Sengketa Pilpres, Gugatan yang Selalu Berulang
Gugatan pilpres bukanlah hal baru. Sejak 2004, Mahkamah Konstitusi telah menangani sengketa hasil pilpres.
Mahkamah Konstitusi telah memulai persidangan terkait dengan sengketa hasil Pemilihan Umum 2024 pada Rabu (27/3/2024). Dari laman MK yang diakses pada 27 Maret 2024 pukul 10.00, terdapat 266 perkara gugatan hasil pemilu DPR/DPRD, 12 perkara gugatan hasil pemilu DPD, dan 2 perkara gugatan hasil pemilu presiden.
Terkait dengan pemilu legislatif, permohonan sengketa hasil pemilu yang diajukan partai politik dan calon anggota legislatif tersebut tersebar dari sejumlah wilayah di Indonesia, seperti Jawa Barat (21 perkara), Aceh (19 perkara), Jatim (14 perkara), Sumut (11 perkara), NTB (10 perkara), dan Papua Pegunungan (10 perkara).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Selanjutnya Banten (9 perkara), Papua Barat (8 perkara), DKI (7 perkara), Jateng (5 perkara), Sulsel (5 perkara), serta Papua Barat Daya (5 perkara). Khusus di Papua, total perkara gugatan hasil pemilu DPR/DPRD di seluruh Papua mencapai 67 perkara.
Untuk Dewan Perwakilan Daerah, gugatan yang diajukan terkait hasil pemilu DPD di Riau, Kalimantan Utara, Sumatera Barat, NTB, Maluku, Papua Selatan, NTT, Sumatera Utara, Papua Selatan, dan Papua Tengah. Untuk pilpres, gugatan diajukan oleh dua pasangan calon presiden-wakil presiden, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Untuk menangani permohonan sengketa Pemilu 2024, MK telah mengagendakan tahapan sidang. Terkait sengketa pilpres, MK menggelar sidang perdana pada 27 Maret dan putusan. Adapun putusan diagendakan untuk dibacakan pada 22 April. Untuk perkara pileg, MK menjadwalkan sidang perdana pada 29 April 2024, sedangkan putusan dijadwalkan dibacakan pada 7-10 Juni 2024.
Melihat sejarahnya, gugatan hasil pemilu bukanlah hal yang baru. Sebagaimana yang terjadi pada Pemilu 2024 kali ini, MK juga selalu menangani gugatan hasil pemilu pada tahun-tahun sebelumnya. Pada Pemilu 2019, MK menyidangkan 251 perkara gugatan hasil pemilu DPR/DPRD, 10 perkara gugatan hasil pemilu DPD, dan 7 perkara gugatan hasil pilpres. Pada Pemilu 2014, MK memutuskan 296 perkara perselisihan hasil pemilu.
Selain sengketa pemilu legislatif dan pilpres, MK juga menyelesaikan perselisihan hasil pemilu kepala daerah. Pada pilkada serentak 2020, misalnya, MK menangani 154 gugatan hasil pilkada. Rinciannya, gugatan hasil pemilihan gubernur (9 perkara), gugatan hasil pemilihan bupati (131 perkara), dan gugatan hasil pemilihan wali kota (14 perkara).
Gugatan hasil pilpres pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009
Hampir senada dengan sengketa pileg dan pilkada, MK juga menangani gugatan hasil pilpres di setiap pemilu. Sejak pilpres digelar langsung pada 2004 hingga Pilpres 2019, MK selalu menangani sengketa hasil pemilu presiden.
Pada Pilpres 2004, MK menyidangkan gugatan perselisihan hasil pilpres putaran pertama. Saat itu pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid menggugat KPU ke MK atas penetapan hasil perhitungan suara pilpres.
Kubu Wiranto-Salahuddin dan tim suksesnya mengklaim kehilangan 5,43 juta suara yang tersebar di 26 provinsi. Klaim total suara Wiranto-Salahuddin ialah 31,72 juta suara, jauh lebih besar dari suara yang ditetapkan KPU yang hanya 26,29 juta suara.
Melalui empat kali persidangan yang meliputi pemeriksaan dan pembuktian sepanjang 2–5 Agustus 2004, MK menilai permohonan pemohon tidak beralasan sehingga harus ditolak. Menurut MK, pemohon tidak berhasil membuktikan dalil tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang mengakibatkan kehilangan suara sebesar 5,43 juta suara.
Pada Pilpres 2009, KPU menetapkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai pemenang pemilu dengan meraih 60,80 persen, jauh melampaui perolehan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dengan 26,79 persen dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dengan perolehan 12,41 persen.
Pasangan JK-Wiranto mendaftarkan gugatan ke MK pada 27 Juli 2009. Persoalan utama yang dibawa ke MK adalah kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Pihak JK-Wiranto menemukan indikasi pemilih-pemilih ganda dalam soft copy DPT 2009.
Persoalan lain menurut kubu Jusuf Kalla-Wiranto adalah adanya perubahan DPT yang dilakukan dua hari sebelum pemungutan suara. Hal ini bertolak belakang dengan UU yang menyebutkan persoalan DPT harus selesai 30 hari menjelang pemungutan suara. Selain itu, ada juga penciutan 60.000 TPS yang kurang transparan.
Adapun kubu Megawati-Prabowo mendaftarkan sengketa perselisihan hasil suara ke MK pada 28 Juli 2009. Mereka menuntut MK memerintahkan pemilu ulang di seluruh Indonesia, atau minimal di 25 provinsi.
Menurut tim kampanye Megawati-Prabowo, ada dugaan penggelembungan suara sebesar 28.658.634 untuk pasangan SBY-Boediono. Menurut mereka, perolehan suara pasangan SBY-Boediono hanya sebesar 45.215.927 (48,7 persen).
Pada putusan MK 12 Agustus 2009, MK menolak gugatan dari kedua pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla-Wiranto dan Megawati-Prabowo dan menilai Pilpres 2009 sah secara hukum. Meski demikian, MK mengakui Pilpres 2009 masih banyak kekurangan.
Menurut MK, pelanggaran dan kecurangan pada Pilpres 2009 dinilai bersifat prosedural dan administratif. MK tak melihat adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang membuat pilpres perlu diulang. MK dalam pertimbangannya menyatakan, kedua pemohon tak bisa membuktikan terjadinya pelanggaran kualitatif dan kuantitatif seperti isi gugatan.
Gugatan hasil pilpres pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019
Gugatan hasil pilpres juga terjadi pada dua pemilu terakhir, yaitu 2014 dan 2019. Pada 2014 pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang pemilu. Rekapitulasi perhitungan suara KPU mencatat pasangan Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85 persen) dan Jokowi–Kalla mendapatkan 70.997.833 suara (53,14 persen).
Kubu Prabowo-Hatta kemudian mendaftarkan gugatan sengketa hasil Pilpres 2014 ke MK pada 25 Juli 2014. Persoalan yang digugat, antara lain, adanya 52.000 dokumen C1 (hasil rekapitulasi pemungutan suara di tempat pemungutan suara) yang diduga invalid dan dugaan pemilu fiktif di 15 kabupaten/kota di Papua.
Setelah proses persidangan sekitar dua minggu (6 Agustus-21 Agustus 2014), MK menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta pada 21 Agustus 2014. Dalil-dalil yang diajukan tim Prabowo-Hatta, baik mengenai kesalahan rekapitulasi suara oleh KPU maupun pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, sama sekali tidak terbukti.
Pada Pilpres 2019, Prabowo kembali menggugat hasil pemilu. Prabowo Subianto yang berpasangan dengan cawapres Sandiaga Uno menggugat penetapan hasil KPU yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan 85.036.828 suara (55,41 persen). Sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapatkan 68.442.493 suara (44,59 persen).
MK kembali menjadi penentu hasil pilpres setelah pasangan Prabowo-Sandiaga mendaftarkan sengketa perselisihan hasil Pilpres 2019 ke MK pada 24 Mei 2019. Pihak Prabowo-Sandi menyerahkan 51 alat bukti kepada MK. Melalui permohonan itu, Prabowo-Sandi berupaya merumuskan dugaan kecurangan yang bisa dikualifikasikan sebagai terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada Pemilu 2019.
Sidang perdana gugatan Pilpres 2019 dilaksanakan pada 14 Juni 2019. Setelah hampir dua minggu proses gugatan, MK membacakan putusan pada 27 Juni 2019. Hasil putusan MK menolak seluruh dalil permohonan pemohon pasangan Prabowo-Sandi terkait hasil penghitungan suara pemilihan presiden oleh KPU.
Dalil pemohon bahwa telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif di pemilu lalu tidak beralasan menurut hukum, tidak relevan, serta tidak bisa dijelaskan secara hukum.
Isi gugatan hasil pilpres Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud
Pada Pemilu 2024 ini pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud mengajukan gugatan hasil pemilu ke MK. Dari permohonan perkara yang diajukan, ada delapan poin penting gugatan yang diajukan pasangan Anies-Muhaimin.
Poin-poin itu ialah membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilu, menyatakan diskualifikasi Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, dan membatalkan Keputusan KPU Nomor 1632 Tahun 2023 tentang penetapan pasangan capres-cawapres 2024.
Poin lainnya ialah meminta KPU melaksanakan pemilu ulang dengan mengganti cawapres nomor urut 2 dan meminta MK memerintahkan Bawaslu melakukan supervisi untuk melaksanakan putusan tersebut. Selain itu, pasangan Anies-Muhaimin juga menuntut MK memerintahkan presiden untuk netral, tidak memobilisasi aparatur negara, dan tidak menggunakan APBN untuk menguntungkan salah satu pasangan calon.
Dua tuntutan selanjutnya ialah meminta MK memerintahkan Polri untuk mengamankan proses pemungutan suara ulang dan memerintahkan TNI membantu mengamankan proses pemungutan suara ulang secara profesional.
Baca juga: Ujian Kenegarawanan Hakim Konstitusi, MK Gelar Sidang Perdana Sengketa Hasil Pilpres
Adapun gugatan Ganjar-Mahfud setidaknya memuat tiga poin penting. Pertama, meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 terkait penetapan hasil pemilu secara nasional.
Kedua, meminta MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran yang telah ditetapkan oleh KPU. Terakhir, MK diminta memerintahkan KPU untuk menggelar pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Indonesia selambat-lambatnya pada 26 Juni 2024. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Sengketa Hasil Pemilu Menguji MK