logo Kompas.id
RisetPamor Mahkamah Konstitusi...
Iklan

Pamor Mahkamah Konstitusi Dipertaruhkan

Putusan MK terkait syarat usia capres dan cawapres membuat citra lembaga penjaga konstitusi itu dipertaruhkan.

Oleh
YOHAN WAHYU
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/LdrgEeHYmIEdkt5vveM2Xuav51I=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F30%2Fcdb41e5e-fe9d-40b6-aa2d-b404df242867_jpg.jpg

Citra Mahkamah Konstitusi ada di titik terendah. Anjloknya citra MK ini beriringan dengan terbitnya putusan atas perkara uji materi terkait syarat usia pencalonan presiden dan wakil presiden. Terkait putusan itu, Majelis Kehormatan MK kemudian menyatakan ada pelanggaran kode etik hakim konstitusi di dalamnya.

Kesimpulan ini terekam dari hasil survei Litbang Kompas periode Desember 2023. Citra positif Mahkamah Konstitusi berada pada angka 50 persen. Jika merujuk tren citra lembaga dalam 20 kali survei yang digelar sejak Januari 2015, angka itu tercatat paling rendah dalam sejarah penilaian publik terhadap lembaga penjaga konstitusi tersebut.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Rendahnya penilaian publik ini tidak lepas dari sorotan masyarakat terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyatakan usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Putusan yang dibacakan pada 16 Oktober 2023 tersebut memicu reaksi dari publik. Ratusan tokoh berlatar belakang guru besar, agamawan, budayawan, pegiat literasi, pegiat antikorupsi, pemerhati hak asasi manusia, tokoh pendidikan, wartawan, seniman, dan lapisan masyarakat menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan atas putusan MK itu, yang dinilai melanggengkan politik dinasti di Indonesia.

Tuduhan politik dinasti ini tidak lepas dari sosok Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka. Setelah putusan MK tersebut, Gibran kemudian mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tak heran jika kemudian muncul dugaan jika putusan MK ini memang cenderung memberi karpet merah terhadap hadirnya Gibran dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024.

https://cdn-assetd.kompas.id/_YeT2bKFtkRHiH48Mn0bwuuvpI8=/1024x3610/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F18%2F611894f9-05e2-480c-8fed-c289a575fcf8_png.png

Mengutip hasil jajak pendapat Litbang Kompas pertengahan Oktober 2023, fenomena majunya putra sulung Presiden Joko Widodo itu dalam pemilihan presiden dengan menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto dinilai tidak lepas dari praktik politik dinasti.

Setidaknya ini tergambar dari hasil jajak pendapat itu. Sebanyak 60,7 persen responden dalam jajak pendapat itu mengakui bahwa langkah Gibran melaju sebagai bakal calon presiden merupakan bentuk dari praktik politik dinasti oleh Presiden Jokowi.

Sorotan publik makin tajam seiring dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menjatuhkan sanksi etik kepada Anwar Usman berupa pemberhentian dari posisi Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi.

Hal ini terjadi khususnya akibat benturan kepentingan dalam penanganan perkara pengujian syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam perkara 90/PUU-XXI/2023. Anwar adalah saudara ipar Jokowi dan sekaligus paman dari Gibran.

Baca juga : Mulai Redupnya Pamor ”Anak-anak” Reformasi

Perkotaan dan pendidikan

Merosotnya citra MK seiring dengan riuhnya kasus putusan lembaga ini terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden tidak lepas dari masifnya isu ini di kalangan masyarakat dengan pendidikan tinggi yang umumnya tinggal di wilayah perkotaan. Responden yang masuk kategori ini menjadi penyumbang terbesar menurunnya pamor lembaga penjaga konstitusi tersebut.

Hasil survei Litbang Kompas periode Desember 2023 merekam, dari kelompok yang menilai buruk citra MK, separuh lebih dari mereka (56,6 persen) tinggal di wilayah perkotaan.

Hal yang sama juga terlihat dari kelompok responden yang menilai citra MK sangat buruk, sebanyak 67,4 persen adalah responden yang tinggal di kota. Penilaian agak berbeda terekam dari mereka yang menilai citra MK sangat baik. Sebanyak 60 persen dari yang menilai tersebut adalah mereka yang tinggal di wilayah perdesaan.

Kecenderungan yang sama juga terlihat dari aspek latar belakang pendidikan. Mereka yang berpendidikan tinggi cenderung lebih kritis menilai MK. Dari responden yang menilai citra MK sangat buruk, sebanyak 39,1 persen di antaranya berlatar belakang pendidikan tinggi.

Mereka yang dari pendidikan tinggi ini cenderung lebih sedikit yang menilai citra MK baik ataupun sangat baik. Tercatat kurang dari 15 persen dari responden berpendidikan tinggi yang menilai positif MK.

Poster bergambar Presiden Joko Widodo, Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, dan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka yang dibawa massa ikut aksi untuk menyambut Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia dan Hari Anti Korupsi Sedunia di depan Silang Monas, Jakarta, Kamis (7/12/2023).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Poster bergambar Presiden Joko Widodo, Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, dan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka yang dibawa massa ikut aksi untuk menyambut Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia dan Hari Anti Korupsi Sedunia di depan Silang Monas, Jakarta, Kamis (7/12/2023).

Kondisi sebaliknya terjadi pada mereka yang berlatar belakang pendidikan menengah dan dasar. Penilaian positif terhadap MK lebih banyak disumbang dari mereka yang berpendidikan dasar.

Iklan

Dari mereka yang menilai baik citra MK, separuh lebih (56,6 persen) berasal dari responden berpendidikan dasar. Kondisi serupa juga dari penilaian sangat baik, yang lebih banyak disumbang dari kelompok berpendidikan dasar tersebut.

Hal ini mengindikasikan, isu terkait putusan MK soal syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang kemudian membuat Gibran bisa maju sebagai calon wakil presiden belum terlalu dipahami masyarakat dengan latar belakang perdesaan dan berpendidikan menengah dasar.

Informasi terkait hal tersebut cenderung menjadi isu di kalangan masyarakat perkotaan dan mereka yang berpendidikan menengah dan tinggi.

Baca juga : Gibran dan Polemik Dinasti Politik

Pemilih Gibran

Di sisi lain, isu terkait putusan MK ini sedikit banyak juga melambungkan nama Gibran. Tidak heran jika kemudian di survei Litbang Kompas periode Desember ini popularitas Gibran terangkat di panggung nasional dengan angka 85,1 persen.

Angka popularitas Gibran ini mengungguli popularitas dua sosok calon wakil presiden lainnya, yaitu Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD. Popularitas Muhaimin berada di angka 55,3 persen, sedangkan Mahfud MD tercatat di angka 72,2 persen.

Kian populernya nama Gibran dibandingkan dengan Muhaimin dan Mahfud MD ini tidak lepas dari naiknya perbincangan publik tentang dirinya seiring dengan polemik putusan MK.

Apalagi, popularitas ini juga berdampak pada mereka yang masuk kelompok responden yang menyumbang citra positif MK di tengah keterpurukan akibat putusan MK terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden tersebut. Responden pemilih Gibran di survei ini lebih banyak menilai citra MK positif dibandingkan dengan mereka yang bukan pemilih Gibran.

https://cdn-assetd.kompas.id/Q9KfJv2wbuTIhtbDRCWnWC3luMc=/1024x1476/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F07%2Ff3f212a1-d4fe-475d-b6f6-edad0bcc9292_jpg.jpg

Hasil survei Litbang Kompas menemukan, dari kelompok responden yang menilai baik ataupun sangat baik citra MK, sebanyak 45 persen disumbang oleh pemilih Gibran.

Sebaliknya, dari kelompok responden yang menilai citra MK buruk ataupun sangat buruk, penyumbang terbanyak adalah responden pemilih Muhaimin dan Mahfud MD. Dari kedua kelompok ini, rata-rata sebanyak 60 persen menilai negatif citra MK.

Terlepas dari itu semua, gejala menurunnya pamor MK akibat isu putusan terkait syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden menjadi pil pahit bagi salah satu lembaga yang merupakan anak kandung Reformasi.

Berkaca dari kasus-kasus sebelumnya, penurunan citra ini tidak lepas dari sejumlah kasus hukum, terutama yang menjerat sosok pimpinan yang menjadi personifikasi lembaga.

Putusan MK terkait syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden menambah daftar hakim konstitusi, terutama ketua MK, yang terjerat kasus.

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra (kanan) disaksikan Ketua MK Suhartoyo (kiri) menandatangani surat keputusan pelantikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028 di Gedung MK, Jakarta, Senin (13/11/2023). Suhartoyo menggantikan Anwar Usman menjadi Ketua MK. Saat sidang pengucapan sumpah jabatan ketua MK, Anwar Usman tidak hadir.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra (kanan) disaksikan Ketua MK Suhartoyo (kiri) menandatangani surat keputusan pelantikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028 di Gedung MK, Jakarta, Senin (13/11/2023). Suhartoyo menggantikan Anwar Usman menjadi Ketua MK. Saat sidang pengucapan sumpah jabatan ketua MK, Anwar Usman tidak hadir.

Sebelum Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, Ketua MK yang lain, yakni Arief Hidayat, pada 2016 dan 2018 pernah dijatuhi sanksi etik oleh Dewan Etik MK (sebelum ada MKMK).

Kasus fenomenal lain adalah yang menjerat Ketua MK Akil Mochtar pada Oktober 2013 karena terbukti terlibat kasus suap Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Menurunnya citra lembaga penjaga konstitusi ini semestinya menjadi alarm pembenahan bagi MK. Upaya dan langkah struktural dengan pergantian pimpinan MK pascaputusan MKMK November 2023 lalu perlu diikuti dengan penguatan kelembagaan dari sisi kultural, seperti menguatkan etika lembaga.

Penguatan etika kelembagaan ini salah satunya dapat dibangun melalui budaya malu atau shame culture bagi seluruh aparat MK, termasuk hakim konstitusi. Penguatan budaya ini menjadi bagian dari tanggung jawab moral dan etika pejabat publik.

Langkah struktural dan kultural ini perlu ditempuh untuk menguatkan kembali marwah lembaga dan kepercayaan publik kepada lembaga ini. Bagaimanapun, ketika ada hakim konstitusi yang bermasalah, citra MK selalu dipertaruhkan. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga : Beban Agung Mahkamah Agung

Editor:
ANDREAS YOGA PRASETYO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000