Kekerasan, Memori Kolektif, dan Upaya Membangun Papua
Dialog dengan masyarakat Papua perlu ditingkatkan untuk mencegah meluasnya memori kolektif masyarakat tentang kekerasan.
Isu tentang konflik Papua selalu timbul dan tenggelam, tanpa ada kejelasan resolusi penyelesaian yang melahirkan perdamaian.
Secara subtil, masyarakat dihadapkan pada perkara pembelaan hak asasi manusia dan kesatuan negara meskipun substansi kedua hal tersebut mengandaikan satu sama lain. Sebelum terburu-buru mencari solusi, masyarakat masih perlu memahami kompleksitas konflik di tanah Papua.
Tersebarnya video aksi penembakan yang dilakukan oleh anggota separatis terhadap personel TNI di Papua memantik kembali perbincangan warganet tentang eksistensi Orang Asli Papua selama ini.
Keadaan menjadi memanas ketika video tertangkapnya anggota separatis oleh anggota TNI juga tersebar di media sosial menyusul aksi penembakan sebelumnya. Adu narasi pun terjadi dan kini terjadi saling adu tantang antara personel TNI dan anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI).
Sebelumnya, pada pengujung 2023, tanah Papua juga mengalami gejolak ketika acara penjemputan jenazah bekas Gubernur Papua Lukas Enembe di Jayapura, 28 Desember 2023.
Kerumunan orang yang membanjiri di sepanjang jalan Bandara Udara Sentani menuju ke lapangan Sekolah Teologi Atas dan Kejuruan Injili (Stakin) Sentani akhirnya bentrok dengan aparat keamanan. Beruntung, kerusuhan akhir tahun itu tidak merembet hingga perpecahan sipil yang ditunggangi isu separatisme.
Kendati begitu, berbagai kekerasan tersebut berpotensi membangkitkan memori kelam terhadap Orang Asli Papua. Memori kolektif sejumlah Orang Asli Papua tertuju pada simbol-simbol identitas bersama seperti bendera Bintang Kejora.
Dalam sejarahnya, bendera Bintang Kejora diperkenalkan pertama kali pada 1961 di Parlemen Papua Barat yang kala itu masih di bawah administrasi Belanda (Hoofd van Plaatselijk Bestuur/HPB).
Pada 1 Oktober 1962, Belanda tercatat menyerahkan otoritas administrasi Papua Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Sebagai badan pelaksana yang ditunjuk PBB, UNTEA bertugas sebagai penengah dalam konflik yang terjadi antara Indonesia dan Belanda dalam perkara kedudukan Papua Barat.
Hampir setahun berselang, tepatnya pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan otoritas administrasi Papua Barat kepada Pemerintah Indonesia. Mekanisme ini berlangsung sebagai salah satu upaya dalam persiapan jajak pendapat yang menentukan nasib rakyat Papua untuk memilih ikut dalam Pemerintah Indonesia atau memisahkan diri seutuhnya.
Selanjutnya pada 14 Juli sampai 2 Agustus 1969, diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) secara bertahap oleh Pemerintah Indonesia yang melibatkan 1.024 orang Papua.
Mereka dipilih mewakili seluruh rakyat Papua sebagai anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) dan menyatakan bergabung dengan Indonesia. Hasil penentuan pendapat ini diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan telah dikukuhkan dengan Resolusi Nomor 2504 Tahun 1969.
Baca juga: Potret Kesejahteraan dan Kekerasan di Papua
Alih media
Selama ini, aksi pengibaran bendera Bintang Kejora, terutama pada 1 Desember, dinilai sebagai propaganda untuk menyuarakan pro-kemerdekaan Papua oleh sejumlah pihak, terutama oleh aparat keamanan.
Tiga tahun lalu, misalnya, Polda Papua mencatat setidaknya ada enam kasus pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2021. Keenamnya terjadi di Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Puncak, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Paniai, dan Kota Jayapura.
Namun, aksi pengibaran bendera tersebut nyatanya juga dilakukan di luar 1 Desember. Momentum HUT Ke-78 Republik Indonesia (17 Agustus 2023) pun tidak luput dari aksi tersebut, seperti yang terjadi di Kelurahan Kamundu, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Di luar pemberitaan media massa dan jangkauan aparat keamanan, pengibaran bendera Bintang Kejora masih dilakukan di distrik-distrik pelosok oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Penggunaan bendera Bintang Kejora dengan cara dikibarkan juga dilakukan pada aksi protes menolak kebijakan Pemerintah Indonesia tentang pemekaran daerah otonom baru (DOB) Papua. Penolakan tersebut adalah respons atas upaya disintegrasi identitas komunal dengan rasionalisasi kedekatan masyarakat Papua dengan rumpun Melanesia yang menempati satu wilayah besar.
Pengibaran bendera Bintang Kejora sempat dilakukan pada saat aksi unjuk rasa penolakan pemekaran Papua berlangsung di Sorong, Papua Barat. Selain itu, pengibaran bendera Bintang Kejora juga terjadi di Sinakma, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) beralasan bahwa kebijakan pemekaran Papua dinilai sebagai upaya yang dipaksakan untuk memekarkan Papua dan tidak berdasarkan aspirasi rakyat Papua.
Nicholaas Jouwe, Wakil Ketua Dewan Nugini, adalah tokoh yang mendesain bendera yang terdiri dari sebuah bintang berlatar merah menyala di sebelah kiri tersebut. Di sisi kanan terdapat tujuh garis biru dan enam garis putih. Garis biru menyimbolkan tujuh suku besar, sedangkan garis putih merujuk gagasan enam provinsi yang bakal dibentuk setelah kemerdekaan.
Hingga kini, desain bendera Bintang Kejora dimaknai berbeda oleh berbagai kalangan. Markus Wonggor Kaisiepo, tokoh kemerdekaan Papua Barat, menilai bahwa warna merah, putih, dan biru merujuk pada Koreri (kepercayaan dalam mitologi Biak). Ketiganya menyimbolkan keyakinan, kedamaian, dan keberanian. Sejumlah sejarawan lainnya menilai bendera Bintang Kejora adalah bendera tanah atau budaya (Landsvlag).
Pada 2007 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Dalam Pasal 6 Ayat 4 dan penjelasan aturan tersebut dinyatakan bahwa aksi pengibaran bendera Bintang Kejora melanggar ketentuan hukum di Indonesia. Lebih lanjut, bendera Bintang Kejora dan logo burung Mambruk bukan lambang daerah, melainkan lambang gerakan separatis di Provinsi Papua.
Ketentuan ini juga ditegaskan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Pasal 1 dan 2 ketentuan tersebut menyebutkan Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai bendera negara. Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bentuk bendera daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Seiring perkembangan, lambang Bintang Kejora kini telah menjadi simbol bersama yang menyatukan Orang Asli Papua pro-kemerdekaan yang terbagi dalam banyak kelompok suku. Entah dimulai sejak kapan, lambang berwarna putih serta burung Mambruk tersebut telah beralih media dan terserap dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Papua.
Lambang tersebut dimodifikasi dalam motif baju, kain, noken, dan atribut lainnya. Gaya modis lambang-lambang tersebut dalam aktivitas sehari-hari merupakan peristiwa yang menguatkan eksistensi pergerakan separatisme dalam ruang publik.
Modifikasi simbol-simbol melalui medium baru yang bisa digunakan ini menggambarkan sikap aparat keamanan yang mewakili Pemerintah Indonesia masih permisif dan masih menyediakan ruang ekspresi bagi Orang Asli Papua yang pro-kemerdekaan Papua.
Lambang tersebut baru dinilai melanggar hukum jika termanifestasi dalam bentuk bendera dan dikibarkan di wilayah Republik Indonesia. Hal ini seperti terlihat saat polisi menangkap 13 orang yang terlibat dalam pengibaran Bintang Kejora di Lapangan Theys Hiyo Eluai, Sentani, Jayapura, pada 1 Mei 2012 dan delapan mahasiswa pengibar bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih, Jayapura, pada 1 Desember 2021.
Terlebih, dari berbagai kasus yang ada, tindak kekerasan dan kerusuhan yang terjadi dalam aksi pengibaran bendera tersebut justru dipicu oleh serangan oknum yang mengibarkan kepada aparat keamanan.
Baca juga: Dinilai Langgar Perikemanusiaan, Usut Tuntas Dugaan Penganiayaan Warga di Papua
Membangun Papua
Berbagai isu negatif dan kekerasan, baik seputar kericuhan pengibaran bendera bintang kejora maupun kericuhan lain yang terjadi di tanah Papua, turut memberikan stigma negatif terhadap Orang Asli Papua.
Berbagai isu kekerasan tersebut telah mengesankan daerah Papua selalu dalam keadaan rawan konflik. Aksi-aksi kekerasan juga kerap disebutkan diduga dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata atau gerakan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka.
Kasus-kasus kekerasan tersebut masih terjadi hingga saat ini. Dalam catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sepanjang Januari-Agustus 2023 sedikitnya terjadi 54 kasus kekerasan di wilayah Papua.
Terakhir, terjadi kontak tembak antara polisi dan kelompok kriminal bersenjata di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, Rabu (22/11/2023). Seorang anggota Brimob gugur dalam kontak senjata tersebut.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah pusat untuk merangkul masyarakat Papua. Pendekatan nonkekerasan terus diupayakan oleh pemerintah pusat agar Orang Asli Papua seutuhnya merasa menjadi bagian dari NKRI.
Pemerintah memberikan kebijakan otonomi khusus Papua yang sudah berlangsung sejak 2001 dengan diikuti dukungan dana otonomi sebesar Rp 104 triliun sepanjang 2001-2021.
Undang-undang otonomi khusus tersebut juga mensyaratkan mereka yang dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur ialah orang asli Papua. Pemekaran Provinsi Papua pun diupayakan dalam rangka percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua.
Di tanah Cenderawasih kini, bapa-bapa Papua masih berjuang mencari uang dan makanan untuk keluarganya. Sementara sebagian mama-mama Papua merajut noken motif Bintang Kejora dan orang muda makin berani berhadapan dengan aparat keamanan.
Karena itu, pemerintah perlu lebih meningkatkan keseriusan dalam berdialog dengan warga Papua, mencegah korupsi, dan memeratakan pembangunan. Segenap upaya ini dilakukan untuk mencegah meluasnya memori kelam kolektif Orang Asli Papua. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Video Beredar, Komnas HAM Dorong Benahi Pendekatan Keamanan di Papua