Sesampainya di Maespati, Sumantri ternyata tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Suasana Maespati sungguh di luar bayangannya. Maklum, ia hanyalah anak pertapaan di desa, yang sama sekali belum mengenal istana. Istana Maespati ternyata besar, megah, dan mewah. Seandainya ia bisa langsung masuk ke dalamnya, ia juga tidak tahu, mana jalannya. Sementara, tak mungkin ia bisa masuk, karena di mana-mana dijaga oleh prajurit, yang melarang siapa pun untuk begitu saja mendekat ke istana. Ia merasa terasing dan sendiri. Tak ada orang yang memedulikannya. Sempat ia berpikir, ia bisa gagal mengabdi menjadi kesatria, dan harus puas menjadi penjaga kuda para punggawa istana, atau perumputnya saja. Ia jadi sedih, dan membayangkan, betapa damai dan tenteram hidupnya jika ia tetap mau tinggal di Jatisrana, seperti pernah dikatakan adiknya, sebelum ia meninggalkannya. Nyaris putus asa, akhirnya Sumantri duduk di bawah pohon Mandira. Siang malam ia ada di sana, menahan lapar dan haus, tanpa berpikir lagi, apa yang akan terjadi, sampai tiba-tiba terdengar suara menyapanya.
”Anak muda, bangunlah, Paduka Raja menghendaki, kau segera datang menghadap,” kata Tumenggung Baudenda.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Sumantri sama sekali tidak mengira ia beroleh perkenan ini. Terburu-buru ia berdiri dan mengikuti Tumenggung Baudenda. Sementara berjalan, punggawa tinggi istana itu berpesan, ”Jagalah tindak tandukmu. Ingat, kau akan menghadap raja diraja.”
Sumantri tidak mengerti apa maksud pesan itu. Di benaknya ia mengira, ia sudah berlaku sebaik-baiknya. Ia lalu meniru saja Tumenggung Baudenda yang membungkuk dengan hormat, lalu bergerak perlahan-lahan dengan menggeser duduknya menuju ke hadapan Sang Raja. Semua mata tertuju pada Sumantri. Mereka merasa heran, betapa papa dan sederhana anak muda itu. Baru kali ini kiranya ada seseorang yang kelihatan demikian sederhana berada di tengah pisowanan agung mereka yang megah dan berwibawa.
”Paduka, perkenankan hamba menghadapkan anak muda yang tadi hamba ceritakan,” kata Tumenggung Baudenda.
Prabu Arjunasasra tidak segera berbicara. Diamatinya Sumantri dalam-dalam. Dalam batin diam-diam ia mengaku, dalam pandangan pertama saja ia sudah terpesona akan anak muda ini. Namun, ia adalah maharaja, ia harus menahan perasaannya.
”Siapakah kau hai anak muda?” tanya Sang Prabu.
”Paduka, hamba mohon ampun, jika Paduka tidak berkenan akan hamba. Nama hamba, Sumantri, asal hamba dari pertapaan Jatisrana,” jawab Sumantri sambil menyembah.
”Apakah maksud kedatanganmu ke Maespati ini?”
”Jika Paduka berkenan, hamba hendak mengabdi pada Paduka.”
”Sebagai apa Sumantri?”
”Sudah menjadi tekad hamba, hamba ingin mengabdi sebagai satria tamtama punggawa Paduka, Raja Maespati.”
”Sumantri, kau rupanya belum mengerti apa arti dari kata-katamu itu.”
”Hamba bersedia menyerahkan nyawa hamba untuk kata-kata itu, Paduka.”
Dalam batin diam-diam ia mengaku, dalam pandangan pertama saja ia sudah terpesona akan anak muda ini. Namun, ia adalah maharaja, ia harus menahan perasaannya.
”Itu tidak cukup, Sumantri. Tahukah kau, apa yang harus kau lakukan sebagai kesatria bagi negara Maespati sekarang? Atas namaku, kau harus bisa memboyong putri kerajaan Magada, Dewi Citrawati, ke Maespati untuk menjadi permaisuriku. Untuk itu, kau harus bisa memadamkan peperangan yang kini terjadi di Magada, dan menaklukkan lawan sangat perkasa, yang sedang di ambang kemenangannya untuk memperoleh Dewi Citrawati. Kau boleh menjadi kesatria Maespati, jika kau berhasil menjalankan kewajiban itu, dan demikian juga menyelamatkan mukaku sebagai Raja di Maespati. Apakah kau sanggup, Sumantri?”
”Hamba sangggup, Sang Prabu!” tegas Sumantri, seketika, tanpa pikiran dan kekhawatiran apa-apa.
”Paduka, perkenankan hamba menyela kata,” tiba-tiba Patih Suroto memberanikan diri angkat bicara, “Maafkanlah hamba, Paduka belum mengenal siapa anak muda ini. Dia belum teruji sama sekali, dan tak tampak sedikit pun apa kemampuannya. Mestikah Paduka percaya padanya? Sedang punggawa tersakti Maespati, sesepuh hamba, Mahapatih Suwondo, telah kalah dan gugur di medan laga dalam menjalankan tugas yang berat itu. Bagaimana mungkin anak muda ini bisa dipercaya untuk mengemban tugas Paduka itu? Hendaknya Paduka menahan diri untuk gegabah, janganlah Paduka menyerahkan kewajiban itu, hanya karena dia telah menyatakan kesanggupannya.”
”Paduka, benarlah kata Patih Suroto,” Tumenggung Baudenda ikut menyela, ”Hendaknya dipertimbangkan benar-benar, sebelum Paduka memercayainya. Setahu hamba, di Maespati, pengabdian seorang punggawa tidak pernah jatuh dari langit. Seorang punggawa harus memulai dari derajat yang paling nista, bukan hanya bermula dari seorang prajurit rendah, tak jarang bahkan ia harus memulai pengabdiannya sebagai pemelihara kuda para prajurit Maespati. Anak muda ini belum pernah menjalankan pengabdian apa pun, bagaimana mungkin Paduka boleh percaya, bahwa ia akan bisa menyelamatkan muka Paduka dan negara Maespati?”
”Paman Patih Suroto dan Paman Tumenggung Baudenda, cukuplah kata-katamu itu. Dan berhentilah memberi nasihat padaku. Janganlah mengira, bahwa aku tidak tersinggung dengan kata-kata Sumantri ini. Di hadapanku, anak muda ini terlalu sombong. Aku tidak suka akan tinggi hatinya,” Prabu Arjunasasrabahu bersabda. Sebenarnya, hatinya tidaklah tersinggung, seperti yang dikatakan di bibirnya. Dalam hati, ia tetap kagum dan percaya pada Sumantri. Ia sendiri tak tahu alasannya, kenapa ia bisa tiba-tiba percaya padanya. Tapi sebagai raja yang disembah, ia harus menyimpan semuanya ini, dan mengemukakan, kata-kata Sumantri itu sama saja dengan menyinggung martabatnya. Ia harus menjaga wibawanya, walau hatinya berkata lain. Karena itu melawan perasaannya, ia pun keras bersabda.
”Sumantri, kau sungguh manusia yang tak menjaga kata. Kesombonganmu sungguh merendahkan martabatku. Kau belum membuktikan apa-apa di hadapanku. Tapi kau berlagak bisa memenuhi keinginanku. Kuterima lamaranmu, bukan karena kau memang pantas bagiku, tapi karena aku mau membuktikan apakah benar kata-katamu. Kau harus menanggung segala akibat dari kesombonganmu, Sumantri.”