Marti & Sandra (Bagian 6)
Tulisan seharusnya memberi jalan keluar, bukan jalan buntu. Menulis itu seharusnya menjadi cara untuk bebas.
7. Mama Kerja, Bukan Liburan
Ibu Guru Tati masuk ke ruang kelas dari luar. Ia melangkah sangat pelan. Bunyi sepatunya terdengar jelas di kelas yang hening.
Dari bangku ke bangku disaksikannya perjuangan murid-murid mengingat, menggali, dan membongkar segenap pengalaman hidup, kemudian menuliskannya. Tulisan yang banyak peraturannya. Tulisan yang ada benar salahnya. Apakah segenap pengalaman murid-muridnya yang masih singkat bisa dituliskan dengan cara seperti itu?
Pengalaman singkat, artinya hidup yang masih murni dan jujur, belum teracuni kuasa peradaban yang penuh beban. Ibu Guru Tati menghela nafas sambil terus melangkah dari kursi ke kursi. Tulisan seharusnya memberi jalan keluar, bukan jalan buntu. Kalau untuk bisa menulis itu kebanyakan syarat, siapakah kiranya yang merasa akan perlu menulis apapun? Menulis itu seharusnya menjadi cara untuk bebas.
Namun Ibu Guru Tati melihat murid-muridnya menulis dengan lancar. Jiwa mereka bebas, pikirnya. Sampai ia tiba di depan meja Sandra.
“Masih kosong juga, Sandra?”
Sandra mendongak, melihat tangan Ibu Guru Tati yang saling menggenggam satu sama lain. Melihat wajah Sandra yang tanpa ekspresi, wajah Ibu Guru Tati yang semula tegas melembut. Tangannya mengucel-ucel rambut Sandra sambil berlalu.
“Kamu tidak perlu mengarang. Tulis saja yang kamu alami, Sandra.”
Wajah Sandra yang kosong itu tertegun.
Baca juga: Marti & Sandra (Bagian 5)
***
Mami, perempuan paruh baya dengan dandanan dan rias mencolok, tersenyum dan membungkuk ke arah Sandra.
“Sandra ikut Tante ya?”
Sandra menoleh kepada Marti, yang sudah berdandan sexy sekali, sedang berkaca mengancingkan ritsluiting rok mininya, sebelum akhirnya berjalan ke jajaran sepatu, memilih-milih dan akhirnya mengambil yang berwarna merah.
Sandra mengerdipkan mata.
“Mama perginya lama?”
“Yah, dua-tiga hari. Kamu ikut Tante ya? Jangan nakal.”
“Tapi Mama ke mana?”
“Mama sudah bilang jangan tanya apa-apa kan? Okelah, yang satu ini Mama jawab, Mama ke Bali. Jangan tanya-tanya lagi.”
“Ikuuuttt …”
Marti menjadi tegang.
“Mama ini kerja! Bukan liburan! Kamu sama Tante karena tidak ada orang di rumah.”
“Mama selalu pergi.”
“Mama selalu kerja! Itu soalnya!”
“Sandra mau di rumah.”
“Di rumah tidak ada orang. Mau makan apa kamu nanti?”
“Makan bakso.”
“Makan bakso tiga kali sehari? Kamu anak kecil …”
Marti seperti mau melempar sepatu kepada Sandra, yang mengangkat tangan seperti akan menangkis lemparan sepatu merah itu. Wajahnya ketakutan.
“Cukup Marti!”
Mami menggamit tangan Sandra, sementara Marti membenahi rambutnya dan menggerundal.
“Anak setan!”
Mami membungkuk ke arah Sandra.
“Sandra, ikut Tante ya?”
Sandra tidak menanggapi, tapi ia tidak menolak ketika Mami menggandengnya masuk kamar, mengambil tas dari atas lemari.
Ia meletakkan tas itu di atas tempat tidur, lantas membuka lemari. Pakaian Sandra tidak tertata rapi. Seperti ditaruh saja setelah dicuci, tanpa diseterika.
“Bajunya yang mana Marti?”
“Yang mana sajalah, yang penting seragam sekolahnya jangan sampai lupa.”
Mami mengambil setumpuk baju, melesakkannya ke dalam tas.
“Masa’ baju tidak ada yang diseterika,” Mami menggerundal. Lantas berteriak.
“Tidak ada yang menyeterika seragam sekolah ini ya Marti!”
Bunyi sepatu Marti terdengar jelas mondar-mandir.
“Boro-boro seterika. Dikasih makan juga sudah lumayan. Coba kalau kutaruh saja di rumah yatim piatu, apa jadinya?”
“Marti!”
Kali ini Mami marah. Ia bangkit ke arah Marti yang masih sibuk ini-itu menjelang pergi, sambil berteriak setengah berbisik.
“Apa kamu sudah gila, Marti? Bicara begitu di depan Sandra. Aku juga bukan perempuan baik-baik, tapi perempuan macam apapun setidaknya mesti punya otak, kalau tidak mau punya perasaan.”
Marti memegang kepalanya, mondar-mandir dengan kesal.
“Aduh. Aku bisa telat nih.”
“Cari apa?”
“Pil,” kata Marti sambil lalu.
“Sudahlah. Di sana kan ada.”
“Suka nggak cocok.”
“Hotel internasional bintang lima. Masa’ pil KB begitu saja nggak ada.”
“Ya, sudahlah. Aku harus berangkat sekarang.”
Marti mendekati Sandra, berjongkok.
“Sandra. Maafkan Mama tadi bentakin Sandra ya? Kamu tahu kan Mama sayang sama Sandra?”
Sandra manggut-manggut. Marti bergegas membawa kopor kecil beroda.
“Pergi dulu ya Mami, taksinya sudah menunggu dari tadi di depan gang.”
Tetangga-tetangga memperhatikan dan saling memandang—yang perempuan memandang Marti dari atas ke bawah.
Marti keluar rumah. Setengah berlari sepanjang gang. Tetangga-tetangga memperhatikan dan saling memandang—yang perempuan memandang Marti dari atas ke bawah.
Di ujung gang tampak taksi menanti.
“Ke mana Non?”
“Bukannya saya pesan ke bandara?”
“Oh, iya!”
Memang mau menggoda rupanya.
Di ujung gang, para pemuda bergitar menyanyikan Kisah Seorang Pramuria.