Di tepi kali Suranadi, Sukrosono berhenti, sebelum ia berjalan mencari Taman Sriwedari. Ia menepi, lalu mencelupkan kakinya ke kali. Airnya segar sekali. Langit terlihat cerah, memberi pagi, yang memantul dalam percik-percik air yang jernih. Pikiran Sukrosono melayang, ingat akan Jatisrana, di mana dulu ia sering bermain dengan kakaknya, Sumantri, menyusuri kali. Ingatan itu ternyata tiada pernah menjadi kenyataan lagi, hilang, mengalir seperti air yang kini dipandanginya di kali Suranadi.
Sudah lama sekali Sukrosono menanti datangnya saat, ketika ia takkan berpisah lagi dari kakaknya, Sumantri. Namun hari-hari terus berjalan, dan Sukrosono mengalami, jangankan takkan berpisah lagi, bertemu kembali sekejap saja rasanya tak boleh terjadi. Pada dirinya sendiri ia berjanji, ia akan selalu dekat pada Sumantri, agar ia bisa menolongnya, sewaktu-waktu kakaknya membutuhkannya. Ia mengikuti kakaknya ke mana perginya, walau kakaknya tak mengetahuinya. Ia akan menolong kakaknya, setiap kali kakaknya berada dalam susah dan bahaya. Itu sudah terjadi, ketika kakaknya hampir binasa di tangan Prabu Darmawasesa. Dialah yang mengalahkan Prabu Darmawasesa, saat semua orang mengira kakaknya berhasil membinasakan Raja Widarba itu, sehingga ia berhak memboyong Dewi Citrawati ke Maespati. Sekarang, kakaknya jatuh dalam jalan buntu karena termakan janji kesombongannya, bahwa ia bisa memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati. Sekarang pula, ia berusaha memindahkan Taman Sriwedari bagi kakaknya, di saat kakaknya bingung tak bisa berbuat apa-apa.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Mata Sukrosono memandang jauh, mengikuti aliran air kali Suranadi. Ke mana air itu pergi, ia tak bisa membayangkannya. Namun air itu selalu berbelok, di mana diperlukan. Air itu sejenak berhenti menjadi kolam, tempat ikan-ikan berenang. Mengaliri sawah-sawah untuk menghidupi padi-padi. Air itu bagaikan janji Sukrosono, yang selalu bersedia menolong Sumantri di kala sedang susah. Janji inilah yang membuat Sukrosono selalu berada dekat dengan kakaknya, supaya sewaktu-waktu ia bisa menolongnya. Janji ini kadang terasa perih. Sebab walau ia berada dekat pada kakaknya, kedekatan itu justru menjadi jarak yang terbentang demikian jauh dan tak terjembatani. Mau apa? Kakaknya malu akan dirinya yang buruk rupa dan tak mau ia berada di dekatnya. Sukrosono lalu merasa, jarak yang dekat ternyata adalah kejauhan yang tak terhingga, karena hati kakak yang dicintainya tak berkehendak menerimanya.
Pikiran Sukrosono terbang, menembus dahan-dahan pohon kaniri di tepi kali. Pikirannya mengembara ke mana-mana, satu persatu datang, jatuh bersama guguran bunga kaniri, dadu, merah, dan putih, membuat indah pemandangan di tepi sungai. Pikirannya merayap mengikuti hidupnya dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, perlahan-lahan ia diantar ke dalam bayangan, suatu saat hidupnya pun akan tenggelam, seperti pagi akhirnya juga harus menuju malam. Sayup-sayup terdengar ayun-ayun daun pohon kemuning, dan di angkasa beterbangan kupu-kupu kuning. Senja pun datang merambat, memberi matahari yang pudar menjadi cermin kekuning-kuningan, di mana hidup harus berkaca pada kerut-kerut kematiannya. Burung-burung pulang ke sarangnya, dan waktu berkejaran dengan senyap, yang melindap di rerumputan tepi kali.
Sukrosono merasa akhir hidup itu tak menunggu nanti. Akhir hidup sudah selalu datang, seperti yang sekarang ia alami, ketika akhir hidup itu serasa datang bersama bulan yang menyelinap dalam malam yang menghampiri dirinya di tepi kali.
Di pucuk-pucuk pohon nagasari, burung-burung kepodang masih sempat bernyanyi, dan nyanyinya adalah senyap, yang menarik Sukrosono pergi. Sukrosono seperti ditarik pergi dari dirinya. Ia seakan berada demikian jauh dari dirinya. Namun dalam kejauhan itu ia merasa berjumpa dengan dirinya. Dirinya itu melebihi dari dirinya yang ia alami. Dirinya itu tak terjangkau, tapi sekarang ia merasa telah menjangkaunya. Dan dalam diri itulah ia merasakan dirinya yang sesungguhnya. Dalam kesenyapan yang luar biasa sunyinya, ia merasa diri itu sungguh ada, walau seperti tiada. Diri itu nyata bukan khayalan belaka. Walau tak terjangkau, dirinya itu tak terasa asing. Malah di dalamnya, Sukrosono menemukan kembali semua pengalaman hidupnya selama ini.
Di sana ia berjumpa dengan alam yang membesarkannya, ketika manusia tak menghendakinya, dan ia dibuang di hutan Jatirasa. Dalam dirinya itu ia merasakan kembali kebaikan induk macan yang menyusuinya, ketika ia hidup sendirian di rimba yang buas itu. Satu persatu-persatu binatang yang menemani hidupnya datang silih berganti, dari merekalah ia memperoleh pertolongan untuk hidupnya. Tak ada kebuasan dan kekejaman yang pernah dialaminya. Semuanya memberikan kasih sayang padanya. Mereka demikian sedih, ketika mengantarkannya pergi dari hutan Jatirasa. Membayang di hadapannya air mata mereka, saat ia harus berpisah dari mereka. Kembali pula bayangan perjumpaannya dengan induk kerbau dan macan yang hendak memangsanya. Induk kerbau itu mohon agar diperbolehkan untuk menyusui anaknya dulu sebelum macan itu memangsanya. Pengorbanan hidup itu hidup kembali di depannya. Dan hidup kembali pula saat ketika ia berjumpa dengan Dewi Tunjung Biru, dan membebaskannya dari kejaran raksasa Kaladaru.
Tentu saja, datang kembali kenangannya, ketika ia mengalahkan Raja Widarba, dan menyelamatkan hidup Sumantri, walau kakaknya ini selalu menolaknya. Dan sekarang ia berjanji lagi untuk membawa Taman Sriwedari baginya untuk menyelamatkan mukanya. Semua kenangan ini datang dan pergi, mengalir seperti aliran kali Suranadi. Ia larut dalam air yang senantiasa mengalir itu, dan di tepi kali Suranadi ini tahulah dia, seperti air, hidup ini hidup karena terus memberi dan memberi, tiada henti. Memberi itu akan berhenti, baru ketika berakhir hidup ini.
Sukrosono merasa akhir hidup itu tak menunggu nanti. Akhir hidup sudah selalu datang, seperti yang sekarang ia alami, ketika akhir hidup itu serasa datang bersama bulan yang menyelinap dalam malam yang menghampiri dirinya di tepi kali. Bulan yang menyusup dalam malam membuat semuanya jadi samar. Ajaibnya, dalam kesamaran ini semuanya terlihat indah. Di tepi sungai ini, bunga asoka dan nagapuspa, kaniri dan melati, helai-helai daun widuri, mekar berdandankan terang, justru ketika malam berada di puncak samar. Di langit, mega-mega menjadi indah karena samar dan memberi kesunyian yang keindahannya hanya terasa dalam samar. Mega-mega yang sunyi dalam samar itu lalu menyusun diri. Sukrosono memperhatikan gerak mega-mega itu, dan betapa terkejut dia, ketika akhirnya terlihat olehnya mega-mega sunyi dalam samar itu menjadi Semar. Begitu terlihat Semar, langit pun bepercikan dengan taburan beribu bintang. Sukrosono terangkat, badannya ringan, sebuah kereta berkuda mega membawanya masuk ke alam samar seperti dahulu di Taranggana Sekar, ketika ia berjumpa dengan Semar.