Semadinya tak hanya membebaskan dia dari waktu, tapi juga mengantarkannya untuk tak perlu khawatir akan apa saja yang sedang terjadi di bumi. Biarlah terjadi di bumi seperti alam menghendaki.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Kerinduan-kerinduan melayang di langit Maespati. Dari segala penjuru kerinduan-kerinduan datang, lalu terbang dalam awan-awan yang berlari-larian menghiasi langit. Pada awan-awan itu siapa saja bisa menitipkan kerinduannya. Awan-awan itu menghantarkan kerinduan-kerinduan itu bertemu. Lalu menurunkannya di Taman Sriwedari, taman dewata di negeri Maespati.
Kerinduan-kerinduan itu menghinggapi bunga-bunga di Taman Sriwedari. Bunga-bunga pun girang bermekaran. Siapa pun yang memetiknya, ia merasa bertemu kembali dengan kekasihnya yang lama dirindukan. Semua bunga berdandan indah. Namun ada juga bunga yang lesu karena susah. Bunga itu mengiri, mengapa belum juga ada yang memetiknya, kendati ia sudah mempercantik diri sejak pagi.
Adakah yang lebih indah daripada bunga-bunga yang sedang berlomba untuk menunjukkan kecantikannya? Bunga tanjung dan nagakusuma, menebar harum di sekitarnya. Tak kalah harumnya bunga bana dan campaka, yang tengah mekar-mekarnya. Bunga-bunga katangga memaksa dirinya untuk gugur, agar kecantikannya bisa dikenakan di sanggul putri-putri istana. Dan bunga katirah tak ingin kalah, mekar menjadi bibir yang merah, menantang untuk dihinggapi lebah. Lebah-lebah bingung memilih bunga mana yang hendak dihinggapinya. Semua bunga itu indah, dan memberi gairah. Sering lebah-lebah itu seperti kekasih yang mengusap-usap matanya, karena serbuk-serbuk sari yang keras memuncrat dari gairah tak tertahan bunga-bunga yang dihinggapinya. Bambu-bambu kuning mengayun-ayun damai, merasakan sulur-sulur gadung yang merambatinya dengan gemulai. Begitulah bunga-bunga menyambut datangnya kerinduan yang ingin bertemu dengan kekasihnya di Taman Sriwedari.
Saat Taman Sriwedari merebak asri, hari sedang menjelang Anggara Kasih. Seperti biasanya, pada hari seperti ini, Prabu Arjunasasrabahu pergi menyepi. Ia adalah Batara Wisnu yang menitis ke bumi. Selayaknya, ia memaksa diri untuk menjauhi dunia nafsu, dan kembali ke alamnya yang Ilahi. Karena itu ia harus menyisihkan waktu untuk bersemadi dalam sunyi. Terbenam dalam alam Ilahi, ia tak lagi terjerat oleh waktu yang menguasai bumi. Nikmatnya kebebasan itu membuat semadinya berlangsung berhari-hari. Semadinya tak hanya membebaskan dia dari waktu, tapi juga mengantarkannya untuk tak perlu khawatir akan apa saja yang sedang terjadi di bumi. Biarlah terjadi di bumi seperti alam menghendaki. Kepasrahannya ini adalah persembahan yang membubung tinggi bersama asap dupa yang mewangi. Asap dupa itu terus terlihat keluar dari pura pemujaannya, membuat siapa saja tak mampu memperkirakan lagi, kapan semadi Raja Maespati ini akan berhenti.
Semadi yang membenamkan Raja Maespati ke dalam nikmat Ilahi adalah kesempatan bagi Dewi Citrawati untuk melepas kerinduannya dan merasakan nikmat hasratnya yang insani. Di hati Putri Magada, makin suaminya menikmati kebebasan dari nafsu badannya karena semadi yang lama, makin ia merasa mempunyai kebebasan untuk menikmati kesenangan dengan hasrat tubuhnya yang selama ini harus dipendamnya. Lebih-lebih kali ini, rasanya ia tak dapat lagi mengendalikan hasrat tubuhnya lagi. Hasrat itu kedengaran berkata, mengapa tubuh yang demikian indah kaubiarkan terpenjara? Tak ada lagi cara untuk membebaskan diri dari penjara itu kecuali membiarkan dirinya untuk menuruti hasrat asmaranya. Dan kepada siapa lagi ia bisa menuruti hasrat asmaranya itu kalau bukan kepada Sumantri. Ia merasa tak mempunyai kesempatan lain kecuali kali ini, saat ia yakin suaminya sedang tenggelam lama dalam semadinya yang suci. Sudah beberapa kali ia bercengkerama dengan Sumantri, dan suaminya mengetahuinya. Kali ini, tak ingin sekadar bercengkerama, ia sungguh ingin mengungkapkan isi hatinya yang terdalam dan menumpahkan gejolak hasratnya pada Sumantri, tanpa sepengetahuan suaminya. Betapa nikmat akan ia rasakan, bila bisa terjadi apa yang diinginkan. Ia pun menyuruh utusannya untuk memanggil Sumantri. Dan ia memutuskan hendak berjalan-jalan di Taman Sriwedari tanpa didampingi siapa pun kecuali Sumantri.
Sebenarnya Sumantri tak lagi berharap akan Dewi Citrawati. Akhir-akhir ini ia lebih merindukan adiknya Sukrosono daripada berkhayal dengan harapannya akan Dewi Citrawati. Beberapa kali ia diminta datang untuk menemani permaisuri Maespati itu. Dewi Citrawati menerimanya dengan hangat. Namun kehangatan itu justru menyiksanya, karena hanya menyisakan impian belaka. Maka kali ini pun ia datang menemui Dewi Citrawati dengan harapannya yang telah pudar. Namun, begitu berjumpa dengan Dewi Citrawati, ia terkejut. Sekarang Putri Magada itu memancarkan daya yang membuat hasratnya sangat bergejolak. Pinggang Dewi Citrawati yang ramping melentur bagaikan bambu kuning tertiup angin itu terasa menawarkan diri untuk dipeluknya. Bibirnya yang merah seperti kelopak bunga katirah yang membuka, mempersilakan dia untuk menjadi lebah yang boleh menciuminya. Dadanya naik turun karena nafasnya yang memburu, dan tak lagi malu untuk membuka buah dadanya yang selama ini bagaikan kelapa gading tersembunyi di balik kainnya. Sumantri merasa, kali ini Dewi Citrawati membuka segalanya bagi dirinya, asal ia bisa merasakan kesenangan asmaranya. Maka ketika berdua berkeliling di Taman Sriwedari, mereka merasa sedang menapaki jalan cinta yang tak lagi menyembunyikan asmara.
Ketika berdua berkeliling di Taman Sriwedari, mereka merasa sedang menapaki jalan cinta yang tak lagi menyembunyikan asmara.
Di jalanan cinta itu terlihat sedang mekar bunga campaka, putih dan kuning warnanya. Dewi Citrawati memetik sekuntum bunga campaka, lalu meminta Sumantri untuk menyematkannya di gelung rambutnya. Sumantri ragu-ragu dan tak segera melakukannya.
"Sumantri, campaka adalah bunga yang harum baunya. Sering aku membayangkan, ketika kau mencium bau harum bunga campaka, kau bisa merasa kerinduan yang selalu tertahan di hatiku. Jangan kau ragu meletakkan bunga campaka ini di rambutku,” pinta Dewi Citrawati. Sumantri lalu memberanikan diri menyematkan campaka itu di rambut Dewi Citrawati. Dan tercium olehnya bau wangi yang lebih wangi dari campaka, menebar dari rambut Putri Magada. Wangi yang membuat tangannya gemetar sekaligus membangkitkan gairahnya. Sementara matanya sejenak menatap mata Dewi Citrawati. Di bawah lengkung alis bagaikan pelangi, mata Putri Magada yang indah itu lemah meminta, bawalah aku lari ke mana engkau harus pergi.