Franz Magnis: Memalukan, Presiden Gunakan Kekuasaan untuk Keluarga
Romo Magnis menyebut sikap presiden yang gunakan kekuasaan untuk kepentingan keluarga merupakan sesuatu yang memalukan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno menyampaikan, sikap seorang presiden yang menggunakan kekuasaan demi keuntungan keluarganya merupakan sesuatu hal yang memalukan. Tak hanya menandakan kurangnya wawasan, sikap itu juga membuktikan bahwa presiden tersebut hanya memikirkan diri sendiri dan keluarganya.
”Kalau seorang presiden memakai kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh bangsanya untuk menguntungkan keluarganya sendiri, itu amat memalukan,” kata Franz Magnis-Suseno dalam sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Guru Besar Filsafat yang dikenal dengan panggilan Romo Magnis itu hadir di sidang MK sebagai salah satu ahli yang diajukan oleh tim hukum pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Dalam sidang lanjutan perkara PHPU pilpres itu, tim Ganjar-Mahfud menghadirkan sembilan ahli untuk memberikan keterangan di hadapan mahkamah.
Kalau seorang presiden memakai kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh bangsanya untuk menguntungkan keluarganya sendiri, itu amat memalukan.
Presiden, kata Romo Magnis, sejatinya adalah penguasa seluruh masyarakat, sehingga seharusnya sadar bahwa keselamatan seluruh bangsa menjadi tanggung jawabnya. ”Seorang presiden harus menjadi milik semua, bukan hanya milik mereka yang memilihnya. Kalaupun ia berasal dari satu partai, begitu menjadi presiden, segenap tindakannya harus demi keselamatan semua,” ujarnya.
Romo Magnis melanjutkan, ”Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat presiden menjadi mirip pemimpin dari organisasi mafia.”
Dalam kaitannya dengan pentingnya posisi presiden, Romo Magnis menyampaikan, sebagai penguasa tertinggi, presiden dituntut memiliki standar etika yang tinggi. Etika presiden tersebut sudah dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945.
Langgar etika berat
Franz Magnis pun menyoroti terjadinya sejumlah pelanggaran etika dalam Pemilu 2024. Salah satunya pendaftaran Gibran Rakabumiung Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden. Ia mengutip putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan adanya pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh KPU karena menerima pendaftaran Gibran tanpa merevisi Peraturan KPU.
”Sudah jelas, mendasarkan diri pada suatu keputusan yang diambil dengan pelanggaran etika yang berat merupakan pelanggaran etika berat sendiri,” katanya.
Romo Magnis juga menyoroti keberpihakan Presiden dalam Pemilu 2024 dan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Menurut dia, Presiden boleh saja memberitahukan bahwa dirinya berharap salah calon menang. Akan tetapi, saat Presiden memakai kedudukan dan kekuasaannya untuk memberi petunjuk kepada aparatur sipil negara (ASN), polisi, dan militer agar mendukung salah satu calon, maka Presiden telah melanggar etika secara berat yang dituntut darinya.
Terkait bantuan sosial (bansos), Franz Magnis mengingatkan bahwa bansos adalah milik bangsa Indonesia, bukan milik presiden. Pembagian bansos menjadi tanggung jawab dari kementerian terkait dan pembagian itu mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
”Kalau presiden berdasarkan kekuasaan begitu saja mengambil bansos untuk dibagi-bagi dalam rangka kampanye calon yang mau dimenangkannya, maka itu mirip karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko. Jadi, itu pencurian. Pelanggaran etika,” tuturnya.
Ketika melanggar etika, berarti presiden telah kehilangan wawasan etika dasar tentang jabatan presiden. ”Bahwa kekuasaan yang ia miliki bukan untuk melayani diri sendiri, melainkan seluruh masyarakat,” ungkapnya.
Ditemui seusai persidangan, kuasa hukum Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan, pihaknya menghormati tim hukum Ganjar-Mahfud yang menghadirkan Romo Magnis. Ia pun menghormati Romo Magnis sebagai seorang filsuf dan rohaniwan Katolik yang memberikan suatu pendapat yang sebenarnya normatif dan filosofis.
Namun, ia menyayangkan beberapa tudingan yang disampaikan, khususnya terkait Presiden melanggar atau melakukan kejahatan. ”Saya kira tidak dalam posisi seperti itu seorang saksi dihadirkan. Memberikan suatu pendapat yang filosofis dan akademis iya, tetapi men-judge seseorang, apalagi presiden dikatakan melakukan kesalahan ini itu. Tapi semuanya kami serahkan kepada majelis hakim dan saya pun juga sebenarnya juga mempertanyakan, tapi saya tidak dijawab oleh beliau,” kata Yusril.