International Women’s Day dan Keterwakilan Perempuan Indonesia dalam Parlemen
Sejak Pemilu 1955, keterwakilan perempuan Indonesia di DPR belum mencapai kuota 30 persen.
Oleh
KENDAR UMI KHULSUM
·6 menit baca
Belum tercapainya kuota keterwakilan perempuan ini terlihat dari data jumlah anggota DPR yang disusun Badan Pusat Statistik dan Komisi Pemilihan Umum. Sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
Persentase keterwakilan perempuan di parlemen ini terus meningkat dari pemilu ke pemilu. Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen. Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
Pascareformasi, keterwakilan perempuan menunjukkan tren peningkatan. Sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019, proporsi keterwakilan perempuan berada dalam rentang 8,8-20,5 persen. Jumlah terbanyak keterwakilan perempuan terdapat dari hasil Pemilu 2019. Terdapat 120 perempuan yang berhasil duduk di kursi DPR periode 2019-2024 atau setara dengan 20,5 persen dari total anggota DPR.
Daerah dengan caleg perempuan terpilih terbanyak ada di luar Pulau Jawa. Dari sebaran daerah pemilihan, dapil terbanyak yang menyumbang caleg terpilih perempuan ialah dapil Bengkulu, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara dengan persentase keterpilihan di atas 66 persen. Selain peningkatan jumlah perempuan, Pemilu 2019 juga menciptakan sejarah terpilihnya perempuan sebagai Ketua DPR, yaitu Puan Maharani (PDI-P).
Sedikit berbeda dengan DPR, komposisi anggota Dewan Perwakilan Daerah hasil Pemilu 2019 memperlihatkan jejak tercapainya kuota keterwakilan perempuan. Ada 42 perempuan yang berhasil lolos menjadi anggota DPD periode 2019-2024. Jumlah ini 31 persen dari total 136 anggota DPD. Persentase itu mengalami kenaikan dibandingkan pada Pemilu 2014 (26 persen).
Kebijakan afirmasi
Secara umum, sejak Pemilu 1955, keterwakilan perempuan Indonesia di parlemen masih cenderung minim. Riset Bank Dunia pada tahun 2019 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-7 se-Asia Tenggara dengan tingkat keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Sejumlah upaya dilakukan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen. Pemerintah era Presiden Soekarno telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan.
Di dalamnya diatur mengenai perwujudan kesamaan kedudukan (nondiskriminasi), jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.
Langkah lain ialah melalui kebijakan afirmasi (affirmative action) berupa kebijakan, peraturan atau program khusus untuk mempercepat persamaan posisi dan kondisi yang adil bagi kelompok termarjinalkan dan dilemahkan secara politik, termasuk perempuan.
Di Indonesia, kebijakan afirmasi dimulai dengan ratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination against Women) ke dalam UU No 7 Tahun 1984, bahwa negara menjamin perlindungan bagi perempuan di segala sektor, di antaranya bidang politik.
Kebijakan afirmasi kuota minimal 30 persen ini memberikan ruang politik lebih besar. Kebijakan ini bertujuan memastikan bahwa perempuan sebagai kelompok minoritas kritis yang ditetapkan sebagai tindakan temporer atau sementara sampai hambatan-hambatan terhadap masuknya perempuan dalam ranah politik dapat disingkirkan.
Sistem kuota ini bertujuan untuk meningkatkan perwakilan perempuan karena banyak problem yang menghambat partisipasi perempuan dalam politik, sementara jumlah pemilih perempuan sangat besar.
Perjuangan afirmasi disetujui dengan menitikberatkan tiga hal, yaitu kuota perempuan dalam kepengurusan partai, kuota perempuan dalam pencalonan legislatif, dan kuota perempuan dalam keterwakilan lembaga legislatif.
Kebijakan afirmasi (affirmative action) untuk perempuan di bidang politik dikukuhkan dalam perubahan UUD 1945 melalui UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.
Di sini partai politik peserta berkewajiban memperhatikan keterwakilan perempuan 30 persen dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU No 12 Tahun 2003 Pasal 65 Ayat (1) menyatakan bahwa ”Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”.
Aturan tentang afirmasi 30 persen kemudian disempurnakan dalam RUU Paket Politik yang digunakan dalam Pemilu 2009, yaitu UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Kebijakan ini tetap berlaku pada Pemilu 20124. UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan, daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.
Peluang pada Pemilu 2024
Kebijakan afirmasi sedikit banyak memaksa partai politik untuk bekerja keras mewujudkan tindakan afirmasi di partainya. Pada Pemilu 2024, KPU telah menetapkan daftar calon tetap (DCT) untuk anggota DPR sebanyak 9.917 orang dari 18 partai politik. Sebanyak 37,13 persen (3.676 orang) merupakan caleg perempuan.
Secara umum, semua parpol peserta Pemilu 2024 sudah memenuhi syarat menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan. Partai yang banyak mengajukan caleg perempuan ialah Partai Garuda (41,4 persen), Partai Bulan Bintang (41,06 persen), dan Partai Ummat (40,04 persen).
Hasil penghitungan sementara KPU per 27 Februari 2024 (sebelum laman Sirekap ditutup) memperlihatkan perolehan suara sejumlah caleg perempuan yang berpotensi lolos ke DPR. Ketua DPR Puan Maharani yang mencalonkan dari PDI-P di dapil Jateng V sedikitnya telah mendapatkan 187.929 suara.
Dari dapil Sumatera Utara 1, politisi Golkar, Meutya Hafid, sedikitnya mendapatkan 147.004 suara. Kemudian, ada politisi muda Demokrat, Hillary Brigitta Lasut, yang mendapatkan 187.710 suara di dapil Sulawesi Utara.
Caleg lain ialah Anggia Erma Rini (PKB) yang mendapatkan 120.123 suara di dapil Jatim 6, My Esti Wijayati (PDI-P) dengan 119.590 suara di dapil DIY, Novita Wijayanti (Gerindra) dengan 115.214 suara di dapil Jateng 8, dan Meitri Citra Wardani (PKS) dengan 96.041 suara di dapil Jatim 8.
Ada pula politisi Golkar yang juga mantan Bupati Tuban, Haeny Relawati, yang memperoleh sedikitnya 146.249 suara di dapil Jatim 9 dan Derta Rohodin (Golkar) dengan 106.386 suara di dapil Bengkulu.
Dari jalur DPD, ada nama Fahira Idris yang sedikitnya memperoleh 409.851 suara dan Happy Farida Djarot (365.222 suara) yang berpeluang lolos menjadi senator dari DKI Jakarta. Di dapil Jateng, muncul nama caleg DPD Casytha A Kathmandu (2.955.663 suara) dan Denty Eka Widi Pratiwi (1.618.954 suara) hingga penghitungan sementara, 5 Maret 2024 pukul 06.00, dengan data masuk 84,72 persen.
Capaian caleg-caleg perempuan tersebut menjadi asa terjaganya keterwakilan perempuan di parlemen, baik DPR maupun DPD. Keterwakilan ini juga sekaligus juga menjadi bagian dari tema besar Hari Perempuan Sedunia 2024 yaitu investasi pada perempuan.
Sekjen PBB Antonio Guterres menyampaikan negara-negara harus memprioritaskan kesetaraan bagi perempuan dan anak perempuan. Guterres menegaskan kesetaraan bukan hanya masalah hak, melainkan juga merupakan dasar dari masyarakat yang damai dan sejahtera.
Dunia juga perlu meningkatkan jumlah perempuan yang menduduki posisi kepemimpinan. Memiliki perempuan dalam posisi kekuasaan dapat membantu mendorong investasi dalam kebijakan dan program yang merespons realitas perempuan dan anak perempuan (Kompas, 8/3/2024).
Keterwakilan perempuan di parlemen tersebut akan mendorong terjaganya suara kepentingan kaum perempuan di parlemen sehingga gagasan terkait perundang-undangan yang properempuan lebih kuat gaungnya di ruang publik. Bagaimanapun, partisipasi politik menjadi cerminan adanya keadilan dalam demokrasi yang sedang berjalan. (LITBANG KOMPAS)