Prabu Arjunasasrabahu terdiam. Kata-kata Resi Ramabargawa dirasakannya sebagai pisau yang membedah dan menguliti dirinya. Semua keberhasilan itu bukan oleh keringatnya, tetapi berkat jasa Sumantri.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
”Siapakah kau hai resi, sampai tak ada ujung pangkal kau tiba-tiba menantang aku untuk berkelahi?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.
”Aku adalah pendeta yang terluka. Ibuku berselingkuh dengan satria. Ayahku tak dapat mengampuninya. Demi kejujuran yang aku sumpahkan, aku membunuh ibuku. Aku menyesal mengapa aku mempunyai ibu yang tidak setia, dan ayah yang tak dapat mengampuni. Lebih menyesal lagi, mengapa aku mempunyai hati yang tega untuk membunuh ibuku sendiri. Aku lalu menjadi pendeta yang tak berumah. Aku mengelilingi jagat ini untuk menjalankan sumpahku sendiri,” singkat Resi Ramabargawa tentang riwayat hidupnya.
”Apakah sumpahmu itu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu lagi.
”Aku bersumpah, setiap satria adalah musuhku. Demi sumpah itu, aku mengelilingi jagat, dan membunuh setiap satria yang kujumpai, bila ia tidak bisa membunuh aku. Kau adalah raja satria. Sekarang inilah giliranmu untuk melawan aku,” jawab Ramabargawa sambil mengelus-elus kapak parasunya.
”Sumpahmu salah, hai resi. Kau membunuh banyak satria tak bersalah, hanya untuk melampiaskan dendammu saja,” tukas Prabu Arjunasasrabahu.
”Di dunia ini mana ada yang tidak salah, hai Raja. Kau pun bersalah. Bukan karena jasa dan perbuatanmu, kau bisa berkuasa di takhta yang mulia dan megah. Para punggawa dan bawahanmulah yang bekerja untuk menjunjung kemuliaanmu. Kau berbangga, seakan semua kemuliaan itu kau sendiri yang memperolehnya. Kau membanggakan kemuliaan dan kekuasaanmu yang palsu, hai Raja. Itulah salahmu,” balas Resi Ramabargawa dengan galaknya.
Seorang raja harus memerintah, dan menjalankan kekuasaan demi kesejahteraan, kecukupan, dan kejayaan rakyatnya, bukan malah suka menyepi dalam semadi, seperti kau lakukan itu.
Prabu Arjunasasrabahu terdiam. Kata-kata Resi Ramabargawa dirasakannya sebagai pisau yang membedah dan menguliti dirinya. Siapa yang mengalahkan raja raksasa, Prabu Darmawasesa dari kerajaan Widarba? Darimana ia memperoleh permaisuri Dewi Citrawati? Darimana ia bisa memperoleh Taman Sriwedari? Itu semua bukan karena perbuatan kepahlawanannya. Sumantrilah yang melakukannya. Sumantri pun akhirnya gugur demi kekuasaannya. Dan masih sekian banyak lagi punggawa dan raja-raja yang binasa demi membela dirinya. Di manakah jasanya? Benar Resi Ramabargawa, ia salah karena membanggakan kemuliaannya, seolah dia sendiri yang mengusahakannya, sementara demi itu semuanya para punggawanya mati tanpa meninggalkan nama.
”Masih ada salahmu yang lebih besar, hai Raja. Kau lewatkan hari-harimu dengan banyak bersemadi. Kau mengira itu adalah perbuatan yang suci. Tapi kewajiban seorang raja bukanlah bersemadi. Seorang raja harus memerintah, dan menjalankan kekuasaan demi kesejahteraan, kecukupan, dan kejayaan rakyatnya, bukan malah suka menyepi dalam semadi, seperti kau lakukan itu. Semadi memang bisa membuat orang suci. Tapi kesucian semadi itu bisa menjadi persembunyian bagi seseorang untuk tidak menjalankan kewajibannya. Kau adalah satria, yang seharusnya bertapa di atas pedang, bukan dalam kesunyian pegunungan. Aku adalah pendeta yang seharusnya bertapa dalam kesunyian. Tapi aku pergi menjelajah jagat untuk menjalankan sumpah yang katamu keliru. Tapi tanyakan pada dirimu, hai Raja, apakah dirimu juga tidak keliru seperti aku?” tutur Resi Ramabargawa lagi.
Kembali Prabu Arjunasasrabahu tak bisa membantah. Ia termenung dalam. Benar memang kata-kata Ramaparasu itu. Ia suka tenggelam dalam semadi. Semadinya memberinya kenyamanan batin yang dalam. Namun ia mengakui, sering kenyamanan itu tak berhubungan sekali dengan kewajiban yang harus ia jalankan bagi rakyatnya. Untuk membuat rakyat mulia dan sejahtera, memang bukan dengan jalan bertapa atau semadi, tapi dengan jalan mengabdi dan memberikan diri. Juga seandainya, pengabdian dan pemberian diri itu tak memberinya kenyamanan dan ketenangan, seperti yang diperolehnya dengan bersemadi. Semadi sering menjadi tempat pelariannya, agar ia dikira sebagai raja yang suci dan jernih, walau ia tidak sepenuhnya bekerja dan memberikan diri bagi rakyatnya.
Dan tidakkah semadinya adalah sebab bagi segala malapetaka yang menimpa Maespati? Ia mau menyenangkan Dewi Citrawati dan putri-putri istana Maespati ke bengawan Gangga. Ia membendung bengawan Gangga dengan semadinya sebagai raksasa sebesar gunung yang tidur melintang, sehingga terbentuk telaga Bengawan Gangga. Akhirnya, bendungan telaga ini pula yang menewaskan Dewi Citrawati dan putri-putri Maespati semuanya, ketika ia bangun mengangkat dirinya, setelah dari bisikan Patih Suroto ia mendengar Sumantri mati. Kalau semadinya memberikan kejernihan, mengapa ia tidak dapat menahan diri untuk cepat-cepat pergi, begitu ia mendengar Sumantri mati. Rasa sayangnya akan Sumantri ternyata melekat dan mengikat dirinya, membuat dia tidak bisa bebas dan berpikir jernih. Bahkan semadinya yang suci tak mampu membebaskannya dari ikatan itu. Dan tidakkah semadinya ini membuat air bengawan Gangga meluap sampai jauh, hingga menggenangi bukit Nusa Manik, di mana Rahwana dan para prajuritnya berada. Rahwana mengamuk, dan terjadilah perang besar-besaran itu. Tidakkah ini semua gara-gara semadinya pula? Ia mengira semadi itu suci, ternyata semadinya telah menggelincirkannya, sampai Maespati ditimpa malapetaka. Ia merasa bersalah. Benar kata Ramaparasu, tak ada yang tidak salah di dunia ini, bahkan dia yang tadinya berniat suci dengan menjalankan semadi pun, akhirnya bersalah juga.
”Benar semua kata-katamu, hai Pendeta. Aku berterimakasih, kau telah mengingatkan akan kesalahanku. Namun perkenankan aku bertanya, mengapa kau terus membunuh para satria, bila kau tahu itu sebenarnya adalah salah? Tidakkah ada jalan bagi kita yang bersalah untuk memperbaiki diri dari kesalahan kita?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.
”Tak ada jalan itu, hai Raja, kecuali kematian sendiri! Maka janganlah kau keliru sangka, aku semata-mata hanya bersumpah hendak membunuh para satria. Tidak, hai Raja, aku berharap, ada satria yang akhirnya bisa membunuh aku, dan jika itu terjadi, selesailah sudah sumpahku. Maka asal kau mengerti, perjalananku mengelilingi jagat ini bukan semata-mata untuk membunuh satria, tapi untuk nggoleki dalane pati, mencari jalan bagi kematianku sendiri. Aku sudah capai dengan perjalanan ini, aku ingin mengakhirnya, siapa tahu kaulah orang yang bisa menyudahinya, hai Raja,” kata Resi Ramabargawa.