Begitu ia melihat Sumantri, dia adalah Dewi Citrawati. Dan begitu ia melihat telaga Sunyalaya, ia adalah Dewi Sri.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Senja menjelang tiba, ketika Dewi Citrawati dan Sumantri sampai di ujung Taman Sriwedari, di mana terbentang telaga yang amat indah. Melihat telaga itu, Dewi Citrawati termenung lama. Ia telah melihat telaga itu berulang kali, namun baru ketika bersama Sumantri kali ini, ia merasa benar-benar mengenal telaga itu. Ia termenung lama, tampak mengingat-ingat apa yang dilupakannya. Sementara telaga itu seakan berbicara kepadanya, dan mengingatkan apa yang terlupa olehnya. Ya, sekarang teringatlah ia, telaga itu adalah telaga Sunyalaya. Begitu nama telaga Sunyalaya jatuh ke ingatannya, ia tersentak. Ia merasa telaga itu bukanlah telaga Taman Sriwedari, yang ada di Maespati, tapi telaga Sunyalaya yang ada di Taman Sriwedari di Gunung Nguntara. Taman Sriwedari itu adalah taman dewata, di mana dia hidup sebagai bidadari Dewi Sri.
Telaga Sunyalaya itu membuatnya benar-benar sadar, bahwa dirinya adalah Dewi Sri. Ia sendiri bahkan tak bisa membedakan lagi, apakah ia Dewi Sri atau Dewi Citrawati. Jika ia bisa membedakannya, itu hanyalah karena Sumantri yang ada di dekatnya. Begitu ia melihat Sumantri, dia adalah Dewi Citrawati. Dan begitu ia melihat telaga Sunyalaya, ia adalah Dewi Sri. Inilah saatnya ia mengerti, apakah sesungguhnya arti seorang wanita yang menjadi titisan Dewi Sri. Ia tak tahu lagi siapa dirinya, kecuali harus menerima, bahwa ia adalah keduanya, Dewi Citrawati sekaligus Dewi Sri. Keduanya sama-sama indah. Dewi Sri membawanya kembali ke kahyangan dewa, ketika ia menikmati hidupnya sebagai bidadari di Taman Sriwedari di Gunung Nguntara. Di sana ia hidup dalam keabadian yang tak mengenal waktu, terjauh dari segala beban dan duka yang ada di dunia. Namun sebagai Dewi Citrawati, hidupnya juga terasa nikmat dan indah, ketika hasrat tubuhnya boleh memuaskan diri bersama Sumantri, yang kini ada bersamanya.
Tertimpa matahari yang mulai memerah, telaga Sunyalaya tampak sangat indah. Airnya jernih dan tenang. Di sana terdengar suara merdu, karena ke telaga itu air sungai perlahan-lahan jatuh. Di sekelilingnya, pohon pidada dan rajasa, pangpung dan pacar gunung, sedang memekarkan bunga-bunganya. Di gelaran airnya terapung-apung teratai biru, kuning, putih, dan merah. Melihat telaga yang demikian indah, Dewi Citrawati merasa amat gerah. Dalam hati ia berkata, alangkah segarnya, bila ia sekarang mandi di telaga, setelah sepanjang siang berpanasan dengan terik matahari. Ia melepas kainnya satu per satu. Ia melakukannya tanpa malu-malu, seakan tiada satu manusia pun ada di situ. Ia tidak berpikir sama sekali, bahwa di dekatnya ada Sumantri. Ia seakan bukan lagi Dewi Citrawati, tapi Dewi Sri yang ingin mandi di Sunyalaya, telaga bening di Taman Sriwedari yang ada di gunung Nguntara. Di taman dewata memang tiada siapa-siapa, kecuali dirinya sendiri. Satu persatu kainnya terlepas, dan ia pun telanjang bulat.
Sumantri ternganga, hampir tidak percaya melihat Putri Magada itu telanjang di depan matanya. Betapa menggairahkan tubuh itu. Warna kulitnya bagaikan bunga campaka yang sedang dicumbu lebah. Dulu ia membayangkan buah dada Putri Magada bagaikan sepasang cengkir gading yang sedang masak. Ternyata sekarang buah dadanya lebih indah dan menawan daripada apa yang ia bayangkan. Dewi Citrawati lalu melepas gelung rambutnya. Dan rambutnya mengurai panjang di pundaknya yang sehalus bunga tarahudan. Sempat tebersit rasa malu pada diri Sumantri, tatkala ia melihat tubuh yang telanjang itu. Namun ia tak ingin kehilangan kesempatan hanya karena rasa malu itu. Maka ia pun membiarkan matanya membelalak dan terang-terangan menikmati tubuh yang indah itu. Baginya, Dewi Citrawati itu cantik luar biasa. Namun dia yang dilihatnya sekarang jauh lebih cantik daripada Dewi Citrawati. Ia teringat kata-kata orang banyak, Dewi Citrawati adalah titisan Dewi Sri. Adakah dia yang dilihatnya sekarang adalah bidadari Dewi Sri yang memperlihatkan diri? Dugaan Sumantri tidaklah keliru. Di telaga itu, Dewi Citrawati memang sedang merasakan hidupnya sebagai Dewi Sri, bidadari cantik yang asalnya bukan dari dunia ini. Namun Sumantri sendiri sebenarnya tidak peduli, apakah perempuan yang sedang telanjang di hadapannya itu Dewi Citrawati atau Dewi Sri. Ia tidak mempunyai keinginan lain, kecuali menghasratkan, alangkah nikmatnya bila ia boleh memeluk tubuh yang amat menggairahkan itu.
Sementara Sumantri terserang rasa berahi, Dewi Citrawati menceburkan diri ke telaga. Air telaga segera menyegarkan tubuhnya yang gerah. Ia berenang ke sana kemari. Mengusap-usapkan air segar ke wajahnya. Ketika ia meraup air dan mengelus-eluskannya ke dadanya, tampaklah buah dadanya bagaikan bulan kembar di balik senja. Di mata Sumantri, Dewi Citrawati adalah bidadari yang sedang mandi di telaga. Memang, air telaga yang menyirami tubuhnya sedang membawa Dewi Citrawati kembali ke alam sebelum ia ada di dunia, alam di mana ia adalah Dewi Sri yang gembira berenang-renang di Sunyalaya, telaga dewata di bukit Nguntara. Alam itu demikian membahagiakannya, tak ada di sana beban yang membuatnya menderita. Alam itu abadi, dan cinta yang ada di sana adalah cinta yang telah terlepas dari jerat-jeratnya. Di sana bunga kumuda, bana, campaka, tanjung, dan nagakusama, dan semua bunga lainnya selalu mekar, tak pernah layu karena tak pernah tersirami dengan kesedihan. Burung kalangkyang pun tak pernah menangis haru, karena hujan selalu datang menghilangkan rindu.
Dewi Citrawati demikian bahagia kembali ke alam itu. Ia memercik-mercikkan air telaga Sunyalaya, dan air itu menyiprat menjadi permata-mata kaustubha. Ia ingin senantiasa berada di sana. Rasanya, tak ada apa pun yang bisa menariknya kembali ke dunia, kecuali cinta. Maka ketika ia memalingkan diri kepada cinta, dilihatnya Sumantri berdiri di depan telaga. Ia terkejut mendapati dirinya telanjang di depan orang yang dicintainya. Ia merasa malu, namun dalam sekejap cintanya mengusir rasa malu itu, dan pada saat itu ia sadar dirinya adalah Putri Magada, Dewi Citrawati.
Rasanya, tak ada apa pun yang bisa menariknya kembali ke dunia, kecuali cinta.
”Sumantri, mengapa kau hanya berdiam diri di tepi telaga?” sapa Dewi Citrawati.
”Biarlah, hamba berdiri di sini menjaga Paduka,” sahut Sumantri, tergagap bangun dari rasa nikmatnya melihat Dewi Citrawati yang dari tadi telanjang di telaga.
”Air telaga ini sangat segar, Sumantri. Mandilah dalam kesegarannya. Masakan kau menolak, ketika air telaga ini memberimu kesempatan untuk bermain cinta bersamaku,” ajak Dewi Citrawati tanpa menutup-nutupi hasratnya lagi. Sumantri merasa tak kuasa lagi untuk menolak ajakan itu.