Tergiur Melihat Kilau Sukses Perantau, Mendominasi 20 Persen Keluarga Terkaya di Jabodetabek
Pada kelompok 20 persen keluarga paling sejahtera di Jabodetabek, sebanyak 54,2 persen di antaranya adalah perantau.
Arus balik Lebaran menjadi momen bagi banyak orang untuk mulai merantau. Siapa yang tak tergiur melihat kilau kesuksesan mereka yang pulang ke kampung halaman. Kesuksesan perantau itu juga tergambar pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik. Pada kelompok 20 persen keluarga paling sejahtera di Jabodetabek, sebanyak 54,2 persen di antaranya adalah perantau.
Bagi banyak orang, hidup merantau jauh dari kampung halaman merupakan pilihan demi harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Kompas menghitung banyaknya keluarga di Indonesia yang masuk dalam kategori keluarga perantau atau pendatang. Berdasarkan data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) Maret 2022, diketahui dari total 72,8 juta keluarga, sebanyak 13,9 persen atau 10,1 juta di antaranya merupakan keluarga perantau.
Baca juga: Asam Garam, Kisah Para Perantau di London
Kategori keluarga perantau diperoleh dari status setiap kepala dan anggota keluarga yang tidak lahir di provinsi tempat tinggalnya saat ini. Kategori ini termasuk dalam keluarga perantau lebih dari lima tahun.
Selain itu, ada juga kategori keluarga perantau kurang dari lima tahun karena baru pindah ke provinsi domisili sekarang kurang dari periode waktu tersebut. Angkanya tidak terlalu besar, yaitu 5,5 persen dari total 10,1 juta keluarga perantau.
Baca juga: Urgensi Mengelola Arus Migrasi dari Tingkat Kota/Kabupaten
Dua kategori keluarga perantau itu membentuk pola kondisi kesejahteraan yang hampir sama. Keduanya menunjukkan persentase yang semakin besar dari kelompok keluarga paling miskin hingga keluarga paling sejahtera. Hal ini dituangkan ke dalam desil. Desil 1 berarti termiskin dan Desil 10 adalah kelompok paling sejahtera.
Dari 10 kelompok kesejahteraan itu, hanya 3,3 persen keluarga perantau yang masuk dalam Desil 1. Angka tersebut terus meningkat di desil-desil di atasnya hingga di Desil 10 yang mencapai 20,9 persen.
Jika dilihat lebih detail, sebanyak 3,5 persen keluarga perantau kurang dari lima tahun masuk di Desil 1. Angka tersebut terus meningkat hingga di Desil 10 yang mencapai 30,9 persen.
Ukuran kesejahteraan keluarga ini dilihat dari pengeluaran per kapita per bulan di setiap keluarga. Kelompok ini juga disebut desil yang terbagi menjadi 10. Desil 1 hingga 4 masuk dalam 40 persen keluarga dengan pengeluaran per kapita terkecil di Indonesia. Desil ini masuk dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DKTS) sebagai panduan daftar penerima bantuan sosial pemerintah.
Baca juga: Daerah Tujuan Migrasi Menyimpan Banyak Masalah
Setelah itu ada Desil 5-8 yang masuk dalam 40 persen keluarga dengan pengeluaran per kapita menengah di atas Desil 1-4. Terakhir, ada Desil 9-10 yang termasuk dalam 20 persen keluarga dengan pengeluaran per kapita teratas atau dapat juga disebut keluarga paling sejahtera.
Rentang pengeluaran per kapita Desil 1 hingga 4 yaitu antara Rp 427.000 hingga Rp 985.000 per bulan. Desil 5 hingga 8 di rentang Rp 986.000 hingga Rp 2,1 juta per bulan. Adapun Desil 9-10 lebih dari Rp 2,2 juta per bulan. Pengeluaran ini termasuk untuk kebutuhan sehari-hari, baik makanan maupun non-makanan.
Baca juga: Layanan Daring dan Luring Jangkau Perantau di Kota Tangerang
Provinsi kesuksesan
Terdapat sejumlah provinsi menjadi lokasi tujuan yang berhasil mengantarkan banyak keluarga perantau masuk ke dalam Desil 9-10. Peringkat pertama ada Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dengan persentase keluarga perantau di Desil 9-10 sebanyak 54,2 persen, disusul Provinsi Nusa Tenggara Barat sebanyak 53,3 persen, Yogyakarta 44,6 persen, serta Kepulauan Riau dan Papua sama-sama 43,7 persen.
Keberhasilan perantau di sejumlah provinsi tujuan itu turut diceritakan Benny (61) warga Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam, Kepulauan Riau. Benny merupakan warga kelahiran Yogyakarta yang merantau ke Batam sejak 2001.
Keahlian Benny di bidang desain grafis membuatnya memiliki banyak kesempatan bekerja di Batam. Ditambah lagi, kala itu, di Batam sedang bermunculan perusahaan-perusahaan baru yang membutuhkan jasa desain untuk media periklanan di berbagai media cetak.
Baca juga: Jateng, Sumber Pemudik dan Kaum Migran Terbesar di Indonesia
Rezeki Benny di tahun-tahun awal perantauan juga berkat keahliannya. Setahun merantau, ia berhasil memenangkan juara pertama lomba desain logo yang diadakan Batam Center Mall, pusat perbelajaan terbesar di Batam waktu itu. Hadiahnya cukup besar sehingga dapat ia gunakan untuk membeli rumah.
“Aku bisa beli rumah berkat juara pertama lomba logo Batam Center Mall, mal pertama di Batam. Setelah itu, aku dicari banyak orang untuk diajak bekerja sama,” jelas Benny.
Menurut Benny, kesempatan bekerja di kota perantauan selalu ada selagi memiliki bakat maupun kemampuan unik yang terus diasah dan ditonjolkan. Ia mengaku nekat merantau, meski ia tidak lulus kuliah S1, namun ia yakin bisa berhasil.
Baca juga: Kerasnya Jakarta di Mata Perantau
Kini, Benny bersama istri dan tiga anaknya dapat diklasifikasikan ke dalam keluarga desil sejahtera yaitu Desil 9-10. Menurut perhitungan Benny, rata-rata pengeluaran setiap anggota di keluarga bisa lebih dari Rp 1-2 juta tiap bulan. Meski demikian, ia mengaku cukup untuk memenuhinya.
Tidak leluasa
Pengalaman Benny di Batam tergambar juga pada keluarga perantau yang masuk ke Desil 9-10 di awal masa merantau. Provinsi dengan jumlah perantau kurang dari lima tahun yang paling banyak masuk Desil 9-10 adalah Kepulauan Riau, yakni sebesar 70,4 persen.
Kemudian disusul Yogyakarta sebesar 68,1 persen, Papua 61,9 persen, Jabodetabek 57 persen, dan Sulawesi Tengah 56,5 persen.
Baca juga: Kisah Tukang Jahit, Kaki Bergoyang Duit Datang
Meski masuk dalam Desil 9-10 di awal masa merantau, nyatanya belum semua perantau merasa betul-betul sejahtera. Setidaknya hal ini yang dirasakan Bram (26) warga Rempoa, Kota Tangerang Selatan, Banten. Bram merupakan warga kelahiran Semarang dan merantau ke Jabodetabek sejak 2022.
Dua tahun merantau, pengeluaran per kapita rata-rata Bram, istri, dan seorang anak bisa mencapai lebih dari Rp 2 juta per bulan. Secara perhitungan, Bram dan keluarga sudah masuk Desil 9-10 atau keluarga sejahtera. Biaya hidup di Jabodetabek yang relatif tinggi membuat Bram merasa kondisi ekonomi keluarganya masih tidak leluasa.
Baca juga: Jabodetabek, Magnet bagi Perantau
“Kalaudibilang cukup, ya cukup, karena cukup itu relatif. Namun, sebenarnya lebih cocok dikatakan tidak leluasa. Dengan penghasilan yang aku dapat untuk kebutuhan keluarga rasanya tidak leluasa," jelas Bram.
Menurut Bram, kesempatan bekerja di kota perantauan selalu terbuka lebar, walaupun susah-susah gampang. Modalnya yaitu pendidikan tinggi dan pengalaman bekerja. Bram mengaku tidak butuh waktu lama dari pekerjaan sebelumnya hingga mendapatkan pekerjaannya saat ini di Jakarta.
Meski demikian, untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan besar, sudah banyak lamaran pekerjaan Bram yang ditolak. Ia tidak patah arang untuk terus berusaha memasukkan banyak lamaran di lowongan-lowongan pekerjaan yang tersedia hingga akhirnya ada yang kecantol.