Evaluasi Bea dan Cukai, Belajar dari Masa Lalu
Evaluasi Dirjen Bea dan Cukai perlu dilakukan untuk memperbaiki citra negatif dan meningkatkan penerimaan negara.
Rencana pemerintah melakukan evaluasi terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai merupakan langkah reformasi yang tidak mudah, tetapi menjanjikan. Institusi penerimaan negara ini didera banyak masalah yang dapat memengaruhi kinerja.
Beberapa bulan terakhir ini, Bea dan Cukai dirundung citra negatif karena kasus yang viral di media massa. Mulai dari pejabatnya yang diperiksa karena anggota keluarganya yang pamer harta, prosedur pemeriksaan dan pengenaan tarif bea masuk dan denda yang menyulitkan masyarakat yang kembali dari luar negeri, hingga kasus korupsi oknum pejabatnya.
Kasus-kasus tersebut memengaruhi citra Bea dan Cukai yang menjadi tulang punggung penerimaan negara, terutama dari kepabeanan. Dari institusi ini setidaknya negara berharap memperoleh penerimaan yang cukup besar.
Pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap Bea dan Cukai.
Untuk tahun 2024, misalnya, Bea dan Cukai ditarget dapat menyetor sebanyak Rp 321 triliun. Nilai tersebut merupakan 13,9 persen dari target penerimaan perpajakan.
Untuk itulah, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap Bea dan Cukai. Evaluasi akan meliputi revisi terhadap regulasi lintas kementerian/lembaga, membuat prosedur standar operasi yang baru dan lebih relevan dengan situasi terkini, penguatan sistem dengan digitalisasi, serta mengevaluasi kinerja sumber daya manusia, khususnya petugas di lapangan.
Langkah reformasi merupakan upaya yang terus menerus dilakukan. Di tubuh Bea dan Cukai hal itu sudah dilakukan sejak era Orde Baru. Bahkan, evaluasi pernah berbuah kebijakan yang lebih ekstrem. Pemerintahan sekarang perlu belajar atau melihat kembali evaluasi yang pernah dilakukan pemerintah di masa lalu.
Baca juga : Menyelisik Agenda Reformasi Bea Cukai di Tengah Sorotan Publik
Reformasi Bea Cukai 1985
Pada awal tahun 1985, kinerja Bea dan Cukai terdegradasi karena maraknya masalah penyelundupan impor dan manipulasi ekspor. Untuk menanggulangi masalah tersebut, jabatan direktur jenderal bea dan cukai sempat diambil alih dan dikembalikan kepada Menteri Keuangan yang pada masa itu dijabat oleh Radius Prawiro.
Menkeu pun melakukan reformasi, antara lain, melalui gerakan penyederhanaan perizinan, prosedur, dan tata kerja kepabeanan.
Sederetan langkah digariskan untuk menyederhanakan tata cara penyelesaian dokumen serta barang-barang impor dan ekspor untuk menekan biaya tinggi di pelabuhan. Termasuk mengumumkan harga patokan barang-barang impor kepada masyarakat khususnya pengusaha. Hal ini memberi angin segar untuk peningkatan perekonomian. (Kompas, 9/3/1985)
Kebijakan untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi ini kemudian dituangkan ke dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
Di dalam Inpres yang dikeluarkan pada bulan April 1985 tersebut terdapat klausul menyangkut pemeriksaan barang ekspor-impor oleh surveyor asing di luar negeri yang ditunjuk pemerintah. Sebelumnya, pemeriksaan dilakukan aparat Bea Cukai di pelabuhan.
Penyerahan pemeriksaan barang-barang ekspor-impor Indonesia ke surveyor asing, dalam hal ini adalah Societe General de Surveillance SA (SGS), perusahaan surveyor swasta dari Swiss, merupakan pengakuan bahwa pelaksanaan pengawasan yang dilakukan selama ini tidak berfungsi dengan baik. Kebijakan ini disambut baik oleh para eksportir dengan harapan manipulasi sertifikat ekspor (SE) yang sering terjadi dapat dihapuskan.
Dengan adanya Inpres Nomor 4/1985, kegiatan Bea Cukai di pelabuhan jadi berkurang. Untuk tata laksana ekspor, arus barang tidak perlu lewat pemeriksaan pabean atau pemeriksaan fisik oleh petugas Bea Cukai. Petugas baru melakukan pemeriksaan kalau ada instruksi tertulis dari Dirjen Bea Cukai (yang dirangkap oleh Menkeu) yang mengemukakan adanya barang ekspor yang mencurigakan.
Untuk barang impor, petugas Bea Cukai hanya melakukan pemeriksaan atas barang impor yang nilainya kurang dari 5.000 dollar AS (Rp 5,5 juta pada saat itu), barang pindahan, barang diplomatik, minyak mentah, barang untuk pameran, serta bantuan luar negeri yang bersifat hibah kepada pemerintah Indonesia. Terdapat kebijaksanaan tambahan untuk mempermudah impor barang-barang keperluan kontraktor asing di bidang perminyakan.
Setelah Inpres Nomor 4/1985 tersebut, selanjutnya menkeu mereorganisasi Ditjen Bea dan Cukai yang baru. Sumber daya manusianya ditata ulang sebagai dampak berkurangnya kegiatan di pelabuhan. Menurut menkeu, jumlah karyawan yang berlebihan akan menimbulkan birokrasi yang berlebihan. Struktur organisasi yang baru pun diterapkan mulai 1 Maret 1986.
Baca juga: Evaluasi ”Besar-besaran” Bea Cukai, dari Regulasi sampai SOP Baru
Tanpa kewenangan
Sejak SGS mengambil alih pemeriksaan barang ekspor-impor, Ditjen Bea dan Cukai jadi tidak berperan banyak. Kondisi ini menjadi perhatian anggota dewan yang meminta institusi itu difungsikan kembali.
Semula, kontrak dengan SGS berlangsung selama tiga tahun sampai 30 April 1988. Namun, diperpanjang lagi tiga tahun hingga 30 April 1991. Akan tetapi, oleh karena PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo), badan usaha milik negara dalam bidang jasa survei, belum siap menggantikan peran SGS untuk memeriksa barang impor Indonesia di negara asal, kontrak dengan SGS diperpanjang selama tiga bulan hingga 31 Juli 1991.
Adapun menkeu yang merangkap jabatannya dengan dirjen bea dan cukai mengembalikan jabatan itu setelah 3,5 tahun. Posisi dirjen bea dan cukai diisi oleh pejabat baru sejak September 1988.
Perlahan, reformasi di Bea Cukai menunjukkan hasil. Bea Cukai pun mengembangkan sebuah sistem yang disebut CFRS (Customs Fast Release System) untuk memeriksa barang impor. Sistem itu diuji coba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dan kemudian diberlakukan di seluruh Indonesia sejak 1 Desember 1990.
Ditjen Bea dan Cukai pun mulai 1 Agustus 1991 memasuki masa transisi karena diberikan hak untuk memeriksa semua barang ekspor dan impor di dalam negeri, yaitu di pelabuhan Indonesia. Perusahaan patungan akan dibentuk SGS bersama Pemerintah Indonesia dan PT (Persero) Sucofindo, yaitu PT Surveyor Indonesia yang diprogram untuk menggantikan tugas SGS.
Menteri Keuangan JB Soemarlin memperingatkan keputusan pemerintah menyerahkan tugas pemeriksaan barang ekspor-impor kepada Ditjen Bea dan Cukai itu (bersama PT Surveyor Indonesia) bisa ditarik kembali jika berbagai penyelundupan dan penyimpangan selama pemeriksaan tetap terjadi.
Di masa Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad, perjanjian kerja antara PT Surveyor Indonesia dan pemerintah diakhiri mulai 1 April 1997, bersamaan dengan pemberlakuan UU Kepabeanan dan UU Cukai. Kepabeanan dan tata laksana impor dikembalikan sepenuhnya ke kewenangan Ditjen Bea dan Cukai. (Kompas, 31/3/1997)
Pengembalian wewenang ini merupakan kepercayaan pemerintah pada Bea Cukai setelah melalui perjalanan dan pengamatan panjang. Selama 12 tahun kewenangan Bea Cukai dicabut dan ditata ulang.
Apakah kasus yang marak terjadi sekarang dan rencana evaluasi dari pemerintah akan mengulang kembali kondisi Bea Cukai yang tanpa kewenangan seperti periode 1985-1997? Kita tunggu kebijakan hasil evaluasi pemerintah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Sorotan Publik ke Bea Cukai Belum Juga Surut, Keluhan Viral hingga Pencopotan Kepala Kantor