Sebelum bedah Maespati, ada kisah yang tersembunyi. Kisah ini sebenarnya hanya bisa dituturkan oleh mereka yang sudah mati. Tak mungkinlah itu terjadi, karena yang mati sudah tiada di dunia ini. Namun karena yang mati selalu rindu akan yang hidup, maka yang mati kadang menyembul keluar, dan mau menuturkan ceritanya. Dan kadang-kadang itulah yang terjadi ketika Dewi Sokawati dulu mengunjungi anaknya, Sukrosono di hutan Jatirasa yang sepi, atau ketika Sukrosono muncul di Mega Malang dan mengatakan tentang rindunya akan Sumantri. Jadi kematian itu tampaknya bisa berkisah, malah kisah mereka yang mati kiranya boleh menjadi penutup bagi kisah yang telah mereka jalani selama hidup. Dan inilah sepenggal kisah yang sempat dituturkan oleh kematian mereka sebelum sampai ke perhentian terakhirnya.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra
Setelah mati di tangan kakaknya sendiri, Sumantri, yang sedang bercinta dengan Dewi Citrawati di Taman Sriwedari, Sukrosono berhenti di Mega Malang. Mega Malang adalah alam pangrantunan. Di sana, alam adalah sunya, kosong. Memang alam ini adalah sunyajati, di mana hanya kekosongan yang menjadi isi. Dan kekosongan itu melayang bagaikan mega ringan malang melintang. Kadang mega-mega sunya itu membentuk lembah serupa garba, sehingga memberi kesan kekosongan itu adalah rahim, dari mana segalanya lahir.
Di alam pangrantunan ini waktu tersedia hanya untuk menanti. Waktu tiada panjang atau pendek. Di sana panjang atau pendek sama saja lamanya, karena waktu itu hanya terisi oleh menanti. Bahkan disebabkan oleh menanti, waktu yang pendek pun terasa lama dan panjang sekali. Di tempat inilah Sukrosono menanti Sumantri. Tidak hanya Sukrosono, ayah dan ibunya, Begawan Swandagni dan Dewi Sokawati pun menanti Sumantri. Seharusnya mereka menjadi satu dalam penantian. Tapi di alam pangrantunan itu, mereka justru dipisahkan oleh penantian. Sukrosono merasa ayah dan ibunya ada di alam yang sama. Tapi jangankan berbicara, mendekat ke mereka pun ia tak bisa. Demikian pula ayah ibunya, mereka tak bisa memeluk Sukrosono, walau Sukrosono di dekat mereka. Memang bukan lagi menanti jika mereka sudah bisa berjumpa. Dan penantian membuat mereka tak bisa saling menyapa, betapapun saling dekat mereka berada.
Maka menanti menjadi saat di mana mereka harus membersihkan diri, sampai mereka benar-benar jujur dan tulus dengan apa yang membuat mereka menanti, yakni cinta mereka akan siapa yang dinanti. Jadi, alam pangrantunan itu adalah sunya yang menuntut mereka membersihkan diri, hingga menjadi suci akan cinta. Mereka diminta untuk melewatkan waktu dengan menyucikan diri, sampai cinta mereka benar-benar murni. Bila cinta mereka telah murni, itulah saat mereka akan dipertemukan dengan Sumantri, yang mereka nanti. Tapi kapan saat itu tiba, mereka tak dapat menentukannya. Kematian Sumantri sendirilah yang akan menentukan datangnya saat itu. Maka di alam pangrantunan itu mereka masih harus menderita susah justru karena cinta. Mereka merasa, cinta yang murni pun tak dapat membuat mereka berjumpa dengan Sumantri, bila kematian belum menghendakinya. Untuk itu semuanya, mereka harus sabar menanti.
Betapapun berat, penantian itu harus mereka buat. Di sinilah mereka mengalami, menanti ternyata lebih berat daripada berbuat. Dalam berbuat, mereka bisa melakukan apa yang mereka inginkan. Sedang dalam menanti, mereka hanya tinggal diam, menjadi sunya, menyerah sampai kematian mempertemukan mereka dengan siapa yang mereka cintai. Perlahan-lahan mereka tahu, sunya sungguh bukan kekosongan belaka. Sunya adalah penantian akan cinta. Tak heran, mereka sering merasa, sunya adalah kesunyian yang bersuara. Suaranya seperti siter yang menangis, dan tak mungkinlah menghentikannya. Kadang suaranya seperti angin, yang bertiup tanpa ada wujudnya. Suara-suara itulah yang menemani Sukrosono dalam kesepiannya di Mega Malang, selama masa penantiannya.
Akhirnya, penantian itu selesai sudah ketika kematian menjemput Sumantri di medan laga muara Bengawan Gangga. Lewat taring Rahwana, Sukrosono mengantarkan kematiannya dengan gigitan cinta di lehernya. Mengiringi gugurnya Sumantri, terlihat peristiwa indah. Hujan bunga turun menaburi medan laga. Dan sepasang cahaya membubung tinggi, naik ke angkasa. Sepasang cahaya itu adalah Sukrosono dan Sumantri yang pulang ke dalam keabadiannya.
Berdua mereka tiba di Mega Malang. Begitu mereka menyentuh awan, kesunyian pun pecah menjadi nyanyian. Tiada lagi sunyi, ketika selesai masa menanti. Kebisuan dipatahkan, apa yang tadinya kelu dan diam, sekarang saling bersahut-sahutan. Perpisahan disatukan, apa yang tadinya jauh sekarang didekatkan.
”Sukrosono, akhirnya kau dan aku bertemu kembali di sini,” kata Sumantri. Dipandangnya adiknya dengan penuh kasih.
”Ya, kakakku, kita boleh bertemu lagi setelah kita mati,” balas Sukrosono. Makin eratlah ia memeluk kakaknya, seakan tak ingin melepaskannya lagi.
”Maafkanlah aku, adikku. Andaikan aku tak menolak cintamu dalam hidupku, tak perlu kau menunggu sampai mati hingga kita boleh bertemu kembali.” Sumantri pun mengusap air matanya.
”Kakakku, apa pun yang telah kauperbuat padaku, aku selalu mencintaimu. Cintaku padamu tak pernah mati, walau aku sudah mati. Itulah sebabnya demikian lama rasanya aku menunggumu di tempat penantian ini. Aku berterima kasih pada kematian, karena kematian membuat kita takkan berpisah lagi,” kata Sukrosono menghibur kakaknya.
Ketika maut membinasakannya lewat taring Rahwana, ia justru merasa dijemput oleh cinta. Ternyata cinta itu adalah cinta adiknya yang dengan sabar menantinya di alam penantian.
”Sukrosono, betapa mulia hatimu. Tanpa cintamu yang merindukanku, tak mungkin aku boleh sampai di tempat penantian ini.” Sumantri terharu. Terkenang kembali olehnya peristiwa kematiannya. Waktu itu ia sama sekali tak takut akan maut. Dan ketika maut membinasakannya lewat taring Rahwana, ia justru merasa dijemput oleh cinta. Ternyata cinta itu adalah cinta adiknya yang dengan sabar menantinya di alam penantian ini.
Begawan Swandagni menangis haru mendengar percakapan kedua anaknya itu. Ia pun tak dapat menahan diri untuk berkata, ”Sukrosono, maafkan aku juga, Nak. Aku telah membuangmu, karena kau kuanggap lahir dari nafsu, setelah aku melihat buruk rupamu.”
”Ayah, bukan Sukrosono tapi akulah yang pantas kau sebut lahir dari nafsu,” ratap Sumantri sambil memeluk kaki ayahnya. Alam penantian itu diliputi rasa keharuan. Awan membuka bagaikan kelopak bunga mawar. Semuanya terpejam. Kata-kata pun bersahut-sahutan dalam diam. Di sana nafsu terasa telah padam.