Prabu Arjunasasrabahu mendekat ke Rahwana. Jika mau, dengan mudah ia segera bisa menghabisi Rahwana. Tapi ia ingin Rahwana jangan mati dengan terlalu mudah. Maka ia memerintahkan prajuritnya untuk mendatangkan kereta perangnya. Lalu mengikatkan Rahwana pada ekor kereta perang itu. Ia mengendarai sendiri kereta perang itu, dan memacu kudanya, pulang ke Maespati. Para prajurit Alengka berantakan membubarkan diri. Mereka telah kalah perang, dan sekarang melihat rajanya dinistakan sebagai pesakitan. Sementara sisa-sisa prajurit Maespati memekikkan sorak kemenangan, sambil girang menyaksikan Rahwana yang meringkuk tak berdaya sebagai tawanan perang. Kereta melaju cepat, dan Rahwana terseret seperti barang. Raja raksasa itu menjerit-jerit kesakitan. Bila kuda kereta melompati batu-batuan, Rahwana pun ikut terangkat dan terbentur pada batu-batu itu. Bila kuda kereta menyeberangi sungai, Rahwana pun ikut terpental-pental mengekor di belakang kereta perang. Ia terus menjerit mengaduh-aduh. Memang karena terseret kereta perang, badannya terluka mengalirkan darah karena menggeleser di tanah dan membentur batu-batuan. Sakitnya mengenaskan, melebihi sakit terluka oleh senjata dalam peperangan. Sebab sakitnya bukan hanya terasa di badan, tapi juga di hati yang dilucuti dari harga diri dan kebanggaan.
Rahwana kemudian diikat pada pohon beringin di alun-alun kerajaan Maespati. Orang-orang datang berduyun-duyun ingin melihatnya. Ia lalu menjadi bahan ejekan dan cemoohan. Perempuan-perempuan yang suaminya tewas di medan laga melampiaskan kejengkelannya dengan melontarkan kata-kata kasar di hadapannya. Mereka tak bisa menahan diri untuk mengasarinya. Dan mereka pun meludahinya. Anak-anak pun ikut-ikutan, mengeluarkan lidahnya, dan memicingkan matanya, mengejek Rahwana. Malah ada yang pura-pura takut lalu mencemooh, raksasa ini adalah setan kamanungsan, setan yang ketahuan. Para lelaki apalagi, jika tidak dilarang, mereka pasti sudah menghajar Rahwana habis-habisan. Raja Alengka ini dianggap sebagai sumber malapetaka, yang menewaskan demikian banyak prajurit Maespati. Maespati yang megah hampir saja hancur karena perbuatannya. Maka mereka menganggap, lebih daripada hukuman ini pun Rahwana pantas menerimanya.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 145)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 146)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 147)
”Aduh Dewa, daripada menderita seperti ini, biarkanlah aku mati,” Rahwana mengerang putusasa. Ia benar-benar merasa ternista, sudah hilang sama sekali martabatnya. Patih Prahasta, Paman Rahwana, melihat dari jauh peristiwa itu. Ia tidak tega melihat penderitaan dan penghinaan yang diderita keponakannya. Patih tua yang tulus hati itu lalu memberanikan diri menghadap Prabu Maespati.
”Paduka, ampunilah Rahwana. Sudah berkali-kali hamba mengingatkannya, agar jangan berbuat angkara murka. Mungkin, belum waktunya ia sadar akan perbuatannya. Berilah dia waktu untuk memperbaikinya. Biarlah dia dihukum, namun jangan dengan cara yang demikian nista,” Patih Prahasta bersujud memohon, sambil mencucurkan airmatanya. Prabu Arjunasasrabahu hanya berdiam mendengar permohonan itu. Patih Prahasta pun mengundurkan diri dengan hati sedih. Ia meninggalkan Maespati, pergi jauh ke gunung Girimukti, menghadap Begawan Pulastya di pertapaannya yang sunyi.
Aku hanya yakin, jika memang belum waktunya ia mati, ia pasti akan bisa terbebas, entah bagaimana jalannya.
Begawan Pulastya adalah eyang buyut dari Rahwana. Sudah lama ia meninggalkan segala kemegahan duniawi, lalu menyepi di Girimukti. Ia dikenal sebagai pertapa yang suci, dan dianggap sudah berada di ambang kesempurnaan menyerupai para dewa di alamnya yang Ilahi. Di hadapan Begawan Pulastya, Patih Prahasta menceritakan segala ihwal Rahwana sampai ia menjadi pesakitan di Maespati.
”Begawan, berkenanlah menolong Rahwana, buyut Paduka, yang sekarang sedang sengsara,” pinta Patih Prahasta.
”Aku sudah sering mendengar kisah buyutku yang durhaka, Prahasta. Aku tak menjamin, apakah aku bisa menolongnya. Nasib tergantung pada belas kasih Prabu Arjunasasrabahu. Aku hanya yakin, jika memang belum waktunya ia mati, ia pasti akan bisa terbebas, entah bagaimana jalannya. Aku akan memohonkan belas kasih bagi buyutku, dan menjalankannya sebagai jalan kependetaanku,” kata Begawan Pulastya. Diiringi Patih Prahasta, pergilah Begawan Pulastya ke Maespati.
Prabu Arjunasasrabahu menerima Begawan Pulastya dengan rasa hormat yang tinggi. Bertemu dengannya, Raja Maespati ini merasakan pancaran kekuatan yang suci.
”Paduka Raja mulia, perkenankan aku memohon belas kasih Paduka bagi buyutku, Rahwana,” Begawan Pulastya mengutarakan maksud kedatangannya.
”Begawan, pantaskah belas kasih diberikan pada buyutmu, Rahwana?” tanya Raja Maespati.
”Aku tahu, Rahwana adalah raksasa durhaka dan angkara murka. Tapi mestikah belas kasih kalah dengan kedurhakaan dan keangkaramurkaan? Siapa tahu, belas kasih itu akan membuat ia berubah?”
Prabu Arjunasasrabahu terdiam. Dia adalah titisan Batara Wisnu, yang mengawasi alam semesta. Alam ini ada, karena ia terus memberikan belas kasihnya. Meski manusia telah merusak dan menghancurkannya, alam tidak pernah menyerah untuk memberi dan memberi lagi. Alam tahu, dalam semesta ini kebaikan selalu berdampingan dengan keangkaramurkaan. Tapi alam tak membedakannya, ia selalu memberi bagi kedua-keduanya. Alam tak pernah menyerah, hanya karena di dunia ini ada manusia yang murka. Mungkinkah Rahwana sengaja dihadapkan padanya, agar ia dapat menunjukkan belas kasih alam yang jauh lebih besar daripada keangkaramurkaannya? Dengan belas kasihnya, alam selalu memberi kesempatan untuk berubah bagi manusia yang durhaka. Kalau tidak, alam bisa menghancurkan manusia tanpa menunggu lama. Apa artinya ia menjadi titisan Wisnu, jika ia tidak rela untuk memberi kesempatan bagi yang paling jahat seperti Rahwana pun untuk berubah?
”Paduka Raja, berilah kesempatan hidup bagi buyutku yang durhaka ini. Biarlah ia menjadi pemelihara anjing, penggembala kambing, perawat kuda, atau kusir Paduka, asal ia boleh hidup dan merasakan belas kasih Paduka,” pinta Begawan Pulastya lagi.