”Begawan,” sapa Dewi Sokawati memecahkan diam, ”mungkin sudah suratan, baru sekarang terbuka mata hatimu, bahwa yang jelek itu belum tentu nafsu. Malah sebaliknya, sekarang terbukti nafsu itu adalah yang baik. Tapi apa gunanya membedakan yang baik dan yang jelek? Sejak mereka berdua ada dalam kandunganku, aku telah menerima keduanya sebagai anakku.”
Dewi Sokawati terdiam sebentar, mengingat kembali apa yang dikatakannya di masa silam. ”Membuang yang jelek sama saja dengan membuang yang baik, Begawan. Dan pada kehidupan kedua anakmu itu menjadi nyata, justru yang baik membutuhkan yang jelek, agar yang baik dapat diruwat dan disucikan oleh yang jelek. Karena ketampanannya sebagai manusia, Sumantri tergoda untuk merasa dirinya sempurna, padahal justru kesempurnaannya itu membuat dia lengah, hingga tak merasa kegelapan nafsu telah merambatinya, diam-diam mencekik dan menjerumuskannya. Sementara karena buruk rupanya sebagai raksasa, Sukrosono terjauh dari goda untuk merasa sempurna, hingga kesucian sempat menguatkannya, sampai kegelapan nafsu kakaknya pun ikut diruwat dan dibersihkannya. Tidakkah Sukrosono yang menolong Sumantri, sampai Sumantri boleh tiba di tempat ini, Begawan?”
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Bersama dengan kata-kata Dewi Sokawati ini, alam Mega Malang berguncang. Tampak cahaya-cahaya turun gemerlapan serupa pedang-pedang yang menebas segala bayang-bayang. Lenyaplah sekarang segala khayalan, bahwa yang baik lebih baik daripada yang jelek, dan bahwa yang baik tak membutuhkan yang jelek dalam mencapai kesucian. Sejenak Dewi Sokawati tampak bagaikan seorang bidadari turun dari kahyangan yang meletakkan buah dadanya di atas nampan.
”Sumantri, waktu aku dulu menyusuimu, aku merasa seperti ada ular di dadaku. Ular itu seakan hendak menelanku dengan penuh nafsu. Sementara, hanya sebentar aku boleh menyusui adikmu, sebelum aku meletakkannya di tepi hutan itu, dan aku merasa di buah dadaku tertidur dengan tenang seorang anak manusia. Kuamati dia malam itu, sungguh dia bukan seorang raksasa,” kata Dewi Sokawati.
”Ibu, ular itu adalah aku. Dan ular itu terus menjadi nafsu seumur hidupku,” kata Sumantri. Ia pun merasakan kembali, bagaimana ular itu terus hidup dalam kesia-siaan kekesatriaannya, dan dalam asmaranya yang tak terkendali akan Dewi Citrawati. Dan tentu saja dalam rasa malunya untuk mengakui dan menerima adiknya, Sukrosono, yang seorang raksasa.
”Ular itu berasal dari aku, Sumantri,” sela Begawan Swandagni. ”Akulah yang membentukmu dalam kandungan ibumu, sampai kau dilahirkan sebagai satria yang tampan itu. Ular itu ternyata menipu aku. Aku mengira, kau adalah anak kesucian, karena ketampananmu. Sedangkan adikmu adalah anak nafsu karena buruk rupanya itu, sampai aku tega membuangnya. Di tempat penantian ini barulah jelas bagiku, justru ke dalam dirimulah menyusup ular nafsu itu. Sedangkan, dalam diri adikmu hidup dan mengalirlah kesucian itu. Betapa aku telah tertipu oleh nafsuku, anakku.”
Dewi Sokawati merasakan bagaimana Begawan Swandagni mengenali kembali nafsunya dalam diri Sumantri. Lalu ia menyapa, ”Begawan, tidakkah dulu aku sudah mengingatkan, tanpa nafsumu, tak mungkin aku melahirkan anakmu. Maka jangan kau menyalahkan nafsumu. Yang harus kausalahkan, mengapa kau membedakan nafsu dan kesucian. Begitu kau membedakannya, nafsu mencari jalannya sendiri, dan diam-diam menyusup ke dalam diri Sumantri. Nafsu lalu membalik dan menipu pandanganmu, membuat kau mengira, hanya Sumantrilah yang suci. Pembedaan yang kau buat membuat kesucian tersingkir, lalu berdiam dalam diri Sukrosono, yang kau anggap sebagai buah dari nafsu. Namun dalam diri Sukrosono, kesucian tak mungkin menjauhi nafsu, kesucian bahkan berbadan nafsu. Kesucian menjadi tak kentara, yang kentara adalah badan nafsu, dalam wujud Sukrosono yang buruk rupa itu. Karena tak menjauhi nafsu, Sukrosono bisa selalu menyayangi Sumantri, yang hidup dari nafsu.”
Sebentar Dewi Sokawati terdiam. Ditatapnya kedua anaknya dalam-dalam. Dan ia melanjutkan, ”Kesucian dan nafsu tak bisa dipisahkan, Begawan. Itulah sebabnya, sepanjang hidupnya Sumantri selalu membutuhkan Sukrosono. Memang perjalanan mereka adalah perjalanan nafsu dan kesucian yang ingin kembali menjadi tak terpisahkan. Apa yang ingin mereka tuju sesungguhnya sudah ada sejak mereka dalam kandunganku. Maka perjalanan mereka bukanlah menuju sesuatu yang mereka cari, tapi perjalanan yang berbalik untuk kembali ke asal mula yang sudah mereka punya. Mega Malang ini adalah tempat mereka dipertemukan kembali dalam kelahirannya, Begawan.”
Kesucian dan nafsu tak bisa dipisahkan. Itulah sebabnya, sepanjang hidupnya Sumantri selalu membutuhkan Sukrosono.
Mendengar kata-kata ibunya di alam sesudah mati ini, baik Sumantri maupun Sukrosono merasa seperti dilahirkan kembali. Mereka pun berpelukan, seperti tak mau dilepaskan. Mereka seperti terbawa ke dalam perut ibunya kembali. Saat itulah mereka mengalami menyatunya kelahiran dan kematian. Mereka merasa lahir itu ternyata hanya untuk mati, dan mati adalah lahir kembali. Hiduplah yang memisahkan keduanya, ketika hidup tak menjadi cinta. Dan ketika di Mega Malang ini cinta mempersatukan mereka, tersadarlah mereka, lahir dan mati itu sesungguhnya tak pernah terpisah.
Melihat betapa mesra mereka berpelukan, Dewi Sokawati merasa mereka adalah bayi kembar yang dulu berdiam dengan damai dalam kandungannya. Dewi Sokawati terbawa kembali ke dalam kebahagiaan ketika ia mengandung anaknya. Mendadak kegelapan menjadi atap di Mega Malang. Bintang-bintang datang meminjam malam, agar bisa bertaburan dengan terang. Dewi Sokawati berseri-seri senang, dengan gembira ia memungut bintang-bintang seperti memungut buah pisang. Tak lama kemudian Mega Malang pun berpendar-pendar, seperti malam di Taranggana Sekar.
”Sokawati, di tempat inilah aku menemukan pisang emas yang kaurindukan ketika anakmu sedang dalam kandungan,” kata Begawan Swandagni terkejut. Peristiwa ia memperoleh pisang emas itu tiba-tiba datang kembali di tempat penantian ini.
”Benar Begawan, Mega Malang ini adalah Taranggana Sekar. Tak heran di tempat ini kedua anak kita, Sumantri dan Sukrosono, erat berpelukan tak mau lagi dipisahkan, seperti pisang emas yang buah dan kulitnya tak boleh dipisahkan,” kata Dewi Sokawati.
Bintang-bintang makin terang bertaburan. Dan bulan datang, tak mau ketinggalan. Di kejauhan masa lalu, hidup terasa sebagai siang yang melelahkan. Sekarang datanglah malam, yang mengambil segala beban dan memberikan istirahat yang tenteram. Sambil berpelukan, Sumantri dan Sukrosono diajak kembali pulang ke kandungan ibunya, tempat di mana mereka berdua tak mungkin dipisahkan.