Marti & Sandra (Bagian 5)
Marti yang menyetir tidak menjawab. Dari balik kacamata hitamnya menetes air mata. Tak didengarnya suara jalanan. Hanya tangis Sandra.
6 Laki-laki Lamborghini
Mobil Marti menabrak mobil di depannya. Di dalam mobil Marti memaki-maki.
”Kucing peot! Ini gara-gara kamu nanya-nanya soal bapak!”
Marti keluar mobil. Ia tampak semampai dan sexy.
Dari Lamborghini yang ditabrak, keluar seorang laki-laki bertampang makmur, dan ia tampak terganggu.
Marti membuka kacamata hitamnya dan mendadak ramah sekali, dengan senyum dan gaya penuh pesona mendekati bemper mobil yang saling beradu itu.
”Aduh Pak! Maaf, ya? Saya tidak sengaja. Mohon maaf. Apa harus saya ganti kerusakannya?”
Laki-laki itu tampak terpesona, tapi berusaha tidak memperlihatkannya.
”Ya, sebaiknya Anda mengganti, tapi saya harus pergi sekarang. Ini kartu nama saya. Datanglah ke kantor. Ada kartu nama?”
Ia menunduk dan menahan senyum untuk dirinya sendiri. Sebentar. Waktu mengangkat wajahnya ia tahu belaka, betapa seseorang akan mencarinya dengan segera.
Marti tahu kalau diperhatikan. Ia menunduk dan menahan senyum untuk dirinya sendiri. Sebentar. Waktu mengangkat wajahnya ia tahu belaka, betapa seseorang akan mencarinya dengan segera.
”Ada. Ada.”
Marti berjingkat ke mobil. Dengan setengah badan di dalam mobil ia menumpahkan isi tasnya ke jok, menjadi berantakan sampai ke bawah.
”Mana kartu namaku anak setan? Mana, mana, mana. Aduh, mana?”
Tangan Sandra menyodorkan kartu nama.
”Nih!”
Marti terlongong, dan terharu. Diusapnya kepala Sandra.
”Oh, aduh, di situ ya? Terima kasih sayang.”
Marti menutup pintu mobil dan melangkah cepat dengan langkah peragawati, dalam tatapan kagum yang disembunyikan lelaki itu.
”Terima kasih. Ini nomer pager?”
Marti tersenyum malu.
”Yah, belum punya telepon-mobil.”
Lelaki itu mengacungkan kartu nama Marti.
”Datang ya?”
Marti memandang penuh arti.
”Pasti. Akan saya ganti ongkosnya,” katanya sambil memandang ke dua bèmper yang lengket, ”tapi mobil Bapak cuma lecet, mobil saya yang penyok.”
Laki-laki itu tersenyum dan masuk mobil. Itulah beda mobil mahal dan mobil murah, pikirnya-dan sekarang ia merasa bisa membeli perempuan itu.
”Datang ya,” katanya lagi, ”atau aku mendatangimu.”
Marti tercenung, ia pun ternyata terpesona, dan tersentak mendengar klakson seribu mobil membahana.
***
Marti sudah di belakang setir. Sandra cuèk saja. Mobil jalan. Marti mengenakan kembali kacamata hitamnya.
”Iiiiihh! Ini semua gara-gara kamu!”
”Mama yang nabrak, Sandra yang salah.”
”Tanya-tanya siapa bapaknya segala! Brèngsèk!”
Sandra tiba-tiba menangis.
”Semua orang punya Papa! Kenapa Sandra tidak?”
Marti yang menyetir tidak menjawab. Dari balik kacamata hitamnya menetes air mata. Tak didengarnya suara jalanan. Hanya tangis Sandra.
Baca juga: Marti & Sandra (Bagian 4)
***
Cahaya memantul dari kacamata hitamnya itu. Marti yang berbaju renang berjemur di tepi kolam. Di sebelahnya juga berjemur lelaki Lamborghini.
Marti tiba-tiba beranjak.
”Mau ke mana?”
”Menjemput Sandra.”
”Biar sopir yang menjemput.”
”Kenapa harus sopir?”
”Kenapa harus kamu?”
”Kamu terlalu memanjakan dia selama ini. Aku tidak mau dia menganggap kamu bapaknya. Apalagi kamu juga tidak kepengin jadi begitu, ya kan?”
”Jadi apa?”
”Bapaknya.”
Lelaki itu mengenakan kembali kacamata hitam yang semula dilepas.
”Kita sudah membicarakan hal itu.”
Marti pergi dan menggerundal.
”Laki-laki memang selalu begitu. Mereka mau semuanya, tapi begitu diminta bertanggung jawab, diem dèh!”
”Marti! Sopir saja!”
Marti hanya mengibaskan tangan tanpa menoleh, berbalut handuk ia menghilang ke balik pintu geser berdinding kaca.