marti meletakkannya dengan kesal. Matanya memandang langit-langit.
”Émangnyé martabak …,” katanya kepada diri sendiri.
Sandra menatap Marti, dengan pandangan yang sulit dibaca apa maknanya.
Baca juga: Marti & Sandra (Bagian 13)
***
Sandra tertegun di dalam kelas. Seorang murid sudah selesai dan menyerahkan kertasnya. Langsung pergi keluar kelas.
Kemudian menyusul beberapa murid yang sudah selesai menyerahkan kertasnya dan juga keluar kelas.
Ada yang semenjak dari dalam kelas sudah berlari.
Di luar kelas murid-murid berlari dan melompat. Beberapa di antaranya langsung main kejar-kejaran.
Ibu Guru Tati merapikan kertas-kertas yang sudah ditumpuk. Ia menoleh ke arah bangku-bangku yang sebagian sudah kosong.
Terlihat Sandra menoleh ke sana kemari.
Murid-murid lain yang belum keluar, mengerjakan tulisannya dengan tekun.
Ibu Guru Tati yang kembali menyusuri bangku-bangku, kadang mencuri-baca dengan cepat apa saja yang ditulis tangan kecil murid-muridnya di kertas putih bergaris itu.
Kami bersukaria berkumpul bersama keluarga.
Tiada yang lebih menyenangkan selain pergi memancing bersama.
Ibu main piano, ayah main gitar, aku memukul tambur.
Waktu berpisah, aku tidak sedih, karena tahu akan ke sana lagi.
Bermain, bermain, dan bermain. Itulah yang selalu kuinginkan.
Nenek baiiiiiik sekali kepadaku …
Sandra memandang kertas putihnya dengan tajam. Ia melirik Ibu Guru Tati yang masih berjalan kian kemari.
Sandra masih memperhatikan kertas putihnya. Ia tampak berpikir keras.
Baca juga: Mata Kamera Seno Gumira