Merunut Rekam Jejak Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres
Murunut kembali perselisihan hasil pemilihan presiden yang ditangani Mahkamah Konstitusi.
Sejak Mahkamah Konstitusi berdiri, lembaga ini sudah lima kali menangani perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, yakni tahun 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024 ini. Pada empat perselisihan pemilihan presiden sebelumnya, lembaga penjaga konstitusi ini belum pernah mengabulkan gugatan.
Merujuk ketentuan Pasal 24C Ayat (1) dan (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan di empat hal, yakni menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Terkait kewenangan terakhir di atas, MK sampai Pemilu 2024 ini memang sudah menghadapi lima kali perselisihan pemilihan presiden langsung yang digelar sejak 2004.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 menjadi momen pertama bagi MK menangani perkara perselisihan hasil pilpres. Pada Pilpres 2004 ada satu permohonan perselisihan yang diajukan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid.
Pasangan Wiranto-Wahid yang diusung Partai Golkar, PDK, dan Partai Patriot adalah salah satu pasangan dari lima pasangan calon yang berlaga pada Pilpres 2004.
Empat pasangan lainnya adalah pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang diusung PDI-P dan PDS, kemudian pasangan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo yang diusung PAN, PKS, PBR, PNBK, PNIM, dan PBSD.
Dua pasangan lainnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pasangan ini diusung koalisi Partai Demokrat, PBB, dan PKPI. Kemudian pasangan terakhir adalah Hamzah Haz-Agum Gumelar yang diusung PPP. Dari kelima pasangan di atas, hanya pasangan Wiranto-Wahid yang mengajukan permohonan perselisihan ke KPU.
Pasangan Wiranto-Wahid mengajukan permohonan perselisihan karena keberatan dan tidak menerima penetapan KPU terkait hasil pilpres yang menempatkan pasangan ini di urutan ketiga dalam perolehan suara di putaran pertama Pilpres 2004.
Sementara di urutan pertama adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang meraih 60,62 persen suara dan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang meraih 39,38 persen.
Pasangan Wiranto-Wahid menilai rekapitulasi suara yang ditetapkan KPU saat itu merugikan karena pasangan ini kehilangan 5,4 juta suara di 26 provinsi. Untuk itu, pasangan ini mengajukan permohonan ke MK untuk membatalkan hasil penghitungan suara pada putaran pertama yang ditetapkan KPU pada 26 Juli 2004 ini.
Pasangan Wiranto-Wahid juga memohon MK menetapkan hasil penghitungan suara yang benar untuk pasangan ini sebesar 31.721.448 suara dan masuk dua pasangan peraih suara terbanyak untuk lolos ke putaran kedua.
Dari permohonan ini, setelah melalui persidangan, MK kemudian berpendapat bahwa pemohon, yakni pasangan Wiranto-Wahid, tidak berhasil membuktikan dalil tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang mengakibatkan pemohon kehilangan suara 5,4 juta.
MK memandang permohonan pemohon tidak beralasan dan kemudian harus ditolak. Inilah putusan MK yang pertama kali menolak permohonan perselisihan hasil pilpres.
Baca juga: Pamor Mahkamah Konstitusi Dipertaruhkan
Dua permohonan perselisihan pilpres di 2009
Pada Pilpres 2009, MK kembali menerima permohonan perselisihan dari hasil penetapan penghitungan suara dari ketiga pasangan calon yang ada saat itu, yakni pasangan Megawati-Prabowo Subianto, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto.
Dari ketiga pasangan di atas, dua pasangan, yakni Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto, mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilu.
Dalil pemohon saat itu mengenai permasalahan penghilangan 69.000 TPS oleh KPU yang dinilai menguntungkan pasangan SBY-Boediono. Namun, dari hasil persidangan, MK melihat tidak ada bukti yang serta-merta menguntungkan pasangan tersebut.
MK pun pada akhirnya memutuskan menolak permohonan seluruhnya setelah mempertimbangkan dalil-dalil beserta bukti yang diajukan pemohon dalam persidangan. MK menilai permohonan tidak memiliki nilai yuridis. Menurut MK, adanya penambahan perolehan suara pasangan SBY-Boediono yang menjadi pihak terkait dalam PHPU ini tidak terbukti secara hukum.
Pada Pilpres 2014 yang diikuti hanya dua pasangan calon, yakni pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, hasil pemilihan pun diajukan permohonan perselisihan di MK.
Lembaga penjaga konstitusi ini menerima satu perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari pasangan Prabowo-Hatta yang menggugat Keputusan KPU Nomor 53/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilu Presiden dan Calon Wakil Presiden tertanggal 22 Juli 2014.
Dalam permohonannya, pasangan Prabowo-Hatta mengklaim berhasil mengantongi 67.139.153 suara pada Pilpres 2014 lalu. Sementara rivalnya, pasangan Jokowi-Kalla, hanya memperoleh 66.435.124 suara. Dikutip dari laporan tahunan MK, terhadap perkara ini MK memutus menolak seluruhnya.
Menurut MK, seluruh dalil pemohon yang menyatakan terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif pada Pilpres 9 Juli 2014 lalu tidak terbukti.
MK juga melihat dalil terkait daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) yang dinilai dimanfaatkan KPU untuk memobilisasi massa memilih pasangan Jokowi-Kalla di sejumlah provinsi, di antaranya Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur, tidak beralasan menurut hukum.
Putusan menolak seluruh permohonan pun dikeluarkan MK atas permohonan sengketa yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta. Pasangan Jokowi-Kalla pun resmi memenangi pilpres dan dilantik pada 20 Oktober 2014.
Pilihan yang terpolarisasi di pilpres juga terjadi pada 2019 dengan munculnya kembali dua sosok calon presiden yang sebelumnya berkontestasi tahun 2014. Dua pasangan itu adalah Jokowi-Ma'ruf Amin dan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Hasil pilpres menyebutkan, KPU menetapkan dalam putusannya Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 pasangan Jokowi-Amin menjadi pemenang dengan memperoleh 85.607.362 suara (55,50 persen). Sementara pasangan Prabowo-Sandi memperoleh 68.650.239 suara (44,50 persen).
Atas putusan KPU ini, pasangan Prabowo-Sandi merasa tidak puas dengan proses dan hasil pilpres dan mereka pun mendaftarkan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019 ke MK.
Setelah melalui lima kali sidang, MK pun membacakan putusannya pada 27 Juni 2019 dan menyatakan menolak permohonan pasangan Prabowo-Sandi untuk seluruhnya.
Baca juga: Sengketa Hasil Pemilu Menguji MK
Putusan MK belum pernah mengabulkan sengketa pilpres
Dari rekam jejak MK menangani perkara perselisihan pemilihan presiden di atas tampak rekam jejak lembaga ini yang belum pernah sekali pun memutuskan untuk mengabulkan permohonan dari pemohon. Sengketa perselisihan Pilpres 2024 yang saat ini tengah ditangani MK menjadi pengalaman kelima bagi lembaga ini.
Dalam peraturan MK, perkara sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden akan diputus pada 22 April 2024. Saat itu, MK akan menyatakan sah atau tidaknya kemenangan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024.
Mengutip hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 18-20 Maret 2024, publik cenderung memberikan kepercayaan pada MK untuk mampu menyelesaikan perselisihan pilpres ini dengan adil.
Hal ini juga dibarengi dengan pamor lembaga ini yang relatif terjaga dalam persepsi publik setelah pada akhir 2023 lalu menjadi sorotan negatif akibat putusan MK yang kontroversial terkait syarat pencalonan presiden/wapres.
Kepercayaan dan keyakinan publik ini menjadi modal sosial bagi MK untuk mampu menghasilkan putusan yang benar-benar berpijak pada bukti dan fakta sebagai bagian untuk menghasilkan proses pemilihan presiden yang demokratis dan berintegritas.(LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Saatnya Nurani Bicara