Seperti burung kuntul terbang yang tak meninggalkan bekas tapaknya, hidupnya harus tak berbekas dalam memberikan diri. Jika masih meninggalkan bekas, pemberian diri itu belumlah tuntas.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Langit biru membentang, bersih dan sunyi. Burung-burung kuntul beterbangan ke sana kemari, bagaikan kuncup-kuncup menur yang berlenggang-lenggang menari. Ke mana tapak-tapak kuntul yang terbang itu harus dicari? Inilah juga pertanyaan yang pernah hinggap padanya, ketika ia meninggalkan hutan Jatirasa menuju Jatisrana. Pertanyaan itu selalu hidup, dan tak pernah menemukan jawaban yang memuaskannya. Sekarang hatinya terbuka, dan menemukan jawaban yang sederhana: Dicari ke mana pun, takkan ia menemukan bekas tapak burung kuntul yang melayang. Bekas tapak itu tak ada. Maka ia merasa golekana tapake kuntul anglayang, carilah tapak burung kuntul yang terbang, adalah kekayaan rahasia sejatining rasa. Seperti burung kuntul terbang yang tak meninggalkan bekas tapaknya, hidupnya harus tak berbekas dalam memberikan diri. Jika masih meninggalkan bekas, pemberian diri itu belumlah tuntas. Sekarang mengertilah ia, ia masih dilanda rasa kecewa, juga terhadap kakaknya, karena ia masih ingin menaruhkan bekas dalam pemberian dirinya. Karena pengertian ini ia sungguh lega. Ditatapnya burung-burung kuntul, dan langit pun kelihatan indah seperti taman yang penuh dengan kuncup bunga menur. Ia ingin terbang bersama burung-burung itu, mengarungi angkasa luas, merasakan ringannya hidup yang tak ingin meninggalkan bekas, dan tenggelam dalam pemberian diri yang tanpa batas.
Malam sedang purnama sidi. Inilah saat muncul rembulan yang suci. Di antara gelombang awan-awan putih, bulan menyelinap seperti kelinci. Bulan jauh di langit sana, namun ia merasa bulan itu seperti melompat-lompat di hadapannya, mengajaknya bermain, berkejar-kejaran. Bulan mengembalikannya ke dalam masa kanak-kanak, seperti dahulu di hutan Jatirasa. Waktu itu ia tak mengenal rasa susah, walau ia hidup sebatang kara. Hari-hari dilewatkannya dengan bermain-main dengan anak-anak binatang hutan. Sekarang kebahagiaan anak-anak itu kembali datang. Ia merasa, dengan kebahagiaan kanak-kanaknya itu ia bisa melakukan apa saja yang ia mau. Ia yakin, dengan kebahagiaan itu ia juga bisa menangkap bulan. Maka dikejarnya bulan. Dan ia berhasil menangkapnya. Ia lalu mengayun-ayunkan bulan. Bulan pun terayun-ayun senang. Sedang ia mengayun bulan, langit pun ikut bergoyang, dan memberikan padanya bulan seribu. Ia pun memungut bulan, bagaikan memungut buah labu. Dilemparnya bulan ke sana kemari, dan sempurnalah sudah malam kebahagiaan purnama sidi. Di malam kebahagiaan bulan ini, ia merasa semua diliputi cahaya rembulan yang suci. Dan datanglah kembali ingatannya akan bukit Taranggana Sekar, di mana ia bertemu dengan Semar yang adalah samar. Sekarang, ketika ia begitu dekat dengan bulan, hidupnya terasa makin menjadi samar. Ia bahkan yakin, suatu saat ia akan ditelan dalam samar, dan seluruhnya menghilang. Padanya, malam ini rembulan suci mengajari, hidupnya telah melewati berbagai jalan, namun akhirnya hidupnya hanya akan mempunyai satu-satunya, yakni menghilang dalam samar. Ketika itu juga ia tersentak sadar, saatnya akan tiba, di mana ia akan seluruhnya menghilang dalam samar. Dan serentak ia merasa saat itu demikian dekat dengannya, bulan pun lepas dari ayunan tangannya.
Hidupnya telah melewati berbagai jalan, namun akhirnya hidupnya hanya akan mempunyai satu-satunya, yakni menghilang dalam samar.
Bulan kembali menjauh di langit sana. Dituntun remang-remang cahayanya, ia sampai di bawah sebuah pohon beringin. Dilihatnya akar-akar pohon beringin itu menjulur-julur, merambat menuju ke sendang. Terdengar merdu suara air memercik, di tengah nyaringnya nyanyian cengkerik. Ia mengenal betul suara percik-percik air itu. Itulah suara percik-percik air pancuran buluh bambu yang selalu dikenangnya. Tanpa berpikir panjang, ia pun turun membiarkan air pancuran buluh bambu itu mengucurinya. Ia pun mandi dalam percik-percik kenangan masa lalunya. Di bawah pancuran buluh bambu inilah ia bertemu dengan kakaknya. Dalam kesegaran airnya, ia sering mandi dan bersenang-senang bersama kakaknya. Percik-percik air itu menyegarkan ingatannya akan saat-saat yang indah ketika ia hidup dengan kakaknya di Jatisrana. Dilihatnya percik-percik air melompat-lompat bagaikan mutiara manikmaya, indah berpantulan dengan remang-remang purnama. Ia merasa-rasakan, air pancuran buluh bambu sungguh masih memercik seperti dulu, saat ia dan kakaknya merasakan tiada lagi duka, karena mereka tak mungkin akan berpisah. Mengapa mereka kemudian harus berpisah, jika air yang mempersatukan mereka masih mengalir seperti dulu, sama dan selalu memercikkan kegembiraan-kegembiraan yang tak pernah berubah?
Pancuran buluh bambu ini lalu menerbangkan ingatannya ke hutan Jatirasa, saat dulu ibunya menemuinya dan bercerita tentang asal-usulnya. Maka di pancuran buluh bambu ini ia sekarang merasakan kembali kelahirannya. Saat itu, dalam upacara mitoni ibunya, ia ibarat buah kelapa yang sudah dibuang, karena ayahnya tak menghendakinya. Ibunya bersikeras tak membuangnya, lalu membawanya ke pancuran buluh bambu ini. Sambil mandi dengan air pancuran itu, ibunya mengusap-usapkan kelapa yang terbuang itu pada buah dadanya. Kelapa itu pecah dan memberikan kehangatan luar biasa pada tubuhnya. Ibunya yakin, itulah tanda ia sudah ada dalam kandungannya. Ia tidak jadi terbuang, dan hidup dengan aman dalam kandungan ibunya, sampai saatnya ia dilahirkan di dunia.
Terang bulan membuka dada ibunya, yang seperti kelopak bunga padma, di mana ia boleh memendamkan kepalanya. Kehangatan serasa merambati tubuhnya, dan mengantarkannya kembali ke garba ibunya. Di sana ia tahu, ia adalah kulit pisang emas yang menyatu dengan dagingnya. Ibunya telah menelan kulit dan daging pisang emas itu bersama-sama. Dalam kehangatan kandungan ibunya, ia merasakan sudahlah takdirnya ia takkan terpisah dari Sumantri kakaknya, apa pun peristiwa hidup yang akan menimpanya. Ia keluar dari pancuran buluh bambu itu dengan dicekam rindu. Rindunya sekarang lain daripada dulu. Sekarang ia rindu untuk melihat akhir dari takdir ketika ia lahir. Kerinduan itu demikian dalam. Ia tak tahu, bagaimana kerinduan itu harus dipuaskan, kecuali dengan perasaan kanak-kanaknya yang tak ingin ditinggalkan sendirian. Dan kepada siapa lagi, perasaan kanak-kanaknya ini bisa ditumpahkan, kecuali pada kakaknya, Sumantri? Pada pangkuan kakaknya ia ingin bersandar, dan mendengarkan kembali nyanyian Lihatlah itu burung kepodang. Ia melihat tetes-tetes embun di rerumputan. Fajar ternyata sudah datang, dan di pohon-pohon terdengarlah suara burung kepodang. Burung-burung itu lalu terbang, dan ia ikut terbang dengan sayap kerinduan. Lama burung-burung kepodang itu terbang, dan ketika burung-burung itu menghilang, ia pun turun ke bumi. Ia tahu, ia sedang menginjakkan kaki di tepi negeri Maespati, untuk menemukan kembali kakaknya, Sumantri.