Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 127)
Bila aku adalah bunga Wijayakusuma, biarlah aku menjadi bunga Wijayakusuma, yang tak menginginkan apa-apa kecuali belaian bulan yang akan membuat aku mekar indah
Tatapan mata Dewi Citrawati membuat Sumantri menyerah. Ia membiarkan dirinya ketika Putri Magada itu menggandeng tangannya. Sengaja Dewi Citrawati menggenggam erat, agar Sumantri merasakan dirinya bagaikan sulur jangga yang dengan nikmat boleh merambati pohon kanigara yang sedang berbunga. Kehangatan mengalir dalam tubuh Sumantri, ia seperti melayang tanpa kendali lagi.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 124)
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 125)
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 126)
”Sumantri, lihatlah bunga-bunga itu. Asoka yang merah, asana yang kuning tua, melati yang putih, teratai yang ungu dan jingga. Semua bunga-bunga mekar seperti yang diinginkannya, tanpa ada yang menghalanginya, hingga masing-masing bisa menunjukkan keindahannya. Aku adalah bunga Wijayakusuma. Katanya, bunga itu indah. Tapi mengapa keindahannya justru membelenggu aku untuk tak bisa sendiri menentukan nasibku? Bunga Wijayakusuma itu membuat aku tahu, aku adalah titisan Dewi Sri, yang harus bersanding dengan titisan Batara Wisnu dalam diri Prabu Arjunasasrabahu. Aku sering merasa tersiksa dengan kepastian nasibku itu. Apakah kau membawa bunga itu ke Maespati hanya supaya aku tersiksa?” kata Dewi Citrawati.
”Paduka, apa yang bisa hamba perbuat?” Sumantri tak mengerti.
”Bila aku adalah bunga Wijayakusuma, biarlah aku menjadi bunga Wijayakusuma, yang tak menginginkan apa-apa kecuali belaian bulan yang akan membuat aku mekar indah, seperti bunga-bunga lainnya.” Kata-kata Dewi Citrawati ini makin membuat Sumantri tak mengerti lagi. Sumantri lalu terpaku, diam membisu.
”Sumantri, berikanlah belaian bulan itu bagiku, dan kau akan melepaskan aku dari ketersiksaanku,” Dewi Citrawati berkata makin berani, dan tak ingin menyembunyikan isi hatinya lagi.
Sumantri tersentak, lamunannya akan menjadi kenyataan di depan mata. Hari masih siang, dan tentu saja belum ada bulan. Meski demikian, saat itu juga Sumantri merasa segera bisa membelai Dewi Citrawati, seperti bulan membelai bunga Wijayakusuma di malam hari. Ia pun tak dapat menahan diri untuk membawa kembali lamunannya selama ini dalam kata-kata di hadapan Dewi Citrawati.
”Paduka, mengapa Paduka berkata tentang bulan, sementara tentang bulan pula hamba ingin bercerita?” kata Sumantri.
”Apa yang hendak kauceritakan tentang bulan, Sumantri? Aku hanya ingin bila bulan itu bisa berkata-kata tentang cinta. Tapi baiklah, akan kudengar ceritamu selanjutnya,” sahut Dewi Citrawati.
”Sering bila sinar bulan menyela masuk ke kediaman hamba, hamba membayangkan hamba berdua dengan kekasih yang hamba cintai. Alangkah indahnya saat itu. Hamba saling berpelukan dengan kekasih hamba, saling membisikkan kata-kata, dan saling membagikan rasa damai dan bahagia. Janganlah saat yang indah itu cepat berlalu. Namun saat itu juga hamba harus mengusir lamunan hamba. Hamba sadar, lamunan itu hanya akan menyiksa hamba, karena kekasih yang hamba inginkan tak lain adalah Paduka.” Sumantri tak habis mengerti, mengapa ia akhirnya berkata-kata dengan demikian berani.
”Sumantri, mengapa engkau pura-pura tak merasa, hari ini aku telah menjadikan lamunanmu itu sungguh sebuah kenyataan?” kata Dewi Citrawati. Ia mendekatkan wajahnya ke muka Sumantri. Sumantri melihat bibir Dewi Citrawati yang demikian indah. Dan bibir yang memerah seperti bunga katirah itu serasa hendak diberikan padanya. Tanpa ragu lagi, Sumantri pun segera mengecupnya dengan sepenuh hasrat dan gairahnya. Angin bertiup perlahan, membawa wangi bunga pandan. Mereka berdua merasa, inilah saat mereka melepaskan kerinduan yang lama terpendam. Mereka merasa terbebas dari segala beban. Dan mereka tahu, ke mana mereka sekarang hendak berjalan.
”Sumantri, aku pun mempunyai cerita tentang bulan. Ketika bulan mengunjungi kamarku, alas kepalaku basah dengan air mataku. Kuganti alas kepala itu dengan yang baru, dan aku membayangkan kau membaringkan kepalamu di situ. Namun alas kepala itu hanya menjadi alas rinduku, karena tak pernah kau terbaring di sisiku. Ketika malam makin dingin, kuganti pula selimutku. Siapa tahu, dengan selimut baru kau mau menghangatkanku. Bulan datang hanya menyusahkanku. Bila bulan nanti datang kembali, jangan biarkan ia merebut kebahagiaanku yang kini boleh kunikmati bersamamu,” kata Dewi Citrawati sambil menyandarkan dirinya ke dada Sumantri. Sumantri tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia hanya membelai rambut Dewi Citrawati dan menghirup wangi yang memberinya berahi.
Cinta itu tak mengenal jalan untuk kembali. Masa lalu akan terlupa, ketika cinta sedang melanda.
Sekarang dunia hanya jadi milik mereka berdua. Dan dalam sekejap Taman Sriwedari pun berubah jadi taman cinta. Siang sedang terik, tapi tampak kuncup-kuncup bunga Wijayakusuma bergerak-gerak, tak sabar menanti malam, menunggu belaian bulan. Rasanya, sesegera mungkin bunga-bunga malam itu ingin mekar. Sulur-sulur jangga meliliti tunas-tunas katirah adalah kata-kata cinta tentang gairah dalam bibir yang memerah. Sulur-sulur gadung tegak berdiri, memberikan dirinya jadi pegangan, agar tak tergelincirlah mereka yang sedang melangkah di jalan cinta. Bunga-bunga merah, dadu, dan putih bermekaran di pohon kaniri, ramai-ramai bernyanyi, cinta itu tak mengenal jalan untuk kembali. Pohon-pohon bambu pun berderit-derit ikut bernyanyi, masa lalu akan terlupa, ketika cinta sedang melanda. Di angkasa burung-burung beterbangan, sepasang-pasang, seakan tak ingat lagi akan jalan pulang.
Hari menjelang sore, namun matahari masih menyengat, membuat tubuh Dewi Citrawati berkeringat. Sumantri terpesona melihat keringat yang bertetesan di sela-sela dadanya. Dewi Citrawati mengerti, dan meminta Sumantri menyekanya. Asmara menyerang bagaikan kilat, ketika tangan Sumantri menyentuh dada indah Putri Magada. Tak ingin rasanya Sumantri menarik kembali tangannya yang sedang menggenggam buah dada yang mengeras karena asmara yang sedang bergejolak. Awan putih berlari-lari lalu menghilang pergi, membuat langit menjadi sunyi, sementara Sumantri merasa tak lagi mengenal sepi. Bunga-bunga katangga berguguran karena sengatan matahari, menjatuhi dada Dewi Citrawati, seperti ikut terkena berahi. Angin pun meniup keras, sampai kain dukula yang dikenakan Putri Magada tersibak, dan sejenak betisnya yang indah pun tampak.