Sidang MK, Abduktif, dan Profetik
Etika menjadi cabang filsafat yang mengajak para hakim untuk melihat entitas tak teramati ke dalam pertimbangannya.
Dalam proses sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), pertimbangan etika menjadi salah satu hal yang dipersoalkan. Lebih luas lagi, para saksi menggunakan penalaran abduktif dalam argumennya kepada para hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Terlepas dari putusan MK pada 22 April 2024, publik semestinya dapat memahami alur dan penalaran logika di dalamnya.
Sepekan lalu, Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno menyampaikan pertimbangan etika dalam sidang PHPU di MK (2/4/2024). Franz Magnis pun menyoroti terjadinya sejumlah pelanggaran etika dalam Pemilu 2024.
Pelanggaran etika itu, salah satunya, terkait pendaftaran Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden. Romo Magnis juga menggarisbawahi adanya keberpihakan Presiden dalam Pemilu 2024 dan penyalahgunaan kekuasaan dengan berpihak ke salah satu pasangan calon dan praktik kebijakan bansos.
Landasan etis menjadi tawaran Franz Magnis bagi hakim MK untuk mengkaji kembali hukum agar kembali pada norma hukum yang mengikatnya. Norma hukum mengandaikan pengertian, yang hanya dimiliki manusia. Itulah sebabnya, Franz Magnis menegaskan demarkasi yang jelas terkait etika sebagai yang membedakan manusia dengan binatang.
Persoalan etis yang disinggung Franz Magnis tentu masih dapat dibahas panjang lebar, terutama bila merujuk pada Etika Politik (1987) yang ia tuliskan.
Namun, hakim MK berpegang pada actori in cumbit probatio, siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Di sinilah letak persoalan lebih lanjut, oleh kubu kontra, pandangan Franz Magnis direduksi sebagai opini asumtif karena tidak ada bukti yang memadai sebagai landasan putusan.
Di satu sisi, dikenal postulat in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores, bahwa dalam perkara pidana, bukti-bukti itu harus lebih terang daripada cahaya.
Aksioma tersebut juga santer digunakan pada sidang sengketa Pilpres 2019. Secara singkat, diperlukan sebuah bukti yang tidak terbantahkan untuk menjatuhi seorang terduga pelaku dengan hukuman dalam sebuah produk hukum, begitu pula dalam persoalan pencalonan pilpres yang lalu.
Di sisi lain, hakim dapat menarik kesimpulan berdasarkan circumstantial evidence atau bukti yang dihadirkan (fisik atau kejadian) dalam persidangan yang tidak berasal dari pengamatan langsung saksi mata ataupun partisipan dalam sebuah perkara. Namun, penyimpulan ini tampaknya dihindari dalam perkara PHPU karena rawan penyelewengan kekuasaan.
Sebab, circumstantial evidence tidak memiliki parameter yang jelas mengenai jumlah bukti yang dapat menjadi dasar penyimpulan putusan. Lagi pula, sistem hukum Indonesia menganut asas Negative Wettelijk Bewijstheorie, bahwa putusan diperoleh berdasarkan minimal dua alat bukti ditambah keyakinan hakim.
Signifikansi alat bukti beserta dan putusan itu sendiri akhirnya tetap berlandaskan pada kebijaksanaan majelis hakim yang menangani perkara.
Secara filosofis, kebenaran yang dihasilkan dari penarikan kesimpulan circumstantial evidence memiliki sifat spekulatif. Kebenaran tersebut bersifat spekulatif lantaran tidak secara an sich diperoleh melalui pengamatan positif yang bersumber dari realitas yang teramati secara an sich, melainkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang logis.
Hasilnya, kendati kebenaran yang diperoleh berdasarkan circumstantial evidence dapat disebut logis (sesuai dengan premis logika), tetapi kebenaran tersebut belum tentu sesuai dengan realitas.
Baca juga : Franz Magnis: Memalukan, Presiden Gunakan Kekuasaan untuk Keluarga
Penalaran abduktif
Penalaran dalam circumstantial evidence biasa digunakan untuk mencari jawaban atau penjelasan dari suatu fenomena yang kompleks. Jenis logika ini masuk dalam penalaran abduksi, sebagai perluasan dari penalaran deduksi dan induksi. Perbedaannya terletak pada garansi kebenaran inferensinya.
Misalnya, terdapat susunan premis demikian: (1) Umumnya angsa berwarna putih/ (2) Saya melihat angsa/ (3) Maka, angsa yang saya lihat berwarna putih.
Ini adalah contoh penalaran induktif yang kebenaran inferensinya (3), kemungkinan besar benar, tapi masih meninggalkan celah kesalahan (misalnya, ternyata angsa itu berwarna hitam). Letak celah kesalahan tersebut dapat dikaji dari premis yang disusunnya (1).
Penalaran induktif biasanya bersifat probabilistik dan statistis sehingga masih terdapat celah ketidakpastian garansi kebenaran. Ini umumnya digunakan dalam kerangka analisis angka statistik, survei, dan sebagainya.
Induksi itu terbatas pada kemampuan kita dalam mencerap realitas, entah itu berasal dari keterbatasan berpikir sebagai manusia dan tidak adanya perangkat epistemik yang memadai untuk menjamin kesimpulan.
Adapun abduksi adalah penarikan kesimpulan terbaik dalam suatu peristiwa daripada berfokus pada eviden yang ada dalam premis. Umumnya, penalaran abduksi menggunakan pertimbangan eksplanatoris yang menuntun pada inferensi (simpulan).
Contoh singkat abduksi eksplanatoris: di tengah malam, Andi berkeringat dingin, dan mukanya mulai terlihat pucat. Andi berkesimpulan bahwa ada makhluk halus di sekitarnya. Padahal, sama seperti penalaran induktif, penalaran abduktif tidak dapat menjamin suatu kepastian apa pun. Dalam contoh tadi, misalnya, alih-alih ada makhluk halus, ternyata Andi seharian belum makan sesuap pun.
Walakin, penalaran abduksi akan bekerja pada ranah yang tepat. Penalaran abduksi hanya mungkin bekerja di dalam paradigma yang mengizinkan dimasukkannya ”entitas tak teramati” ke dalam upaya pengambilan simpulan.
Filsafat (termasuk etika di dalamnya), astronomi, hingga fisika merupakan ranah yang mengizinkan penalaran abduktif dalam arti memasukkan entitas tak teramati ke dalam pertimbangannya. Misalnya, diskursus metafisika dalam filsafat atau eksistensi materi gelap dalam astronomi.
Penalaran abduksi memijakkan kakinya pada inferensi terhadap premis-premis yang perlu untuk ada, bukannya pasti ada. Inilah sebabnya, kembali pada sidang perkara sengketa PHPU, pembahasan etika (ranah filsafat) sebenarnya mem-postulat-kan unsur-unsur yang seharusnya sudah ada dalam kehidupan bernegara, seperti demokrasi, kedaulatan rakyat, dan sebagainya.
Baca juga : Pelanggaran Etik Berulang, Menggerus Kepercayaan Publik
Profetik
Masalah selanjutnya, keputusan hakim tidak dapat menyatakan bahwa seseorang kemungkinan bersalah. Keputusan seorang hakim hanya terletak pada dua kutub, antara terbukti secara sah serta meyakinkan bersalah dan tidak sama sekali tidak bersalah.
Hal ini berbeda, misalnya, dengan filsuf yang secara sahih dapat menyatakan, mungkin praktik hukum atas suatu perkara tidak dilandasi oleh etika.
Hakim bukan filsuf yang dapat berbicara tentang sesuatu yang mungkin, tetapi hakim harus membumikan kepastian hukum di hadapan ketidakpastian realitas.
Jika filsuf bertanggung jawab menyuarakan pesan profetik mengenai permasalahan etika, maka hakim pun bertanggung jawab menjalankan tugas serta wewenangnya seturut etika profesinya. Itulah sebabnya dikenal juga hukum profetik, yang menjunjung nilai moral dan realitas ketika hukum formal tidak mengakomodasinya.
Sampai di titik ini, sebenarnya patut diajukan kembali ke pertanyaan yang substansial. Apakah hukum dapat disamakan dengan keadilan? Atau, dengan lebih sederhana, apakah produk hukum selama ini sudah mampu bersikap adil terhadap pihak-pihak yang memiliki perkara?
Berkaca sekilas, pada 4 April 2024, keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jepara, Jawa Tengah, menyatakan Daniel Frits Maurits Tangkilisan (aktivis lingkungan) bersalah dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Daniel dijatuhi vonis pidana penjara selama 7 bulan dan denda Rp 5 juta, subsider 1 bulan. Alasannya, ia berkomentar di media sosial terkait pencemaran limbah tambak udang di Pantai Cemara, Karimunjawa. Sementara menurut majelis hakim, komentar Daniel telah menimbulkan rasa kebencian dan ketersinggungan bagi sekelompok orang.
Secara tidak langsung, baik Franz Magnis maupun Daniel Frits telah membawa pesan profetik bagi tata hukum negara dan praktiknya.
Tuntutan keadilan dapat diterjemahkan ke dalam tuntutan bahwa hukum harus sesuai mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat yang bersangkutan (Franz Magnis, 1987). Tampaknya, Indonesia masih membutuhkan hakim profetik. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Sastra Mudik dan Kerinduan Pulang