logo Kompas.id
SastraAnak Bajang Mengayun Bulan...
Iklan

Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 148)

Meski manusia telah merusak dan menghancurkannya, alam tidak pernah menyerah untuk memberi dan memberi lagi. Alam tahu, dalam semesta ini kebaikan selalu berdampingan dengan keangkaramurkaan.

Oleh
Sindhunata
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/MHMjhDcIukc7IZW54EDt3NE-hTA=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F21%2F2f32ab78-a95e-4a86-8fc7-6a6ff0b20391_jpg.jpg

Prabu Arjunasasrabahu mendekat ke Rahwana. Jika mau, dengan mudah ia segera bisa menghabisi Rahwana. Tapi ia ingin Rahwana jangan mati dengan terlalu mudah. Maka ia memerintahkan prajuritnya untuk mendatangkan kereta perangnya. Lalu mengikatkan Rahwana pada ekor kereta perang itu. Ia mengendarai sendiri kereta perang itu, dan memacu kudanya, pulang ke Maespati. Para prajurit Alengka berantakan membubarkan diri. Mereka telah kalah perang, dan sekarang melihat rajanya dinistakan sebagai pesakitan. Sementara sisa-sisa prajurit Maespati memekikkan sorak kemenangan, sambil girang menyaksikan Rahwana yang meringkuk tak berdaya sebagai tawanan perang. Kereta melaju cepat, dan Rahwana terseret seperti barang. Raja raksasa itu menjerit-jerit kesakitan. Bila kuda kereta melompati batu-batuan, Rahwana pun ikut terangkat dan terbentur pada batu-batu itu. Bila kuda kereta menyeberangi sungai, Rahwana pun ikut terpental-pental mengekor di belakang kereta perang. Ia terus menjerit mengaduh-aduh. Memang karena terseret kereta perang, badannya terluka mengalirkan darah karena menggeleser di tanah dan membentur batu-batuan. Sakitnya mengenaskan, melebihi sakit terluka oleh senjata dalam peperangan. Sebab sakitnya bukan hanya terasa di badan, tapi juga di hati yang dilucuti dari harga diri dan kebanggaan.

Rahwana kemudian diikat pada pohon beringin di alun-alun kerajaan Maespati. Orang-orang datang berduyun-duyun ingin melihatnya. Ia lalu menjadi bahan ejekan dan cemoohan. Perempuan-perempuan yang suaminya tewas di medan laga melampiaskan kejengkelannya dengan melontarkan kata-kata kasar di hadapannya. Mereka tak bisa menahan diri untuk mengasarinya. Dan mereka pun meludahinya. Anak-anak pun ikut-ikutan, mengeluarkan lidahnya, dan memicingkan matanya, mengejek Rahwana. Malah ada yang pura-pura takut lalu mencemooh, raksasa ini adalah setan kamanungsan, setan yang ketahuan. Para lelaki apalagi, jika tidak dilarang, mereka pasti sudah menghajar Rahwana habis-habisan. Raja Alengka ini dianggap sebagai sumber malapetaka, yang menewaskan demikian banyak prajurit Maespati. Maespati yang megah hampir saja hancur karena perbuatannya. Maka mereka menganggap, lebih daripada hukuman ini pun Rahwana pantas menerimanya.

Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000