Catatan Hari Kartini: Perbaikan Ketimpangan Jender Masih Belum Merata
Indeks Ketimpangan Gender menurun selama lima tahun, tetapi ada enam provinsi yang indeksnya meningkat.
Secara nasional, Indeks Ketimpangan Gender menurun dalam lima tahun terakhir. Namun, terdapat enam provinsi yang indeksnya justru meningkat dan sebagian provinsi memiliki indeks ketimpangan di atas rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan perbaikan kesetaraan perempuan di Tanah Air belum merata.
Seberapa jauh perempuan mencapai kesetaraan dari sudut pandang sosial-budaya, ekonomi, politik, dan pemerintahan masih menjadi pembahasan yang terus diperbincangkan. Dibandingkan masa RA Kartini, tentu sudah banyak perubahan dan kemajuan.
Bahkan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyebutkan, perjuangan terhadap hak-hak perempuan selama lebih dari 50 tahun terakhir di berbagai belahan dunia merupakan kisah kemajuan. Perempuan dan anak perempuan telah menghancurkan hambatan, mematahkan stereotipe, dan mendorong kemajuan menuju dunia yang lebih adil dan setara.
Namun, seiring dengan perubahan zaman dan dinamika yang menyertainya, perhatian terhadap kebutuhan perempuan tetap relevan diperjuangkan. Diskriminasi, stigma, stereotipe, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan masih terjadi. Sulit mewujudkan kesetaraan yang sempurna setelah ribuan tahun dominasi laki-laki terus membentuk masyarakat hingga sekarang.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia terus menurun dalam lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan ketimpangan jender semakin menyempit atau kesetaraan semakin membaik.
Jika pada tahun 2018 angka IKG berada di level 0,499, pada tahun 2022 menjadi 0,459. Dalam skala 0 hingga 1, indeks yang mendekati angka 0 menunjukkan antara perempuan dan laki-laki semakin setara. Sebaliknya, semakin mendekati angka 1, kesenjangan antara perempuan dan laki-laki semakin lebar.
IKG mengukur tiga dimensi, yaitu dimensi kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja. Pengukuran indeks dengan tiga dimensi ini merujuk pada pengukuran Gender Inequality Index (GII) yang dilakukan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan masuk dalam publikasi tahunan Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Reports).
Tiga dimensi itu diturunkan ke dalam lima indikator. Pada dimensi kesehatan reproduksi terdapat dua indikator, yakni indikator perempuan melahirkan hidup tidak di fasilitas kesehatan dan indikator melahirkan hidup pertama berusia kurang dari 20 tahun.
Pada dimensi pemberdayaan juga terdapat dua indikator, yaitu indikator keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dan jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan SMA ke atas. Adapun pada dimensi pasar tenaga kerja dilihat dari indikator tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja.
Baca juga: Kesetaraan Jender Membaik, tetapi Butuh Penguatan
Target SDGs
Empat indikator dalam tiga dimensi tersebut mengacu pada Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) UNDP. Pertama, mengurangi rasio kematian ibu menjadi kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Kedua, menjamin akses universal terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi.
Ketiga, menjamin partisipasi perempuan secara penuh dan efektif serta kesempatan yang sama untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik.
Keempat, meningkatkan secara substansial jumlah pemuda dan orang dewasa yang memiliki keterampilan relevan, termasuk keterampilan teknis dan kejuruan, untuk mendapatkan pekerjaan, pekerjaan yang layak, dan kewirausahaan.
Menurunnya IKG Indonesia disumbang oleh perbaikan terutama pada indikator perempuan melahirkan anak hidup tidak di fasilitas kesehatan yang angkanya terus turun, dari 0,214 (2018) menjadi 0,140 (2022).
Juga indikator perempuan yang dapat menikmati pendidikan SMA ke atas yang terus meningkat dari 30,99 persen (2018) menjadi 36,95 persen (2022) serta tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja yang juga terus meningkat dari 51,80 persen (2018) menjadi 53,41 persen (2022).
Pada indikator perempuan melahirkan hidup pertama berusia kurang dari 20 tahun indeksnya meningkat dari 0,214 (2018) menjadi 0,265 (2022). Artinya, kematian bayi pada perempuan yang berusia kurang dari 20 tahun bisa ditekan. Namun, hal itu juga dapat menjadi indikasi masih banyaknya perempuan yang menikah pada usia dini, kurang dari 20 tahun.
Pada indikator keterwakilan perempuan di lembaga legislatif persentasenya cenderung meningkat walaupun pada tahun 2022 angkanya sedikit menurun. Persentase keterwakilan perempuan di lembaga legislatif pada tahun 2021 tercatat 21,89 persen, sedangkan pada tahun 2022 angkanya 21,74 persen.
Tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif ini masih jauh dari syarat pencalonan di parlemen yang mencapai 30 persen. Hal ini menjadi tantangan tersendiri mengingat masih lemahnya politik afirmasi terhadap keterwakilan perempuan di parlemen.
Kaderisasi perempuan masih dianggap sebagai beban oleh partai politik dan keterwakilan perempuan belum menjadi kebijakan yang terinternalisasi dalam kelembagaan partai politik.
Baca juga: International Women’s Day dan Keterwakilan Perempuan Indonesia dalam Parlemen
Tingkat provinsi
Capaian IKG di tingkat provinsi selama periode 2018-2022 secara umum mengindikasikan perbaikan ketimpangan jender yang semakin baik. Pada tahun 2022, ketimpangan jender yang paling rendah dicapai oleh DI Yogyakarta (0,240), diikuti DKI Jakarta (0,320), Bali (0,321), Jawa Tengah (0,371), dan Sulawesi Selatan (0,390).
Urutan ini berbeda dibandingkan tahun 2018. Saat itu ketimpangan jender yang paling rendah dicapai oleh DI Yogyakarta (0,220), diikuti Bali (0,262), DKI Jakarta (0,300), Kepulauan Riau (0,386), dan Jawa Tengah (0,389).
Pada tahun 2018 terdapat 19 provinsi yang IKG-nya berada di atas IKG nasional yang di angka 0,499. Provinsi yang ketimpangan jendernya paling tinggi terdapat di Papua Barat (0,594), Kepulauan Bangka Belitung (0,587), dan Kalimantan Barat (0,582).
Pada tahun 2022 masih terdapat 19 provinsi yang IKG-nya juga berada di atas IKG nasional yang di angka 0,459. Provinsi yang ketimpangan jendernya paling tinggi bergeser ke Nusa Tenggara Barat (0,648), diikuti Jambi (0,540) dan Papua Barat (0,537).
Meski demikian, dalam periode 2018-2022 tersebut, sebagian besar provinsi sudah mengalami penurunan ketimpangan jender. Hanya terdapat enam provinsi yang mengalami kenaikan indeks ketimpangan, yaitu Aceh (dari 0,503 ke 0,504), Kepulauan Riau (dari 0,386 ke 0,395), DKI Jakarta (dari 0,300 ke 0,320), DI Yogyakarta (dari 0,220 ke 0,240), Bali (dari 0,262 ke 0,321), dan Nusa Tenggara Barat (dari 0,577 ke 0,648).
Masih cukup panjang jalan yang ditempuh untuk memperbaiki ketimpangan jender yang merata di seluruh Tanah Air. Untuk itu, mengutip pesan dari Sekjen PBB Antonio Guterres, kita membutuhkan investasi ke sektor-sektor publik dan swasta dalam menghadirkan program-program untuk mengakhiri diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu, penting untuk memastikan pekerjaan yang layak dan mendorong inklusivitas dan kepemimpinan perempuan dalam berbagai hal, termasuk dalam teknologi digital, perdamaian, aksi iklim, dan di semua sektor ekonomi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Keterwakilan 30 Persen Perempuan di Parlemen Masih Sebatas Asa